Share

7. Penagih Hutang

“Maaf Pak, Anda harus menghadiri rapat.”

Seorang wanita masuk setelah mengetuk pintu beberapa kali dan memberikan sebuah berkas pada atasannya. Atasannya menatap layar komputer dan kembali menatap jam tangannya beberapa kali.

Ia memutuskan untuk mematikan microphone yang masih menyala dan menatap wanita yang merupakan Sekretaris pribadinya. “Beri aku waktu sepuluh menit,” ucapnya.

“Baik,” ucap wanita yang memiliki nama Kim Dami.

Pria itu kembali menyalakan microphone dan menatap seorang wanita yang tengah menangis di layar komputernya. Ia ingin berbicara, hanya saja dirinya takut wanita itu justru semakin menangis.

“Maafkan aku Hajoon,” ucap wanita yang berada di seberang panggilan videonya.

“Tidak apa-apa.” Hajoon tersenyum pada wanita di dalam layar yang bukan lain adalah Weni. Seorang wanita yang ia kenal dari sebuah aplikasi dan kini mulai mengisi hari-harinya.

“Aku ....”

“Sesekali melepas bebanmu dengan menangis tak masalah, tapi menangislah hanya di hadapanku.” Hajoon memperingatkan Weni yang terlihat cukup terkejut dengan kata-katanya. “Apa kamu mengerti?” tegasnya.

Weni mengangguk menyanggupi apa yang diminta dirinya dan itu membuat senyuman tipis terukir di wajahnya. “Apa sekarang kamu sudah tenang?” tanyanya kembali.

“iya,” jawab Weni seraya mengangguk.

“Ada hal yang ingin aku tanyakan kembali, tapi aku harus rapat. Aku akan menghubungimu nanti, apa suamimu di rumah?”

“Tidak, kemungkinan Mas Haris akan pulang dengan Rena sedikit malam.” Weni selalu jujur mengatakan semua kondisi rumahnya dan itu sedikit membuat Hajoon senang.

“Baiklah, sekarang kamu istirahat. Aku akan meneleponmu lagi nanti,” ucap Hajoon seraya tersenyum.

Weni pun ikut tersenyum, setelah beberapa kali menghapus air mata yang terus saja mengalir beberapa kali di sudut matanya meski sudah tidak menangis. “Selamat bekerja, terima kasih.”

“Iya,” balas Hajoon dan mengakhiri panggilan videonya. Ia kini merebahkan tubuh di kursi empuknya, menatap langit-langit kantornya.

Belum sempat ia memejamkan mata untuk menetralkan perasaannya, Kim Dami sudah masuk untuk mengingatkan jadwal rapatnya. Ia pun segera pergi dan melupakan semuanya untuk sejenak.

**

Weni yang tengah tertidur di kasur menatap langit-langit kamarnya, ia memeluk gulingnya dan terus memikirkan akan senyuman pria yang baru saja menghubunginya itu. Senyuman tipisnya selalu membuat Weni berdebar.

Ia merasa benar-benar beruntung bertemu Hajoon. Bukan hanya tampan, tapi Hajoon juga membuatnya memiliki sebuah penghasilan yang tetap. Hatinya juga sangat terhibur akan kehadirannya, di tengah penat hidupnya.

“Apa aku boleh seperti ini?” gumam Weni menimbang dari segala aspek.

Weni masih sangat merasa bersalah akan tindakannya, tapi di satu sisi ia benar-benar atau sangat membutuhkan Hajoon. Rasanya kalau tidak ada Hajoon mungkin dirinya sudah tidak kuat menanggung segalanya.

Tok tok tok!

Sebuah ketukan pintu membuyarkan lamunan Weni, ia pun segera beranjak dari tidurnya dan pergi menuju pintu depan. Saat di buka berdiri seorang pria yang tak di kenalnya dengan wajah yang cukup menakutkan.

“Ada apa ya, Pak?” tanya Weni.

“Maaf Bu, tadi saya ke rumah Ibu Ratnasari untuk menagih uang cicilan motor yang sudah menunggak lima bulan. Tapi kata beliau, saya di suruh minta ke rumah ini. Anda Ibu Weni bukan?” jelas Pria itu dengan sebuah surat di tangannya.

Weni terkejut bukan main, pasalnya motor yang di maksud katanya selalu di bayarkan Haris tiap bulannya. Bagaimana bisa menunggak, bahkan sampai 5 bulan lamanya.

Dengan berat hati Weni mengambil kertas yang di pegang oleh pria tersebut dan membaca isi di dalamnya. Benar saja, motor tersebut belum di bayarkan selama 5 bulan.

“Boleh saya menelepon sebentar?” pinta Weni yang diterima oleh pria tersebut.

Weni dengan buru-buru masuk ke dalam kamarnya dan mengambil ponselnya. Ia segera menelepon Haris sebelum dirinya menelepon Ratna, Ibu dari Haris.

“Mas, maaf mengganggu.” Weni langsung bicara begitu panggilannya tersambung.

‘Ada apa?’ tanya Haris dengan nada dinginnya.

“Mas, bukannya kamu tiap bulan sudah membayar uang motor milik Ibu?” Weni bertanya langsung.

‘Iya, memang kenapa?’

“Ada yang datang menagih motor, lima bulan.” Weni mencoba menahan kekesalannya.

‘Oh, tadi Ibu sudah telepon. Kemarin uangnya buat arisan.’ Haris menjelaskan pada Weni dengan santainya. ‘Kamu masih ada uang kan? Bayarkan saja dulu,' lanjutnya.

“Uang aku sudah aku kasih kamu Mas, aku tidak ada uang lagi.”

‘Pelit banget kamu, pokoknya urus semua. Aku ada pekerjaan,' tutup Haris tanpa mau mendengar penjelasan Weni kembali.

Weni terdiam, tak bisa percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya. Bagaimana bisa Haris melimpahkan semua padanya.

Dengan berat hati ia kembali menemui pria yang tengah menunggu kabar darinya itu. Weni menyerahkan uang yang tersisa untuk diberikan pada pria itu.

“Saya hanya punya ini Pak, bisa saya bayar sisanya bulan depan?” melas Weni.

“Bukannya saya tidak mau bantu, tapi saya juga bingung Bu. Saya harus menyetor ke kantor,” ucap pria tersebut.

Beberapa orang sudah melihat ke arah rumah Weni, seakan tengah menonton film. Mereka berdiskusi sambil berbisik, sesekali menunjuk ke arah Weni.

“Mbak, ini uang yang Mila pinjam. Mila lupa untuk mengembalikannya kemarin,” seru Mila yang tiba-tiba sudah berada di samping Weni.

Weni yang merasa Mila tak pernah hutang padanya atau meminjam uangnya, menatap Mila tak mengerti. Namun hanya dengan kedipan mata Mila, Weni mengerti akan maksud Mila.

“Terima kasih ya Mil,” ucap Weni.

Weni kembali memberikan sisa uang yang kurang pada pria yang sejak tadi menatap dirinya dan Mila. Setelah selesai, pria itu pergi dan mengatakan ‘Maaf’ dan ‘Terima kasih’.

Beberapa kerumunan di dekat rumah Weni pun berangsur menghilang, meninggalkan Weni dan Mila berdua.

“Mil, maaf ya. Nanti kalau Mbak sudah ada uang, Mbak ganti.”

Weni segera meminta maaf pada Mila karena ia tak tahu lagi harus menghadapinya bagaimana. Mila mengangguk dan mendorong tubuh Weni untuk masuk ke dalam rumah.

“Itu uang memang untuk Mbak, Ibu yang minta. Kan aku selalu minta tolong mengerjakan tugas sama Mbak, jadi tidak usah dipikirkan.”

“Aku ....”

“Sudah, tidak perlu diganti Mbak. Ibu sendiri kan yang mau,” ucap Mila seraya tersenyum.

“Terima kasih ya, nanti Mbak datang ke rumah.” Weni akhirnya menyerah karena keluarga Mila memang seperti itu, tidak suka penolakan. “Kamu mau belajar?” tanya Weni.

Mila menggeleng kuat, ia duduk di sofa ruang depan. “Rena mana Mbak?” tanyanya melihat sekeliling ruangan yang sepi.

“Rena sedang di rumah Kayla.” Weni berjalan ke dapur dan membawa satu botol minuman dingin milik Rena. “Minumlah,” suguh Weni.

“Terima kasih, Mbak.”

Mila mengambil air tersebut dan meminumnya, rasa segar mengalir di kerongkongannya. “Ah, Aku lupa. Mila mau pergi sama teman-teman, terima kasih airnya Mbak.”

Mila beranjak dari duduknya dan berlari meninggalkan Weni begitu saja, Weni hanya menggeleng melihat tingkah Mila. Ia sudah terbiasa dengan kebiasaan Mila, jadi dirinya hanya bisa tersenyum.

Weni memutuskan menutup pintu dan menguncinya, berjalan ke kamar dan memeriksa ponselnya. Satu pesan di terimanya, tapi pesan itu cukup membuatnya sakit.

[Ternyata kamu masih punya uang?]

Pesan dari Haris, hanya bisa di abaikan olehnya. Namun satu pesan lainnya, tak bisa di abaikan olehnya.

[Kamu selama ini menyimpan uang, tanpa sepengetahuan Haris? Istri macam apa kamu.]

Pesan kedua dari Ibu Haris, membuatnya kesal. Baru pertama ia mendapatkan uang, itu pun dari Hajoon. Tapi mereka seenaknya bilang uang itu adalah milik Haris.

‘Maaf Bu, itu uang saya bekerja lewat Online.’

Weni mengirim pesan pada mertuanya, tak lama balasan kembali datang.

[Pembohong!]

Weni hanya bisa menghela napas dan mengabaikan pesan tersebut, moodnya benar-benar hilang. Ia merebahkan tubuhnya di kasur, meratapi segalanya yang terjadi.

Rasa sakit di sudut bibirnya karena Haris semalam belum hilang, sudah datang rasa sakit lainnya. Andai keluarganya bisa menjadi tempat dirinya mengadu, tapi nyatanya keluarganya sendiri lebih membencinya daripada keluarga Haris.

“Lebih baik menyibukkan diri,” gumam Weni beranjak dari tidurnya.

Ia memilih memakai waktunya untuk merapikan rumah dan menyelesaikan segala tugas rumah tangganya. Terkadang saat Rena di bawa oleh Kayla, di situ adalah waktu yang tepat merapikan segalanya dibandingkan beristirahat.

Tok tok tok!

Weni yang tengah merapikan rumah terkejut, waswas dengan ketukan pintu di rumahnya. Ia perlahan membuka pintu dan kembali khawatir saat melihat pria asing berdiri di depan rumahnya.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status