Share

8. Sekotak Hadiah

Weni membuka pintu dan kembali menemukan seorang pria tengah berdiri di hadapannya. “Maaf Anda siapa?” tanyanya.

“Ini benar rumah Ibu Anggara?” tanya pria itu, sementara Weni hanya bisa mengangguk. “Ini ada kiriman paket,” ucapnya seraya mengambil sesuatu dari dalam mobil yang terparkir di depan.

Weni terdiam sejenak, ia merasa tidak pernah membeli barang. “Maaf, tapi saya tidak pernah membeli barang Online. Apa Mas tidak salah rumah?” tanya Weni sebelum menerima sebuah paper bag yang cukup besar.

“Anda bisa melihat nama pengirimnya karena saya di pesan untuk tidak boleh menyebutnya.” Pria itu memberi paper bag tersebut pada Weni.

Weni hanya bisa menerimanya dan melihat nama pengirim, yang di maksudnya oleh kurir tersebut. Betapa terkejutnya Weni saat nama Park Hajoon tertera di kertas tersebut.

“Benar, ini milik Ibu?”

Weni mengangguk dan tersenyum. “Benar Mas, terima kasih.”

Kurir tersebut segera pergi setalah Weni memberikan tanda tangan untuk tanda terima. Ia segera masuk dan kembali mengunci rumah.

Weni tidak langsung membukanya, ia lebih dulu mengambil ponsel dan menghubungi nomor orang yang memberinya paket tersebut. Tidak butuh waktu lama, panggilan segera terhubung.

“Hadiahnya sudah kamu terima?” tanya pria di seberang panggilan video.

“Benar ini dari kamu?” Weni balik bertanya.

“Hm, untuk sedikit menghiburmu.” Hajoon mengangguk dan menatap dalam Weni. “Kamu sudah membukanya?” tanya Hajoon kembali.

Weni menggeleng, ia mengambil paper bag tadi dan menaruhnya di meja. Ponselnya ia gunakan tripod agar bisa terlihat.

“Aku ingin membukanya bersamamu,” ucap Weni dengan penuh haru. Rasanya sudah lama dirinya tak mendapatkan sebuah hadiah untuk dirinya sendiri.

Hajoon hanya mengangguk dan mengamati Weni membuka hadiah yang dibelinya. Sebuah kotak yang cukup besar kini berada di hadapan Weni setelah dikeluar dari paper bag.

“Aku akan membukanya.” Weni memperingatkan Hajoon, lalu membuka kotak besar tersebut.

Betapa terkejutnya Weni dengan apa yang berada di hadapannya kini. Weni bahkan tak bisa berkata apa pun, terlebih saat mengingat dirinya baru saja mengenal Hajoon.

“Bagaimana kamu tahu ini semua?” tanya Weni dengan tatapan yang tak bisa lagi membendung air mata kebahagiaan.

“Bukannya kamu yang bilang sendiri, suka akan hal itu. Aku hanya sedikit mewujudkannya, apa kamu suka?” tanya Hajoon dengan wajah yang sedikit mendekat ke layar.

“Terima kasih, aku sangat-sangat suka.”

Weni mengambil isi di dalam kotak yang merupakan perlengkapan melukis. Ya, melukis. Weni sebenarnya sangat lihai dalam melukis, sayangnya keluarga Weni tak menyukainya hingga membuat Weni mengubur impiannya.

“Padahal kita belum ada sebulan kenal, bagaimana kamu bisa terus memanjakanku seperti ini?” Weni menatap Hajoon yang cukup dekat dengan layar, hingga ia bisa menatap mata indah Hajoon.

“Cukup lakukan hal yang sudah menjadi kesepakatan kita, itu sudah sangat membantuku.”

“Maaf, semalam aku lupa mengirimkan foto yang seharusnya menjadi rutinitas.”

Weni baru teringat kesalahannya, ia merasa sangat bersalah kini. Terlebih setelah mengingat segala hal yang sudah di lakukan Hajoon untuk dirinya.

“Aku memakluminya, tapi jangan sampai terulang kembali ya.”

Weni mengangguk keras, ia berjanji pada dirinya sendiri akan melakukan hal yang memang sudah menjadi perjanjian mereka. Weni tidak ingin kembali mengecewakan Hajoon yang selama ini sudah sangat baik padanya.

“Bagus, tunjukkan juga hasil karyamu. Aku ingin melihatnya,” ucap Hajoon kembali.

“Sebenarnya aku malu, tapi aku akan mengirimkannya untukmu.” Weni tersenyum dengan malu dengan tatapan yang terpaku pada isi kotak tersebut.

Namun tatapannya teralihkan oleh sebuah kotak kecil lainnya yang sedikit kontras dengan warna merah muda, berbeda dengan kotak cat air dan alat gambar yang berwarna lebih gelap.

Weni mengambil kotak itu dan membukanya, terlihat ada beberapa coklat di sana. Hal itu membuat pandangan Weni teralihkan kembali ke Hajoon.

“Ini ....”

“Untukmu, makanan manis cocok untukmu. Niatnya aku ingin memberikan yang lain, tapi takut kamu tidak menyukainya.” Hajoon menjelaskan panjang lebar, tanpa memperhatikan Weni yang tengah terdiam. “Kamu tidak suka?” tanyanya lagi.

Sudut mata Weni kembali mengalirkan setetes air mata, ia segera menghapusnya. Weni tersenyum lebar pada Hajoon, benar-benar merasa beruntung bertemu dengannya.

“Tidak, aku suka. Terima kasih,” ucap Weni dengan senyuman lepasnya.

“Sama-sama, aku senang melihatmu tersenyum seperti sekarang.” Hajoon ikut tersenyum. “Kita lanjutkan dengan chat ya, ada beberapa pekerjaan menungguku.”

Weni mengangguk, menyetujui apa yang dikatakan Hajoon. Panggilan pun terputus, menyisakan suara hening di ruangan Weni.

Weni menatap semua yang ada di hadapannya, merasakan getaran hebat di hatinya. Sejak dulu ia bahkan tak pernah mendapatkan hadiah dari orang tuanya dan kali terakhir ia mendapat hadiah hanya dari Haris saat pacaran.

“Apa aku pantas mendapatkannya?”

Lagi dan lagi, perasaan itu kembali menghampirinya. Namun, belum sempat ia kembali berpikir sebuah pesan masuk di ponselnya.

[Tolong kirimi fotomu yang kemarin tertunda.]

Pesan Hajoon lah yang membuatnya segera membuka pesan. Weni pun langsung merias dirinya, menggunakan pakaian layak dan memfoto seluruh tubuhnya.

Kemarin adalah hari dirinya harus mengirimkan foto full body pada Hajoon. Tentu Weni tak keberatan karena itu hanya foto biasa, dengan pakaian yang biasanya.

[Terima kasih, selamat beristirahat.]

Hajoon kembali membalas pesan setelah dirinya mengirim fotonya. Weni segera mengganti pakaian kebangsaannya yaitu daster dan kembali membersihkan rumah.

**

“Mama ....”

Rena yang baru pulang langsung memeluk Weni, Weni tersenyum saat menerima pelukan Rena. Namun tak lama pudar saat melihat Haris datang bukan hanya dengan Rena, tapi juga Ratna.

“Rena, mau bobo.”

Rena mengeluh pada Weni dan merebahkan kepalanya di bahu Ibunya. Weni menepuk-nepuk punggung Rena dan membawanya ke kamar setelah dirinya Salim pada Ratna.

Tidak butuh waktu lama Rena tertidur, Weni pun keluar kamar dan menyiapkan minuman untuk Haris dan Ibunya. Setelah menyuguhkan minuman hangat, Weni duduk di sofa terpisah dari keduanya.

“Apa pantas kamu tidak membalas pesan dari Ibu?” Haris mulai angkat bicara. “Apa kamu juga tidak terima uang itu digunakan oleh Ibu?” lanjutnya.

“Bukan begitu Mas, aku ....”

“Ibu kesini mau minta maaf. Kamu tahu sendiri Haris adalah anak pertama di keluarga, sedangkan Kayla baru saja lulus.” Ratna menatap sayu pada Weni. “Sementara Bapak sudah tidak bekerja, jadi kalau bukan Haris. Siapa lagi yang bisa Ibu minta tolong?” lanjutnya.

Weni terdiam seribu bahasa, tak mampu mengatakan apapun walau hatinya ingin sekali angkat bicara. Terlebih saat Haris kini menatapnya tajam, seakan meminta dirinya untuk meminta maaf.

Weni menarik napasnya dan menahan segala gejolak perasannya. “Maafkan Weni juga Bu, Weni tidak bermaksud apa-apa.”

“Weni sudah minta maaf Bu. Ibu jangan memikirkan itu lagi ya, Haris tidak mau Ibu sakit.”

Haris memegang kedua tangan Ibunya dengan lembutnya, menatap penuh perhatian pada sang Ibu. Weni kembali menghela napasnya dan menetralkan perasaannya.

Tidak butuh waktu lama Ratna pergi setelah di jemput oleh Kayla, sebelum pergi Kayla juga melontarkan tatapan kesal pada Weni. Pintu rumah pun di tutup, dunianya dan Haris kini di mulai.

“Apa karena kamu sudah bisa mencari uang, kamu pantas bersikap seperti itu pada Ibu?” Haris memulai pertengkaran.

“Mas, katanya kamu tidak punya uang. Padahal kami sudah mengirit agar bisa membayar motor itu, kamu ....”

Plak!

Satu tamparan kembali mendarat di pipi Weni yang baru saja pulih. Rasa panas kembali merajai pipinya, darah segar kembali mengalir.

“Apa hanya ini yang bisa kamu lakukan sekarang?” Weni berbicara dengan air mata yang sudah mengalir.

“Istri yang keluar dari jalur, bukannya harus dibenarkan? Kamu sudah sangat membangkang sekarang,” ucap Haris seraya pergi masuk ke dalam kamarnya.

Weni terdiam, bukan pipi yang ia pegang melainkan dadanya. Rasanya hatinya lebih sakit dibandingkan tamparan yang baru saja di terimanya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status