“Jaga ucapan kalian!”
Ghana berdiri di hadapan kedua orang yang sejak tadi asyik membicarakan Bianca maupun Weni. Hal itu mampu menarik perhatian semua orang yang ada di ruangan, tanpa terkecuali sang tuan rumah.
“Apa pantas wanita terhormat dan berkelas membicarakan seseorang sampai seperti itu?” ucap Ghana kembali penuh penekanan.
Bianca dengan segera menghampiri Ghana, mencoba menahan Ghana yang tengah meluapkan kekesalannya. Bianca sangat tahu bagaimana bila Ghana sampai benar-benar marah.
“Maafkan kami, kami hanya ....”
“Ghana, mereka tidak bermaksud mengatakan hal itu.” Helen segera memotong pembicaraan salah satu wanita dan mendekati Ghana, mencoba menetralkan keadaan. “Maafkan mereka,” bisik Helen dengan sedikit memohon.
“Iya, katanya kamu ingin bermain sama Rena. Ayo,” ajak Bianca segera membawa Ghana mendekat pada Weni yang tengah terdia
Makan telah usai, tapi Weni dan juga Bianca tak juga kunjung membuka pembicaraan. Mereka hanya sibuk makan dan berkutat dengan pikiran mereka sendiri, hingga tanpa sadar mereka sudah menyelesaikan makanan mereka.“Terima kasih banyak, Bia.” Weni merapikan bungkusan makanannya dan menjadikan satu di dalam plastik sampah.“Sama-sama, ini bukan hal yang patut mendapatkan ucapan terima kasih.”Bianca tersenyum dan ikut melakukan hal yang sama seperti Weni, kebisuan kembali terjadi di antara mereka. Hingga akhirnya kebisuan mereka terisikan oleh tawa Rena dan Ghana yang baru saja datang.“Mama!” seru Rena saat pintu mobil di buka oleh Weni.Rena melepaskan pegangan tangannya dari Ghana dan berlari sekuat mungkin menuju tempat Weni berdiri. Dengan sigap Weni merentangkan tangannya dan menyambut pelukan Rena, Ghana dan Bianca yang melihatnya tersenyum
[Apa harimu menyenangkan?][Kenapa tadi kamu langsung memutus, sambungan video?][Kabari aku, bila kamu sudah selesai.][Jangan lupa untuk makan dan istirahat.]Weni tengah membaca semua pesan yang baru sempat ia baca, setelah kemarin dirinya sangat lelah dan langsung tertidur begitu sampai rumah. Beruntung Haris tidak membuat ulah, ia juga langsung pulang begitu sampai.Jadi Weni punya waktu untuk beristirahat dan baru bangun awal pagi, sebelum matahari terbit. Sekarang pun pekerjaannya sudah selesai, hingga dirinya memiliki waktu untuk sendiri setelah Haris berangkat kerja.Sementara anak semata wayangnya yang biasanya sudah bangun, untuk hari ini tertidur pulas. Hal itu biasa terjadi pada Rena, bila mereka bepergian jauh atau pergi ke acara yang memakan cukup waktu dan tenaga.Jadi Weni membiarkan anaknya untuk tidur cukup lama dan mem
“Kalian, apa yang kalian lakukan?” tanya Weni setlah berdiri tepat di hadapan keduanya.“Kamu kenapa?” tanya Haris dengan tatapan yang sudah tidak enak.Aurel yang melihat keadaan itu segera menjaga jarak dengan Haris, ia juga menjauh dari pintu kamar. “Aku bisa tidur di luar,” ucapnya dengan segera.“Bagaimana bisa aku membiarkanmu tidur di sofa?” Haris menatap Aurel dengan sedikit penekanan. “Kamu tidur dengan Weni, sementara aku tidur dengan Rena, Bukankah itu benar?” ucap Haris dengan tatapan yang sedikit mengintimidasi Weni.Weni yang baru sadar akan perbuatannya, segera mendekati Aurel dan membawanya masuk ke dalam kamar. Meninggalkan Haris seorang diri di luar kamar.“Maaf, aku hanya sedang memikirkan hal lain.” Weni mempersilahkan Aurel duduk di kasurnya. “Aku ....”&l
Pagi menjelang, kesibukan mulai terjadi di kediaman Weni dan juga Haris. Hal yang sama juga terjadi di kediaman keluarga Haris, semua sibuk menyiapkan segalanya.Hari ini mereka akan pergi jalan-jalan tanpa Weni. Ya, tanpa Weni. Meski seperti itu, Weni tetap membantu segala persiapan karena Rena pun ikut bersama mereka.Aurel yang berada di rumah Weni pun berkali-kali meminta maaf atas apa yang terjadi, bahwa keluarga dari Aurel-lah yang tak menginginkan dirinya ikut pergi bersama mereka. Weni pun beberapa kali mengatakan segalanya tak apa.Meski sebenarnya ia merasa hancur, tersingkirkan, dan merasa tidak dihargai oleh semua orang. Dirinya mencoba untuk tetap menerima semua itu dengan lapang dada, beruntung Haris masih mengingat Rena untuk ikut bersama mereka.“Semua keperluan Rena sudah siap,” ucap Weni dengan memberikan dua tas keperluan Rena pada Aurel.Aurel mene
Weni menatap gambar di atas kanvas yang masih basah karena cat, ia terus menatapnya hingga tak berkedip. Rasa puas entah mengapa memenuhi hatinya, hasil dari tangannya kembali tidak mengecewakan seperti dahulu.Bakat yang selama ini dibunuh oleh keluarganya sendiri, terpampang di hadapannya dengan sebuah harapan dari orang yang bahkan belum pernah bertemu secara langsung.Weni kini tidak merasakan penyesalan apa pun, atas dirinya yang berhubungan diam-diam di belakang Suaminya. Dia hanya menganggap bersama Hajoon adalah sebuah pelarian untuknya, ya hanya pelarian dan tak lebih.“Sekarang aku akan menelepon Hajoon,” gumam Weni seraya mengambil ponselnya yang sejak tadi menampilkan foto Hajoon.Panggilan tersambung di nada pertama, sebelum nada kedua berbunyi panggilan sudah tersambung. Namun kali ini pria di layar ponselnya, berada di tempat yang berbeda dan sedikit gelap di sana.&
Cukup lama Weni menunggu Hajoon untuk angkat bicara, ia pun kembali mengajukan pertanyaan yang sama pada Hajoon dan berharap dia akan menjawabnya. “Bagaimana kamu tahu alamat rumahku?” tanya Weni menulang kembali pertanyaannya.“Aku mencari tahunya,” jawab Hajoon dengan entengnya.“Apa?” Weni dibuat terkejut dengan jawaban Hajoon. “Setahu aku aplikasi ini tidak bisa melacak posisi tepatnya pengguna,” tutur Weni dengan bekal yang ia ingat dari Mila saat awal ia mulai mengetahui aplikasi tersebut.Hajoon kembali diam, ia kembali tak menjawab dan membuat jeda waktu yang membuat Weni kembali berprasangka buruk. Entah itu berprasangka buruk oleh aplikasi tersebut atau pada Hajoon.Weni yang baru genap mengenal Hajoon selama satu bulan itu tentu tidak langsung gelap mata hanya karena perhatian atau uang yang diberikan. Ya, walau sesaat ia gelap. Tapi logikany
Tok tok tok! Weni segera membuka pintu, bahkan ia tersandung karena bergegas untuk sampai di depan pintu. Namun orang yang diharapkan ternyata belum datang dan berganti seseorang yang sangat dikenalnya. “Kayla?” sebut Weni pada gadis yang merupakan Adik kandung Haris. Weni terkejut bukan karena ia kecewa lantaran prediksiinya salah. Tapi ia lebih terkejut karena mengingat bahwa seluruh keluarga Haris tengah pergi dengan keluarga Aurel, jadi bagaimana bisa Kayla kini ada di depan rumahnya. “Kenapa? Tidak suka aku datang?” omel Kayla dengan tangan yang terlipat di dada. “Ah, bukan itu maksudku. Bukannya kamu sedang pergi dengan yang lain?” tanya Weni tanpa mempersilakan Kayla untuk masuk. “Hanya aku yang tinggal, aku mau pergi sendiri dengan teman-temanku.” Kayla menadahkan tangannya, seakan meminta sesuatu dari Wen
Weni terkejut saat ia terbangun dari tidurnya, bahkan tubuhnya dengan refleks beranjak dari kasur dan keluar dari rumahnya. Seluruh rumahnya sudah terlihat sangat gelap karena tak ada lampu yang menyala.Dengan segera Weni menyalakan lampu rumahnya, tiap bagian dengan wajah yang masih linglung. Setelahnya ia terduduk di sofa ruang depan, mencoba menyadarkan diri sepenuhnya.Ia menatap jam dinding yang berada tepat di atas televisi dengan sedikit menyipitkan matanya. “Baru jam empat sore?” gumam Weni saat melihat jarum pendeknya menunjuk angka 4.Namun rasanya itu tidak seperti jam 4, apa yang dilihatnya terlihat seperti sudah sangat larut. Bahkan Weni tak mendengar keramaian orang atau suara orang-orang yang masih berkumpul.Weni kembali berlari ke kamar dan mengambil ponselnya, berharap apa yang menjadi kecurigaannya bisa terjawab. “Apa?” seru Weni saat melihat layar ponselny