“A-Aurel?” sebut Weni saat melihat seorang wanita mendekat padannya dengan tatapan yang sangat antusias.Sementara Weni yang dikejutkan, hampir saja terjatuh. Beruntung tagannya sigap memegang pinggiran meja yang memang tertanam dan menyatu dengan lantai, hingga ia mampu menopang dirinya agar tidak terjatuh.“Kamu tidak apa-apa?” tanya Bianca khawatir.“Ah,, maafkan aku.” Aurel membantu Weni dengan segera, kembali ke posisinya semula. “maafkan aku telah mengejutkanmu,” ucap wanita yang bukan lain adalah Aurel.Bianca menatap Aurel dengan seksama, ia kini mengerti kenapa Weni sampai bereaksi seperti sekarang. Wanita itu adalah wanita yang sama dengan seorang wanita yang tengah jalan bersama Haris, suami dari Weni tempo hari.Tapi yang membuat bingung Bianca, bagaimana bisa Weni mengenal nama wanita tersebut. Bahkan wanita itu terlihat sangat dekat dengan Weni, seolah Weni adalah teman atau orang yang sangat dikenalnya.“Tidak apa-apa.” Weni mencoba menenangkan Aurel yang terlihat sang
Weni menatap Rena, ada rasa yang sedikit mengganjal di hatinya. Belakangan ia seakan memikirkan dirinya sendiri, tanpa memedulikan apa yang akan di rasakan Rena kelak.“Apa aku harus kembali menahan semua?” gumam Weni dengan tatapan yang tak lepas pada makhluk kecil yang tengah tertidur lelap.Ia merasa beruntung hari ini, bisa mengutarakan semuanya pada Bianca. Hatinya yang selalu ia tekan dan masalah yang selalu ingin ia selesaikan sendiri, sedikit berkurang hanya karena menceritakan segalanya pada Bianca.“Maafkan Mamah,” lirih Weni dengan mengusap rambut lembut anaknya.Hari ini beruntung hajoon tak segera menghubunginya, jadi ia bisa sedikit tenang. Weni masih bingung akan apa yang harus ia jelaskan atau ia alihkan untuk mengatakan bahwa pernyataannya hanyalah candaan.“Sedang apa kamu?” suara Haris segera mengejutkan Weni yang masih dalam lamunannya.Weni segera beranjak dari duduknya dan keluar untuk melayani Suaminya yang baru saja pulang. Ia menyiapkan kopi seperti biasa dan
“Mamah … Mamah ….”Weni yang tengah tertidur, segera terbangun dan terkejut mendapati Rena tengah terduduk dan menatap dirinya dengan isak tangis. Ia juga memegang kedua lengannya erat seakan takut akan sesuatu.Belum sempat Weni bicara ia terkejut dengan kondisinya, yang ternyata tengah menangis. Matanya perih dan seakan mengeluarkan air mata, bahkan ia bisa merasa dirinya sedikit sulit bernapas.Weni menghapus air mata yang tersisa di pipinya, terduduk dan segera memeluk Rena. Bukannya berhenti menangis, justru Rena tiba-tiba menangis cukup keras seolah tengah melepas semua bebannya.Weni yang tak tahu kenapa dan bagaimana, ia pun ikut menangis seraya memeluk tubuh Rena. Kini ia sangat tahu apa yang dimaksud bahwa ikatan batin seorang Anak pada Ibunya itu cukup kuat, terlebih saat umur sang anak masih terbilang kecil.“Kenapa Rena tadi menangis?” tanya Weni setelah keduanya tenang dan kini duduk berhadapan.“Tadi Mamah terus menangis, Rena takut.” Rena menjelaskannya dengan sedikit
“Apa yang kamu pikirkan? Lihat!”Teriakan seorang wanita paruh baya membuat Weni terkejut, ia bahkan tanpa sengaja menyiram tangannya dengan minyak panas. Weni segera menjauh dan membawa tangannya ke wastafel, mengguyurnya dengan air keran.“Pekerjaan mudah saja, tidak becus mengerjakannya.” Lagi dan lagi, wanita paruh baya itu mengomel dan mengambil alih tugas Weni. “Pantas Haris sering makan di rumah Ibu,” sindir wanita yang bukan lain Ratna, Ibu dari Haris.“Maaf, Bu.” Weni meminta maaf dengan tangan yang masih sibuk di bawah keran air. “Weni tidak sengaja,” lanjutnya meminta maaf.Ratna hanya menatap sinis Weni, ia mengambil alih Weni yang tengah menggoreng kerupuk. “Bagaimana Suami mau betah di rumah, kalau modelnya begini?” sindir Ratna kembali.Weni kini hanya diam dan tak menjawab apa yang baru saja di katakan Ratna, ia lebih memilih fokus mendinginkan tangannya yang teken aminya. Rasa terbakar di tangannya berhasil mengalihkan sakit hatinya.“Beri pasta gigi! Jangan manja,”
Weni menatap keadaan rumah yang begitu sepi, tidak ada suara Rena atau apa pun saat ini. Ia bahkan bisa mendengar dengungan kecil suaranya, rasanya begitu hampa meski hanya beberapa jam.“Kenapa aku harus mengalami hal ini?” gumam Weni.Ia juga mencoba mengingat apa saja kesalahan yang telah diirinya perbuat, hingga ia pantas mendapatkan semua ini. Namun hanya hal yang sama, yang terus di dapatkan oleh pikirannya.Bagaimana ia diperlakukan sama dengan orang tuannya, tidak di hiraukan dan selalu mendapatkan kekerasan dari sang Ayah. Padahal dirinya selalu mencoba menjadi anak yang baik dan menurut, tapi ia tetap saja selalu terluka.“Apa aku harusnya tak pernah terlahir ke dunia ini?” gamam Weni kembali.Segala pikiran negatif telah mempengaruhinya, ia merasa bahwa dirinya yang salah dan buruk. Ia terus mempertanyakan alasan semua orang melakukan hal yang sama padanya, menyakiti dirinya dengan mudah.Alih-alih menyalahkan orang-orang tersebut, Weni lebih memilih untuk berpikir bahwa di
“Ha-Hajoon?” sebut Weni saat melihat siapa yang kini berada di hadapannya.Pria tinggi itu tersenyum, bahkan senyumannya begitu indah saat dilihat langsung seperti sekarang. Membuat hati Weni tak menentu, sangat-sangat tak menentu.“Aku datang,” ucap Hajoon dengan kembali tersenyum.Weni terpaku di tempatnya, tak tahu harus melakukan apa. Bahkan ia tak sanggup berkedip sekarang, ia terus saja menatap sosok Hajoon yang kini terlihat begitu nyata.“Kamu benar Hajoon?” tanya Weni masih belum tersadar sepenuhnya.Hajoon mendekat selangkah, mendekatkan wajahnya dengan wajah Weni yang lebih pendek darinya. Tangan hangatnya menyentuh pipi Weni, terasa hangat dan nyata.“Benar, ini aku.” Hajoon mengusap lembut wajah Weni. “Apa masih tak percaya?” kekehnya.Wenni tersadar sepenuhnya saat mendengarkan kekehan Hajoon yang selalu di dengarnya saat menggoda dirinya. Ia segera mendur selangkah, menjauh agar sedikit memberi jarak dari Hajoon.“Ba-bagaimana kamu bisa ada di Indonesia?” selidik Weni.
Weni terus menatap pria yang berada di hadapannya itu, ia tak melepaskan kesempatannya sama sekali untuk mengamati pria yang sangat rupawan dan juga menawan itu. “Apa yang kamu lihat?” tanya pria yang bukan lain adalah Hajoon itu. Ya, pria yang dengan tiba-tiba datang ke Indonesia dari Korea hanya untuk bertemu dengan Weni itu kini nyata di hadapannya. Namun Weni terus merasa segalanya hanyalah khayalan yang tak nyata untuknya. Oleh sebab itu, dirinya tak juga melepaskan tatapannya pada Hajoon meski kini mereka tengah makan bersama di restoran yang cukup mewah bagi Weni. Makanannya tak tersentuh sedikit pun sejak makanan itu datang. “Dimakan dulu, sayang.” Hajoon memberikan sesuap makanan pada Weni. Weni tersadar dari lamunannya dan segera menerima suapan pertama dari Hajoon, tentu dengan tatapan yang masih tak lepas dari Hajoon. “Enak,” ucap Weni saat merasakan makanan yang enak berada di dalam mulutnya. Matanya yang sejak tadi tak lepas dari wajah Hajoon, kini teralihkan oleh m
“Apa aku bisa bertemu dengan Rena?” Hajoon menatap harap Weni yang tengah sibuk dengan ponselnya.Ini sudah menjadi pertanyaannya yang ketiga kali akan Rena, tapi Weni masih sibuk saja dengan ponselnya dan tak kunjung menjawabnya. Hal itu membuat Hajoon kesal, ia dengan sengaja menarik ponsel dari tangan Weni, dan mengecup bibir tipis di hadapannya.Weni sontak terkejut, hal ini terjadi karena pergerakan Hajoon yang tiba-tiba. Terlebih saat ini ada sopir di depan mereka.“A-Apa yang kamu lakukan?” marah Weni.“Habis kamu terus saja sibuk dengan. Ponselmu dan mengabaikan ku.” Kini Hajoon yang terlihat kesal. “Padahal aku ingin sekali bertemu Rena,” keluh Hajoon.“Rena?”“Kamu benar-benar tidak mendengarku sejak tadi?” Hajoon menatap Weni tak percaya, dengan penasaran ia menatap ponsel Weni yang membuat perhatiannya terkalihkan. “Kamu sedang chat dengan siapa? Bianca?” sebut Hajoon saat melihat nama yang tertera di chat.Weni yang tersadar, segera merebut ponselnya sebelum pria di hadap