“Mamah … Mamah ….”Weni yang tengah tertidur, segera terbangun dan terkejut mendapati Rena tengah terduduk dan menatap dirinya dengan isak tangis. Ia juga memegang kedua lengannya erat seakan takut akan sesuatu.Belum sempat Weni bicara ia terkejut dengan kondisinya, yang ternyata tengah menangis. Matanya perih dan seakan mengeluarkan air mata, bahkan ia bisa merasa dirinya sedikit sulit bernapas.Weni menghapus air mata yang tersisa di pipinya, terduduk dan segera memeluk Rena. Bukannya berhenti menangis, justru Rena tiba-tiba menangis cukup keras seolah tengah melepas semua bebannya.Weni yang tak tahu kenapa dan bagaimana, ia pun ikut menangis seraya memeluk tubuh Rena. Kini ia sangat tahu apa yang dimaksud bahwa ikatan batin seorang Anak pada Ibunya itu cukup kuat, terlebih saat umur sang anak masih terbilang kecil.“Kenapa Rena tadi menangis?” tanya Weni setelah keduanya tenang dan kini duduk berhadapan.“Tadi Mamah terus menangis, Rena takut.” Rena menjelaskannya dengan sedikit
“Apa yang kamu pikirkan? Lihat!”Teriakan seorang wanita paruh baya membuat Weni terkejut, ia bahkan tanpa sengaja menyiram tangannya dengan minyak panas. Weni segera menjauh dan membawa tangannya ke wastafel, mengguyurnya dengan air keran.“Pekerjaan mudah saja, tidak becus mengerjakannya.” Lagi dan lagi, wanita paruh baya itu mengomel dan mengambil alih tugas Weni. “Pantas Haris sering makan di rumah Ibu,” sindir wanita yang bukan lain Ratna, Ibu dari Haris.“Maaf, Bu.” Weni meminta maaf dengan tangan yang masih sibuk di bawah keran air. “Weni tidak sengaja,” lanjutnya meminta maaf.Ratna hanya menatap sinis Weni, ia mengambil alih Weni yang tengah menggoreng kerupuk. “Bagaimana Suami mau betah di rumah, kalau modelnya begini?” sindir Ratna kembali.Weni kini hanya diam dan tak menjawab apa yang baru saja di katakan Ratna, ia lebih memilih fokus mendinginkan tangannya yang teken aminya. Rasa terbakar di tangannya berhasil mengalihkan sakit hatinya.“Beri pasta gigi! Jangan manja,”
Weni menatap keadaan rumah yang begitu sepi, tidak ada suara Rena atau apa pun saat ini. Ia bahkan bisa mendengar dengungan kecil suaranya, rasanya begitu hampa meski hanya beberapa jam.“Kenapa aku harus mengalami hal ini?” gumam Weni.Ia juga mencoba mengingat apa saja kesalahan yang telah diirinya perbuat, hingga ia pantas mendapatkan semua ini. Namun hanya hal yang sama, yang terus di dapatkan oleh pikirannya.Bagaimana ia diperlakukan sama dengan orang tuannya, tidak di hiraukan dan selalu mendapatkan kekerasan dari sang Ayah. Padahal dirinya selalu mencoba menjadi anak yang baik dan menurut, tapi ia tetap saja selalu terluka.“Apa aku harusnya tak pernah terlahir ke dunia ini?” gamam Weni kembali.Segala pikiran negatif telah mempengaruhinya, ia merasa bahwa dirinya yang salah dan buruk. Ia terus mempertanyakan alasan semua orang melakukan hal yang sama padanya, menyakiti dirinya dengan mudah.Alih-alih menyalahkan orang-orang tersebut, Weni lebih memilih untuk berpikir bahwa di
“Ha-Hajoon?” sebut Weni saat melihat siapa yang kini berada di hadapannya.Pria tinggi itu tersenyum, bahkan senyumannya begitu indah saat dilihat langsung seperti sekarang. Membuat hati Weni tak menentu, sangat-sangat tak menentu.“Aku datang,” ucap Hajoon dengan kembali tersenyum.Weni terpaku di tempatnya, tak tahu harus melakukan apa. Bahkan ia tak sanggup berkedip sekarang, ia terus saja menatap sosok Hajoon yang kini terlihat begitu nyata.“Kamu benar Hajoon?” tanya Weni masih belum tersadar sepenuhnya.Hajoon mendekat selangkah, mendekatkan wajahnya dengan wajah Weni yang lebih pendek darinya. Tangan hangatnya menyentuh pipi Weni, terasa hangat dan nyata.“Benar, ini aku.” Hajoon mengusap lembut wajah Weni. “Apa masih tak percaya?” kekehnya.Wenni tersadar sepenuhnya saat mendengarkan kekehan Hajoon yang selalu di dengarnya saat menggoda dirinya. Ia segera mendur selangkah, menjauh agar sedikit memberi jarak dari Hajoon.“Ba-bagaimana kamu bisa ada di Indonesia?” selidik Weni.
Weni terus menatap pria yang berada di hadapannya itu, ia tak melepaskan kesempatannya sama sekali untuk mengamati pria yang sangat rupawan dan juga menawan itu. “Apa yang kamu lihat?” tanya pria yang bukan lain adalah Hajoon itu. Ya, pria yang dengan tiba-tiba datang ke Indonesia dari Korea hanya untuk bertemu dengan Weni itu kini nyata di hadapannya. Namun Weni terus merasa segalanya hanyalah khayalan yang tak nyata untuknya. Oleh sebab itu, dirinya tak juga melepaskan tatapannya pada Hajoon meski kini mereka tengah makan bersama di restoran yang cukup mewah bagi Weni. Makanannya tak tersentuh sedikit pun sejak makanan itu datang. “Dimakan dulu, sayang.” Hajoon memberikan sesuap makanan pada Weni. Weni tersadar dari lamunannya dan segera menerima suapan pertama dari Hajoon, tentu dengan tatapan yang masih tak lepas dari Hajoon. “Enak,” ucap Weni saat merasakan makanan yang enak berada di dalam mulutnya. Matanya yang sejak tadi tak lepas dari wajah Hajoon, kini teralihkan oleh m
“Apa aku bisa bertemu dengan Rena?” Hajoon menatap harap Weni yang tengah sibuk dengan ponselnya.Ini sudah menjadi pertanyaannya yang ketiga kali akan Rena, tapi Weni masih sibuk saja dengan ponselnya dan tak kunjung menjawabnya. Hal itu membuat Hajoon kesal, ia dengan sengaja menarik ponsel dari tangan Weni, dan mengecup bibir tipis di hadapannya.Weni sontak terkejut, hal ini terjadi karena pergerakan Hajoon yang tiba-tiba. Terlebih saat ini ada sopir di depan mereka.“A-Apa yang kamu lakukan?” marah Weni.“Habis kamu terus saja sibuk dengan. Ponselmu dan mengabaikan ku.” Kini Hajoon yang terlihat kesal. “Padahal aku ingin sekali bertemu Rena,” keluh Hajoon.“Rena?”“Kamu benar-benar tidak mendengarku sejak tadi?” Hajoon menatap Weni tak percaya, dengan penasaran ia menatap ponsel Weni yang membuat perhatiannya terkalihkan. “Kamu sedang chat dengan siapa? Bianca?” sebut Hajoon saat melihat nama yang tertera di chat.Weni yang tersadar, segera merebut ponselnya sebelum pria di hadap
“Rena!” seru Weni saat ia memasuki kamar yang sudah di penuhi orang juga.Ia menerobos masuk dan menemukan seorang anak kecil tergeletak dengan di tutup kain, di sana berdiri Haris yang menatapnya tajam. Tubuh Weni seketika lemas, ia tak mampu berdiri atau mendekat.“Apa kamu senang dengan semua ini?” marah Haris.Weni tak tahu harus berbuat apa, segala pikirannya menjadi gelap. Ia tanpa sadar memejamkan matanya dan tak sadarkan diri.“Hi, bangun!” Bentakan Haris membuat Weni seketika terbangun. “Apa yang kamu lakukan?” tanya Haris marah begitu Weni mencoba duduk.“Mamah sakit?”Suara Rena yang terdengar oleh indra pendengaran Weni, membuat Weni sadar sepenuhnya. Ia segera melihat Rena yang kini tengah berada dalam gendongan Haris, dengan segera ia mengambil alih Rena dari Haris.Weni seketika menangis dengan memeluk tubuh kecil Rena, bahkan Weni segera menciumi tubuh Rena. Menghirup aroma yang selalu menenangkannya, ia juga sesekali menatap wajah Rena untuk meyakinkan dirinya.“Kamu
Weni melakukan aktivitas paginya seperti biasa, memasak untuk sarapan dan juga membersihkan rumahnya. Ia melakukannya sebelum semua orang bangun di rumahnya, bahkan sebelum matahari terbit dan keluar dari persembunyiannya.Tidak butuh waktu banyak untuknya melakukan segalanya, masih banyak sisa waktu yang ia miliki hingga suaminya terbangun. Sisa waktu itulah yang di pakai Weni untuk sekedar duduk dan menonton sesuatu di ponselnya.“Apa yang sedang kamu lakukan?” tanya Haris yang tiba-tiba sudah bangun dan kini berdiri di ambang pintu kamarnya.“Aku hanya sedang melihat-lihat video,” jawab Weni seraya terduduk setelah ia sempat berbaring di atas sofa.“Aku ada pekerjaan pagi, jadi cepat siapkan semuanya sekarang.” Haris berlalu ke kamar mandi setelah memerintah Weni.Weni beranjak dari duduknya dan berlari ke dapur, menyiapkan bapa yang di butuhkah Suaminya. Tidak lupa untuknya menyiapkan pakaian sang suami dan menaruhnya di atas kasur.Tidak butuh waktu lama, Haris sudah siap dan rap