“Ah, sudah pulang.” Suara itu mengejutkan Weni, terlebih suara itu terdengar sedikit mirip dengan suara orang yang tidak mau di dengarnya hari ini. “Mila?” sebut Weni saat melihat seorang wanita berdiri di balik pintu yang terbuka.“Apa kabar Mbak?” sapa Mila dengan menerobos masuk ke dalam rumah.“Bagaimana kamu tahu Mbak sudah pulang?” tanya Weni penasaran, ia takut Mila melihatnya tadi turun dari mobil sewaan Hajoon yang terbilang cukup mewah itu.Mila tak langsung menjawab, ia justru mendekati Rena yang tengah asyik menonton televisi. “Rena kangen Tante?” tanya Mila dengan memeluk tubuh kecil Rena.“Tante Mila,” sebut Rena dengan senyuman terkembang.Weni yang ingin bertanya kembali pada gadis yang tengah beranjak dewasa itu, segera mengurungkan niatnya saat melihat Rena kini fokus pada Mila. Tanpa sadar di dalam hatinya mengucapkan syukur pada Mila, karena ia datang tepat waktu.Weni bisa mengalihkan sedikit pikiran Rena dari bayang-bayang seorang Park Hajoon, yang sejak tadi di
“Apa kamu menyukainya?” Weni terbatuk mendengar pertanyaan Bianca, ia tahu itu akan kembali dipertanyakan oleh sahabatnya itu. Terlebih saat jalan-jalan dirinya dengan Hajoon, menggunakan alasan pergi dengan Bianca. Bianca dengan rela menjadi tempat kebohongannya, bahkan katanya Bianca beberapa kali dihubungi Haris untuk meyakinkan bahwa dirinya benar pergi dengan sahabatnya itu. Namun beruntung Haris hanya meyakinkan beberapa kali di hari pertama, selebihnya ia tak kembali menghubungi Bianca. “Apa kamu melakukan itu dengannya?” Pertanyaan Bianca kembali membuat Weni tersedak, kali ini matanya bahkan membelalak menatap sahabatnya itu. Ia tak percaya dengan pertanyaan kedua gang terlontar dari mulut Bianca. “Apa kamu sudah gila?” omel Weni. “Bukankah itu pertanyaan yang wajar?” Bianca tak menurunkan ekspresinya sedikitpun, ia tetap pada pendiriannya. “Apalagi kamu mendapatkan segalanya dari dia, apalagi yang bisa diberikan kita wanita yang sudah menikah padanya?” tutur Bianca real
BRAK! Gebrakan pintu sukses membuat Weni yang tengah tertidur terbangun, bahkan dengan mata sedikit terpejam ia beranjak dari tempat tidurnya dan berlari keluar ruangan. Ia takut seseorang menyerang rumahnya. Begitu ia keluar, bisa dilihatnya bahwa Haris sudah pulang dengan wajah yang sangat tak karuan. Ia duduk di sofa, mencoba membuka sepatunya dengan kesal. “Kamu sudah pulang,” sapa Weni lembut pada pria yang sudah seminggu tak dilihatnya. “Senang aku tidak ada di rumah? Jam berapa sekarang!” Buk! Sepatu yang baru saja terlepas dari kaki Haris melayang ke arah Weni, beruntung dengan refleks Weni menghindari membuatnya terhindar dari pukulan sepatu pantofel hitam yang cukup berat itu. “Mas, kenapa kamu ….” “Apa?” marah Haris dengan tatapan yang tak kalah tajam. Ia bahkan segera bangkit dari duduknya dan mendekati Weni, jelas Weni melangkah mundur dan menundukkan kepalanya. “Inilah aku tidak suka kamu berhubungan dengan orang lain.” Haris mencengkeram wajah Weni. “Kamu mulai b
“Apa yang dilakukannya?” Aurel, wanita yang duduk tepat di samping Haris mengomel sejak tadi. Tapi Haris yang kini tengah sibuk dengan kemudinya tak juga membuka suara untuk menjawab pertanyaan Aurel. Weni jelas tak ingin ikut menjawab pertanyaan itu, ia hanya fokus pada anaknya-Rena. Rena begitu senang karena kini bisa pergi bersama kedua orang tuanya lengkap, meski ada tambahan wanita lain di dalamnya. “Mamah, Rena nanti mau beli es krim.” Rena menatap Weni dengan berbinar-binar, seketika membuat suasana hati Weni yang rusak menjadi baik kembali. “Rena mau beli yang cokelat,” lanjutnya. “Iya, nanti kita ....” “Nanti Mamah Aurel belikan, es krim seperti waktu itu kan?” Aurel memotong ucapan Weni, mencoba mengambil perhatian Rena. “Kita juga akan beli permen coklat kesukaan Rena,” lanjutnya penuh semangat. Rena bersorak riang dan mengiyakan apa yang di sarankan oleh Aurel, ia bahkan seketika melupakan Weni yang terdiam melihat kedekatan mereka. Ia tak tahu kalau Rena juga nyaman
[Sepertinya hari ini adalah hari menyenangkan, sampai aku chat tidak di balas] [Kamu sudah makan, bukan?] [Apa Rena menikmatinya?] [Kabari aku kalau kamu sempat ya,] [Aku merindukanmu] Weni baru membaca semua pesan yang dikirim Hajoon hari ini, ia baru sempat melihat ponselnya saat malam hari. Rena dan Haris terlihat cukup kelelahan dengan acara jalan-jalan mereka, begitu juga dengan Weni. Hanya saja, Se-cape apa pun Weni. Dia tidak akan bisa tidur nyenyak setalah apa yang ia dengar dan lihat hari ini, bagaimana kedua orang itu menghancurkan segala pertahanan seorang Weni. ‘Aku juga merindukanmu, sangat-sangat merindukanmu.’ Weni membalas pesan Hajoon dengan air mata yang mengalir, ia merasa sangat-sangat membutuhkan Hajoon saat ini. Benar kata orang, luka bisa sembuh dengan sebuah kebahagiaan baru. Walaupun luka itu akan meninggalkan bekas dan tak mungkin sepenuhnya hilang. Tapi dengan bertemu kebahagiaan baru, kamu akan sedikit melupakan luka itu bahkan menganggap luka itu a
Tatapan Weni menerawang jauh ke atas, ia kini tengah menatap langit-langit kamarnya. Rasa sesak yang terus saja dirasakannya hari ini tak kunjung hilang. Terlebih saat tadi ia beberapa kali mengajak Rena pulang tapi terus di tolak, ia akan pulang saat Ayahnya pulang. Hal itu membuatnya mendapat cacian dari keluarga Haris. Weni bahkan bisa mendengar bisik-bisik tetangganya yang mengatakan bahwa dirinya tak becus merawat satu anak saja. Entah bagaimana sang tetangga tahu, tapi yang pasti Weni kembali di hakimi. Hanya satu kesalahan, membuatnya terlihat jelek Dimata siapa pun. Hanya goresan kecil, tapi seakan itu adalah goresan yang besar. “Kenapa semua jadi seperti ini?” gumam Weni yang terus saja tak mendapatkan jawaban apa pun atas pertanyaannya. Ia mencoba menutup matanya, berharap semua bisa lebih tenang. Berharap perasaan dan pikirannya kembali berjalan dengan baik. Seharian ia tak makan, bahkan tak merasakan lapar. Namun tenaganya terus terkuras dengan kegiatan rumah tanggany
“Mamah!” teriak Rena dengan berlari kecil ke arah Weni yang sudah siap menyambut kedatangannya. Rena memeluk Weni dengan linangan air mata, entah apa yang tengah dipikirkan Rena. Tapi Weni dapat merasakan keresahan anak semata wayangnya itu, tanpa berkata ia tahu bahwa Rena merasa bersalah dengan apa yang dilakukannya. Weni memeluk erat Rena seakan mengatakan bahwa tidak apa-apa, ia tidak marah dan kini memaafkannya. Rena yang bisa memahami Ibunya itu pun kembali menangis dengan keras, membuat ulasan senyuman di wajah Weni. Tapi tidak dengan Haris, ia sudah siap marah kembali dengan Weni. Ia bersumpah akan memberikan pelajaran lebih pada wanita yang kini cukup membangkang dengannya. “Rena ....” “Rena sudah makan?” Weni mencoba mengalihkan pembicaraan, tak mau anaknya semakin larut dalam sedihnya. Ia juga tahu bahwa sepenuhnya itu bukan salah Rena seorang, ada dirinya juga yang salah. “Sudah,” jawab Rena. “Baguslah, sekarang Rena tidur ya. Ini sudah malam,” pinta Weni dengan bai
Weni menatap ponsel lamanya, ia bingung bagaimana bisa menghubungi Hajoon. Pasalnya ia sendiri tak memiliki nomor Hajoon yang bisa di simpan, kecuali di aplikasi tersebut. Setelah terbangun dari pingsannya, hal pertama yang dilakukan Weni adalah mencari ponsel lamanya. Ia terus mengotak-atik sebisa yang ia bisa. Namun karena ketatnya aplikasi tersebut, ia tak bisa masuk ke beda perangkat. Weni tak memedulikan luka-lukanya, ia hanya ingin tahu apa yang dilakukan Haris pada ponselnya. Ia yakin Hajoon mengiriminya pesan dan hal itu membuat Weni tak kunjung memikirkan apa yang terjadi. Bahkan rasa sakit yang sesekali menyerang tak ia hiraukan, tapi hasilnya adalah nol besar. Satu-satunya cara Weni hanya bisa meminta tolong pada Mila, karena Mila memiliki aplikasi yang sama dengannya. “Mbak?” Mila terkejut dengan kedatangan Weni yang sangat jarang terjadi, terlebih di malam yang cukup larut dengan penampilan yang cukup berantakan. Meski ia tahu bahwa Wanita yang lebih tua darinya itu