39. Terobsesi
"Tuh kan ane juga herman kemaren nggak ada foto mobilnya. Kalau Lio bilang keluarga minta hapus fotonya."Linggom mengangguk-angguk meski belum mengerti kenapa kira-kira keluarga meminta untuk menghilangkan foto itu.
"Agak lucu ya. Apa yang musti dikhawatirkan? Orangnya aja udah ditahan."
Kalau saja Kendrik tahu, dari kemarin mungkin tidak akan pusing berpikir tentang itu semua.
"Anterin ane ke suatu tempat yuk, Bray," ajak Kendrik.
"Kemana?"
"Gunung Timur."
"Heh, kalau mau piknik, ngajak cewek ente lah, masak ngajak ane. Kayak main hanggar aja."
"Bukan piknik ini, mau nyari tahu soal Pak Mujiyanto."
"Oh, kirain udah nggak doyan hamburger mau beralih ke hotdog."
"Heh, Gunung Timur itu wilayahnya besar. Ente kok cuma inget bagian itu doang coba?"
"Kondangnya kan begitu heheh."
"Lagian, kalau ane ngajak piknik pacar ane, nggak bakal ngapa-ngapain juga," kata Kendrik, kemudian menghel
Lembaga Permasyarakatan Gunung Timur"Njay, ente ngajakin ane ke rutan gini. Bahlul" kata Linggom sembari memandangi bangunan besar yang ada di depannya kini."Kemarin kan konteksnya mau tahu tentang Pak Mujiyanto. Kirain ente udah paham."Mereka keluar dari mobil dan menuju ke hotel prodeo itu. Suasana mencekam menyapa mereka tatkala para petugas berbadan kekar memandangi dari ujung rambut hingga ujung kaki.Waduh, kembarannya Kapten Hulk. (Linggom).Linggom berbisik, "Ane merinding."Petugas itu menyipitkan matanya seperti sedang mencurigai sesuatu."Ente tenang aja," bisik Kendrik."Okey, tenang-tenang, kita jangan bertingkah mencurigakan. Jangan sampai mereka nangkap kita," kata Linggom, masih dengan suara berbisik."Sssttt satu-satunya yang mencurigakan itu ente ngajak bisik-bisik di depan petugas gini," bisik Kendrik.Dua petugas yang sepertinya rajin ngegym itu mengernyitkan dahinya melihat dua orang asing berbisik-bisik tepat di depan mereka.Lu kire gue budeg? (Petugas 1)."E
"Begini Bu, kami ini memang jarang kelihatan.""Oh, paruh waktu? Atau magang?""Paruh waktu, Bu."Ibu itu mengangguk-angguk namun belum mempersilahkan Kendrik dan Linggom untuk masuk."Boleh masuk, Bu? Ini buat Ibu," kata Kendrik sembari memberikan bungkusan kue yang tadi dibelinya di Indomacet."Akh, ya, terimakasih. Silahkan masuk."Ibu itu membuka pintu lebih lebar agar dua tamu asing yang mengaku teman kerja suaminya itu bisa masuk. Padahal mereka sendiri tidak tahu Pak Mujiyanto kerja di mana."Ada perlu apa ya?"Otak Kendrik terus bekerja merangkai kata-kata yang pas agar si ibu ini tidak curiga. "Begini, maaf ibu ini istri Pak Mujiyanto?"Ibu itu mengangguk. "Iya benar.""Bu Muji, kami sebagai rekan kerja merasa prihatin dengan yang terjadi kepada Pak Mujiyanto, dan dulu kami belum mengungkapkan keprihatinan kepada ibu jadi kami nyusul," kata Kendrik sembari tersenyum canggung, takut ketahuan."Yah nggak apa-apa, gimana lagi. Pak Arswendo juga sangat perhatian kepada kami, jadi
"Groook ...." Terdengar dengkuran lumayan keras dari arah sofa.Stella menengok untuk menyaksikan sahabatnya itu mendengkur. Semalam Gangga mempraktikkan lagu Rhoma Irama yaitu 'Begadang' untuk mengerjakan artikel."Groook ....""Ma-maaf ya, Mbak Euis. Saya bangunin aja temen saya."Euis tersenyum geli mendengar dengkuran Gangga yang suaranya seperti gergaji mesin bertenaga listrik."Ngga, bangun," kata Stella sembari menepuk pelan lengan gadis itu.Tak sulit dibangunkan, mahasiswa itu membuka matanywa perlahan. "Aku di mana?""Di markas Green Green Lover.""Apa itu?"Teman baik Stella itu rupanya mengalami sedikit disorientasi. Nyawanya belum terkumpul sempurna, masih piknik ke sana ke mari sehingga harus ditunggu agar dia mengenali segala kondisi dengan baik.Gangga mengedarkan pandangan, melakukan scanning terhadap ruangan itu."Oh ...." Gadis itu mulai tersadar."Yok pulang aja, daripada kedengeran suara gergaji mesin.""Ha?!""Itu suara kamu ngorok, keras banget. Dah yuk, cabut."
Linggom mengambil laptopnya, menyambungkan ke internet dan mulai melakukan permintaan Kendrik. Dalam waktu kurang dari 5 menit, Linggom telah mendapatkan data-data utang-piutang Pak Mujiyanto."Kata ente ngehack nggak semudah membalik telapak tangan, ini baru 4 menit 20 detik udah bisa masuk," protes Kendrik."Ini namanya hoki, Wak!"Kendrik melihat sepintas data-data keuangan Pak Mujiyanto. Tak akan bisa selesai mempelajari dalam waktu singkat seperti ini. Matanya pasti akan jereng dan lagi Linggom membutuhkan laptopnya untuk bermain game dan menonton film saat istirahat nanti (tidak untuk bekerja karena dia menggunakan komputer milik kantor dalam bekerja).Setelah mencetak data-data itu, Linggom mempelajarinya. Pak Mujiyanto memiliki banyak sekali barang yang dibeli secara kredit di beberapa lembaga finansial. Bahkan, ember plastik pun dibeli secara kredit.Jangan-jangan beli bakso juga dikreditin. (Kendrik).Beberapa yang membuatnya perih adalah buku untuk anaknya yang dibeli secar
Kendrik mendekati Gangga dan si bapak berhelm oranye."Ngga, lagi ngapain?" Suara Kendrik membuat dua orang di hadapannya menoleh ke arahnya.Gangga mengusap sisa airmata di pipinya."Ini mbaknya nangisin pohon," jawab bapak itu, sotoy. Walau pun ya memang benar.Kendrik mengangguk. Kemudian dia meraih tangan Gangga dan menariknya hingga wajah gadis itu berada di bahu Kendrik. Gangga pun menangis sepuasnya.Melihat pemandangan itu, si bapak proyek mematung di depan Gangga dan Kendrik dengan pandangan kosong."Ehem ...""Oh ya ya, hehe, saya permisi pergi dulu. Sebentar lagi kami tebang lho, Mbak," pamit si bapak berhelm orannye lusuh yang membuat tangis Gangga semakin menjadi.Wuo, tempe bongkrek! Malah bikin dia tambah keras nangisnya. (Kendrik)."Sssttt, cup cup," bisik Kendrik sembari mengusap kepala Gangga.Kendrik kemudian mendudukkan Gangga di bawah pohon itu.Setelah tangis mereda, Gangga berkeluh kesah. "Dalam hitungan jam, pohon ini bakal ditebang. Yang tadinya ada jadi nggak
Dengan langkah cepat Gangga menuju ke area gedung kuliah dan kantor jurusannya di mana dia dan Stella sering menghabiskan waktu. Dia menghubungi sahabatnya itu melalui Chatsapp.📱Gangga: Kamu di mana? Udah denger kabar kalau ada demo komunitas Green Green Lover di rektorat?📱Stella: Aku lagi di jalan mau ke rektorat. Aku lihat rombongan mereka tapi belum tahu kalau mereka mau demo.📱Gangga: Kamu mau ke sana?Langkah Gangga tiba-tiba terhenti karena berpapasan dengan orang yang sedang dia chat. Stella menarik tangan Gangga untuk mengikutinya ke rektorat."Eh eh, main tarik aja. Kalau copot gimana tanganku nih!" protes Gangga."Tanganmu terdiri dari tulang, daging dan otot, bukan dari play dough. Nggak bakal semudah itu protol!"Dari arahnya, Gangga dapat menebak ke mana Stella membawanya. (Dan karena sudah terlihat tulisan besar bertuliskan 'rektorat' juga sih)."Ngapain ke rektorat?""Ya lihat demo lah!""Orang tuh kalau ada demo menghindar, bukannya malah nonton. Mereka itu demo,
"Kita musti ke rumah sakit, Stel.""Kamu juga sakit? Urgent? Tadi katanya kamu takut aku ugal-ugalan.""Ugal-ugalan dikit nggak apa-apa deh."Stella tidak bertanya lebih lanjut kenapa sahabatnya itu tiba-tiba ingin ke rumah sakit. Gadis yang juga seorang penulis novel online amatiran itu pun memacu kendaraannya.Dalam waktu 10 menit, mobilnya sudah terparkir di halaman sebuah rumah sakit, Rumah Sakit Sehat Sehati. Mereka berdua bergegas menuju IGD."Permisi, sekitar 10 menit yang lalu ada ambulan yang bawa korban kerusuhan demo. Dirawat di mana ya, Mbak?" tanya Gangga kepada bagian administrasi IGD.Wanita berbaju putih-putih yang sedang ditanyai oleh Gangga itu tampak kebingungan mencari data."Mohon maaf, sudah selama 30 menit belum ada ambulan atau pasien darurat," kata perawat itu dengan wajah datar.Gangga melongo kemudian mengalihkan pandangan pada Stella."Stel, dapat keterangan dari mana Vano ada di rumah sakit ini?""Nggak dari mana-mana, aku nggak tahu kalau kamu mau ngejar
Kantor FMIPA Universitas Vanguard"Ken, demonya rusuh beneran ni," kata Pak Wardiman."Rusuh gimana, Pak?" tanya Kendrik yang sedang mengetik soal ujian responsi praktikkum yang diampu oleh Prof.Yunandar."Ada yang ketusuk.""Hah?!"Linggom masuk dan bergabung. "Ada dua orang yang luka. Tapi beritanya masih simpang siur.""Bentar-bentar otakku belum connect. Para pendemo itu bikin rusuh dengan nusuk orang? Bener-bener modelan democrazy!""Bukan bray, justru pendemonya kena tusuk.""Kok bisa? Apa penusuk itu semacam petrus kayak jaman sebuah orde di masa jebot?" [petrus=penembak misterius]."Mungkin juga. Kalau demo itu ya gini deh, rawan rusuh. Ada yang ngacau kayak gitu udah nggak ngerti lagi motivasinya apa. Bisa aja black campaign," kata Linggom.Kendrik dan pak Wardiman mengangguk-angguk."Aku jadi inget waktu demo tahun 99, waktu itu umurku masih di bawah 30 tahun, udah punya anak 1. Banyak mahasiswa yang hilang tanpa jejak. Entah gimana nasib mereka, sampai sekarang nggak ada ka