Kediaman Pak ZakariaPak Zakaria sedang menonton konferensi pers yang dilakukan oleh rektor Universitas Vanguard. Dia berdecak beberapa kali.Mereka ketangkep! (Pak Zakaria).Meski utusannya tertangkap, pengakuan kedua orang bermarga Wong itu sama sekali tidak menyebutkan namanya. Dia bisa bernapas lega.Lumayan lah, emang bener-bener profesional mereka. Nggak salah aku bayar mereka. (Pak Zakaria).Dia meraih gagang telepon dan memijit angka 1 untuk memanggil asistennya, Joni.📞"Masuk, Jon!"📞"Masuk ke mana, Pak?"📞"Ke ruangan saya lah! Masak ke hatimu?!"Joni mengetuk pintu tiga kali sebagai standar kesopanan memasuki ruangan. Namun, itu malah membuat bosnya sedikit kesal.Udah jelas disuruh masuk, pake ketuk pintu segala. Habis-habisin waktu! (Pak Zakaria).Lelaki tua itu enggan menjawab. Dia membiarkan asistennya berpikir sendiri. Karena tak ada jawaban dari dalam, Joni tak berani masuk. Dia mengetuk sekali lagi.Pak Zakaria masih bersikeras tak bersuara. Namun, kamudian mengetu
Pak Wardiman masuk ke dalam lab, menyaksikan sepasang sahabat sedang berpelukan. "Inilah, Pemirsa, acara tali kasih bertemunya kembali sepasang anak kembar yang terpisah dalam sinetron Putra Kembar Yang Tertukar.""Hash, Pak Wardiman! Ini lagi serius.""Serius kenapa? Aku kok nggak diajak?"Linggom dan Kendrik saling memandang. Linggom menggeleng pelan, kode agar Pak Wardiman tidak usah dilibatkan dalam masalah ini. Kendrik membalas dengan anggukan kecil."Pak ...," kata Kendrik perlahan. "Pak Wardiman tenang aja, pokoknya semua aman terkendali. Kami minta tolong aja, siapa pun yang nanyain tentang kami, jangan kasih tahu apa-apa. Oke?""Oke. Lagian, kalau ada yang mencurigakan dan nanyain kalian pasti terekam CCTV. Di sini kan penuh CCTV kecuali kantin."What. Iya juga ya, baru inget. Oh pantesan si Wong nggak berani masuk area sini. Wait, aku sendiri nggak aman dong. Pas Wong diinterogasi di sini itu bijimane dah? (Kendrik)."Eh Pak, CCTV itu bakal dipantau ya? Ditonton gitu?" tanya
Kendrik segera memacu kendaraannya karena dia tidak ingin menginap di rumah ketua RT. Dia juga takut nanti malah dijodohkan dengan anak sang kepala rukun tetangga tersebut seperti yang banyak terjadi di sinetron dan film.Linggom memandangi secarik kertas yang bertuliskan nama dan alamat orang yang dimaksud pak RT. Mata Linggom menyipit berusaha mengeja tulisan yang lebih mirip tali tambang bundet itu.Denah kecil mungil juga telah tergambar di sana sebagai peta petunjuk. Service yang diberikan sangat super berkat pelicin kertas ajaib bertuliskan 100.000 beberapa lembar."Itu kan rumahnya?" Kendrik mengkonfirmasi."Menurut denah ini iya. Tapi kok gelap ya?"Dua lelaki yang usianya terpaut tiga tahun itu keluar dari mobil kemudian berjalan menuju rumah sederhana di depan mereka. Kendrik mengetuk pintu.Terdengar deritan engsel pintu, tanda pintu sedang dibuka dari dalam. Muncul seorang lelaki separuh baya dengan lampu senthir di tangannya membuat hanya wajah lelaki itu yang tersorot ca
"Itu doang yang mencurigation. Yang lain biasa aja. Jumlahnya paling gede ya ini.""Akh ... ente itu kurang wawasan atau gimana? Jumlah besar belum tentu karena bayaran jasa kriminal. Bisa aja buat nyamarin itu dicicil jadi dikit-dikit.""Ceknya cuma satu, Bray. Kertas-kertas lain malah tagihan-tagihan sekolah dan lainnya. Nah untuk mastiin, bakat nge-hack ente harus dikerahkan lagi buat nyari tahu apa mereka ada transaksi besar atau enggak."Linggom mencebikkan bibirnya sembari mengamati cek. Dia mengirimkan gambar itu ke ponselnya dengan sambungan NFC.***Rumah StellaGangga dan Stella masih dengan perang dingin mereka. Namun, sebenarnya Stella sudah merindukan sahabat sengkleknya. Ingin sekali ia mencurahkan isi dompet. Pergi bersama Gangga sering kali menguras isi dompet Stella yang memang dari sananya hanya sedikit.Stella rindu saat-saat mereka mencurahkan isi hati terutama masalah novel online-nya masih belum jelas jluntrungannya. Biasalah, platform mana pun selalu memberikan
Tugas Linggom bertambah satu yaitu mencari tahu siapa kah Joni. Dia memulai kegiatan mencari jati diri Joni yang tiba-tiba saja hari itu menjadi bintang bagi Kendrik dan Linggom.Bak fans mengorek keterangan tentang idola, informasi lengkap-selengkap lengkapnya telah tersaji di depan Linggom."Joni Yan Banuwirya. Dia membantu sebuah perusahaan teh kombucha bernama Virtex yang dipimpin oleh ayahnya. Usia 28 tahun."Kendrik mendengar itu kemudian memijit pelipis matanya yang berkedut karena pusing. Orang yang bernama Joni tidak begitu mencurigakan."Kenapa, Bray?""Dari keterangan yang ente baca barusan, kayaknya dugaan ente semalem bener, Bray. Bahwa kemungkinan cek itu bukan yang kita cari. Kayaknya nggak ada hubungannya sama Pak Zakaria."Linggom menutup laptopnya. Dia menepuk pundak Kendrik, menenangkan. "Sabar, Bray. Pasti ada titik temunya."Kendrik menghela napas dalam-dalam. "Mungkin, ini adalah akhir dari semuanya. Mungkin perjuangan kita cukup sampai di sini. Biar semua ini me
Gangga menganga memandangi orang di sebelahnya mencatat sesuatu di buku note dengan ambisius. Goresan-goresan penanya begitu kuat hingga hampir kertas yang digunakan robek. Dia mengintip apa yang ditulis sehingga sebegitu pentingnya.Tertulis nama 'Joni' ditambah beberapa coretan abstrak yang tidak dapat dia terjemahkan. Selesai menelpon, selesai pula kegiatan coret-mencoret di buku notes itu.Kendrik menoleh ke arah Gangga. "Kita pulang sekarang!"Tidak menunggu jawaban dari Gangga, Kendrik menggandeng tangan kekasihnya kemudian menariknya sembari berlari."Jelasin napa, Kak!" kata Gangga sembari setengah berlari."Ada titik terang. Masih gelap sih, tapi yang jelas belum berak," jawab Kendrik yang juga sembari ngos-ngosan karena gerakan cepatnya."Hah? Siapa yang belum berak?""Eh maksudnya belum berakhir."***Kos LinggomKendrik tidak pulang ke rumahnya sendiri. Tadinya dia tidak ingin mengganggu Linggom yang telah pamit untuk tidur dalam sambungan telepon. Akan tetapi karena dia m
Kendrik mengeluarkan keringat saat mengeluarkan ponsel dari sakunya. Apa dan bagaimana dia akan menelpon orang yang sama sekali tidak dia ketahui nomornya itu. Cling, sebuah ide muncul.Dia akan beracting seakan sedang berbicara kepada Pak Zakarria dan akan meminta dia memecat resepsionis itu jika tidak mengizinkannya masuk, persis seperti adegan serial-serial tontonan ibunya di rumah.Kendrik memencet ponselnya secara random kemudian berbicara sendiri di hadapan resepsionis yang sekarang berwajah masam itu. “Halo, Pak Zakarria. Saya sudah berada di front office sekarang tapi malah tidak diperbolehkan masuk sama resepsionis Bapak yang namanya ....” Kendrik menyipitkan mata sembari membaca name tag wanita di hadapannya. “Lo—loreng.”“Florent!” ralat wanita di hadapan Kendrik.“Apa?! Bapak sudah menunggu saya di ruangan Bapak? Saya akan segera ke sana, Pak. Tapi gimana ini resepsionis Bapak nggak ngijinin saya masuk. Gimana kalau dipotong gaji, Pak? Atau dipecat saja sekalian!”Florent
Kendrik dan Linggom telah berada di depan perumahaan elit Pondok Elok. Tak salah diberi predikat elit, bangunan rumah di kompleks ini besar dengan halaman luas. Tidak ada pemilik yang keluar rumah untuk bergosip.Yang keluar rumah untuk menebar berita-berita sosial adalah asisten rumah tangga. Jika ada seorang wanita berdaster lalu keluar rumah untuk mengobrol, para ART lain pasti akan menanyainya dengan pertanyaan seperti “Baru kerja ya?”, atau “Udah berapa lama ikut rumah ini, kok baru keluar?”Pemilik rumahnya bergaul dengan teman-teman high class dan sosialita saja. Mereka juga keluar-masuk mengendarai mobil, hampir tidak pernah keluar rumah untuk bepergian jarak dekat. Yang tinggal di sana adalah bos-bos besar perusahaan, artis, selebriti dan aktor-aktor film.Linggom menyenggol Kendrik. “Ente yakin ini bakal berhasil, Brot?”“Brot? Panggilan macam apa itu?!” protes Kendrik.“Itu singkatan dari brother.”“Oh. Ane perkiraan bakal berhasil dari pada kita musti sok kenal dan harus n