Share

Bahagia Setengah Mati

“Hai, Kak, bisa undur deadline bulan ini?” Aku sibuk dengan laptop dan gawaiku. “Sehari saja. Mungkin aku baru selesai malam nanti.” Aku memutar mataku saat sosok di balik telepon terus mengoceh. “Oke, sore nanti akan selesai.” Lalu panggilan diputus.

Aku tengah melakukan proyek menulis di salah satu penerbit. Editor kenalanku punya penawaran untuk proyek international. Ada penerbit luar negeri yang tertarik dengan karyaku dan memintaku membuat sekuel baru dari karya pertama yang kubuat.

Sebagai penulis fantasi, aku suka mengeksplor ranah yang biasa yang kemudian kuolah secara tulisan untuk jadi lebih menarik. Konsep ceritaku kali ini adalah vampire namun dengan seting Indonesia.

Jika kalian penyuka horror, pasti kalian paham dengan beberapa vampire termasuk yang berasal dari cina. Di Indonesia sendiri, vampire seperti vampire cina juga ada. Ini dimulai dari jaman penjajahan di mana banyak masyarakat cina yang dibawa ke Indonesia dan menjadi penduduk tetap di negara ini. Mereka meninggalkan banyak budaya, dan juga cerita rakyat dengan struktur yang sama namun berlatarkan lokal.

Seperti kisah Suhadi, seorang tionghoa yang tinggal di dekat pemakaman cina. Dia menuturkan banyak hal terkait penampakan raga hantu termasuk vampire. Mereka biasanya muncul akibat ritual gaib yang membuat mereka mencari mangsa sesuai dengan keinginan si pelaku ritual.

Cukup unik, apa lagi jika yang mendengarkan adalah penulis fantasi sepertiku. Aku bahkan membuat sebuah buku tentang kisah cinta vampire asia dengan seorang wanita yang ia tinggalkan sebelum sempat ia nikahi.

Terdengar biasa, namun aku punya banyak fantasi aneh yang membumbui cerita ini, termasuk adegan ranjang yang brutal.

Aku bahkan lebih gila saat membuat sang wanita yang bercinta dengan sang vampire di dalam petinya. Membayangkannya saja sebenarnya lucu. Bagaimana bisa membuat sebongkah mayat berdiri. Dia jasad yang sudah tak berdarah, jadi berdiri saja sudah tak mungkin. Tapi penikmat fantasi ini sangat banyak. Orang luar bahkan membeli ratusan ekslempar hanya agar bisa membaca bagaimana sang wanita bergoyang di atas badan mahluk yang sudah mati.

Aku sendiri sedikit basah dengan cerita ini. Aku sudah memijat di antara pahaku, menusuknya sedikit dan membasahi permukaannya agar licin.

“Emh!” Entar kenapa bayangan Ralp muncul. Dia suka jika aku sudah bersikap manja dan mulai memijit di hadapannya. Apa lagi jika aku melumatnya dan menjilatinya hingga berdiri sempurna. Aku tak tahan. Aku merasa ingin diisi dan meraba saja tak membuatku puas.

Kugunakan penaku untuk menggosok di balik celana, tapi rasanya aku belum bisa sampai juga. Lalu entah mengapa tanganku meraih gawai. Aku harus melihat wajah Ralp dan mengerang bersamanya.

“Ya?” Ralp muncul di layar dengan rambut basah. Dia pasti sehabis mandi dan baunya pasti wangi. “Wajahmu kenapa?” tanya Ralp dengan khawatir.

Aku malu, namun rasa inginku lebih tajam. Jadi aku mengeluarkan apa yang ada di balik baju dalamku dan membuat gundukan itu terlihat segar dari layar.

“Kau tak mau ini?” tanyaku yang sudah menggigit bibir.

Ralp tersenyum dan sedikit mendesah. “Kalau aku ada di sana, aku pasti sudah gila.” Ralp membuka celananya dan menjauhkan gawai. “Kau mau ini, kan?” tanyanya. “Dia besar dan kesepian. Apa kau mau mengecupnya?”

Aku tergoda dan jariku sudah mengaduk dengan liar. “Aku ingin dia di sini,” ujarku yang mengarahkan kamera ke antara pahaku. “Aku ingin dia masuk dan keluar dengan cepat.” Ah, rasanya aku akan melayang.

“Kau sangat kesepian, sayang.” Aku tahu, tapi jariku tak mau tahu. “Kau mau kujilat?” Ah, Ralp paham cara berfantasi.

Lalu kami saling melihat tangan kami bekerja naik, turun, maju, dan mundur. Aku sendiri sudah bergerak tak stabil dan menjerit saat sesuatu seperti keluar dari diriku. Lalu aku ambruk.

“Kau cepat sekali keluar?” tanya Ralp yang melihat mataku begitu sendu. “Apa kau mau lebih?”

Aku tersenyum. “Terimakasih.” Lalu panggilan kuhentikan.

***

“Aku mendengarmu.” Wendi muncul dari balik pintu kamar Ralp. Untung saja dia sudah selesai mengenakan celana dan menggenggam kunci mobilnya. “Kau tak puas dan meninggalkan begitu saja baumu?”

Ralp menyeringai namun tak peduli. “Bye, Wendi!”

“Dia bahkan tak menganggapku wanita.”

Wendi sebenarnya bukan siapa-siapa Ralp. Mereka hanya sepasang vampire buatan yang tinggal di Indonesia. Mereka sama-sama anak jalanan yang dipaksa menjadi vampire dan saling bergantung.

Entah mengapa Ralp tak punya rasa terhadap Wendi, dan berbeda dengan pria itu, Wendi sebenarnya cukup sering menggoda dan bahkan bertelanjang diri setiap kali ada kesempatan.

“Kau sudah kuanggap adik,” ujar Ralp saat Wendi sangat frustasi. Dan hal itu tak bisa Wendi terima. Bagaimanapun dia cukup dewasa untuk bergejolak, dan akhirnya dia hanya bisa mengatasi gejolak itu dengan berjumpa beberapa lelaki di bar murah pinggir kota.

Bar itu cukup punya minuman keras untuk ia minum sembari menunggu. Kaus hitam dan mini jeans sudah cukup membuat beberapa pria meliriknya dan membuatn Wendi terpancing.

Seperti malam itu.

“Sendiri?” tanya salah satu pria yang tertarik pada Wendi. “Mau kubelikan minum?”

Wendi tersenyum. “Aku sudah mabuk. Bisa bawa aku pulang saja?” Wendi mendekat dan merangkul leher si pria. Wanita itu cukup wangi dan punya pesona yang membuat siapapun mengiyakan. Jadi Wendi berakhir dengan pria itu di sebuah kamar, jatuh bangun bersama, hingga melengking dalam nikmat.

“Apa kau tak bisa berdiri lagi?” tanya Wendi yang mencoba melumat dan menjilat.

“Sayang, aku sudah lelah. Ini ronde kedua.”

Wendi kecewa. Dia ingin lebih, tapi pria itu kurang perkasa. Padahal dia masih basah dan belum sempat keluar. “Sial!” Wendi menjerit dan membuat si pria kaget. Ia lantas memakai kembali pakaiannya dan berjalan terseok. “Apa tak ada yang punya tenaga lebih hebat?”

Wendi terus berjalan sampai melihat beberapa konvoi terparkir di depannya. Isinya kumpulan pria dengan rompi kulit dan juga badan tegap.

Lalu wanita itu tersenyum. Ia berjalan mendekat dan memamerkan pesonanya. “Hai, sayang?” Wendi mendekat dan berbisik pada salah satu pria, “Mau melakukan itu bersama teman-temanmu?” tanyanya.

Pria itu menyeringai. “Berapa teman wanitamu?”

“Kau tak butuh wanita lain kalau bisa memuaskanku,” ujar Wendi yang dikelilingi sorakan dan juga tangan yang membopongnya. Dan kalian bisa membayangkan seliar apa malam itu.

Wendi yang kesepian itu memompa dan keluar berkali-kali. Dia tahu jika kualitas tak bisa menyempurnakan keinginannya, maka kuwantitas pasti bisa memperbaiki.

“Kau mau kujilat, sayang?” tanya seorang pria yang berdiri bersama juniornya.

“Kau bisa buat aku keluar lagi?” tanya Wendi yang membuka pahanya.

“Kau mau keluar berapa kali?”

Wendi tersenyum. “Sampai rahangmu pegal dan mulai membuatku duduk di pangkuanmu.” Dan pesta liar malam itu membuat Wendi bahagia setengah mati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status