Suasana party malam ini begitu crowded. Maklumlah pestanya kaum jetset dan aku bisa di sini pun karena ajakan om Anjas adik dari mama. Terkadang aku tak habis pikir sama orang-orang ini buang-buang duit untuk acara gak penting. Kalau kelebihan duit mending disumbangkan ke orang yang gak mampu. Sebenarnya aku malas ikut tapi om Anjas memaksaku untuk ikut karena dia sedang tidak punya pacar.
Mama? Jangan tanya mamaku mengizinkan atau tidak. Secara om Anjas itu adik bungsu kesayangan mama alias anak bontot dari kakek dan nenek jadi mama gak akan keberatan aku ikut ke party kaya' gini bahkan mama begitu antusias mendandaniku seperti main boneka barbie. Ini kesempatan buat mama untuk bereksperimen dengan wajah cantikku. Karena di hari biasa aku malas berdandan sampai mama ngomel-ngomel. Malas banget berurusan dengan bedak dan kawan-kawannya yang membuat wajah kaku itu. Apalagi di party seperti ini tak jarang kutemui tante-tante dengan bedak setebal 1 inchi dan lipstik merah darah. Dewasa itu gak harus menor kali tante. Jadi jangan salahkan aku kalau aku dewasa sebelum waktunya.
Aku heran sama oom satu ini yang tak pernah serius dengan sebuah relationship. Dengan tampang ok dan kantong tebal tentu tak begitu sulit untuk mendapatkan partner hidup. Tapi entahlah dia tidak pernah lama dengan partner yang dia dapat sampai saat ini. Bahkan tak jarang si Om hanya menghendaki one night stand. Alhasil dirikulah yang jadi tumbal om keceku ini untuk digandeng ke acara-acara seperti ini. Tapi aku tidak bodoh aku akan selalu meminta imbalan untuk setiap jasaku ini. Bukan barang branded ataupun gedget terbaru seperti permintaan cewek kebanyakan. Itu semua udah mainstream lagian itu terlalu mudah untuk si Om kece ku yang berkantong tebal ini. Aku lebih suka minta waktu om Anjas untuk mengunjungi nenek dan kakek di Jogja bersamaku. Itulah kenapa nenek begitu menyayangiku karena cuma diriku yang bisa menyeret om Anjas pulang di tengah kesibukannya. Sebenarnya 'sibuk' itu cuma alasan aja buat si Om karena malas disuruh kawin sama nenek. Maklumlah di usia 33 tahun si Om masih belum serius cari partner hidup.
"Om...kapan pulang sih om? Boring nih,"rengekku manja.
"Sabar ya, Sayang. Tungguin temen om dulu,"balasnya sambil mengelus rambutku sayang.
"Tapi Reyna udah ngantuk om. Besok sekolah. Reyna bentar lagi kan ujian."
"Iya, om tahu. Jangan bawel kaya' nenek!"
"Diiih...si Om ntar aku aduin ke nenek ya?"
"Kamu..."
"Hei brow!"kata-kata si Om kepotong sama suara dari arah belakangku.
"Hai juga brow!"si Om membalas dengan mengangkat sebelah tangannya kemudian mereka melakukan pelukan ala eksmud.
Aku memainkan bibir gelas yang tengah aku pegang. Aku berdiri di samping om Anjas yang tengah ngobrol panjang kali lebar dan tak aku pahami. Sesekali aku tersenyum ramah saat teman om Anjas melihat ke arahku. Dari arah depanku seorang pria mungkin seumuran om Anjas berjalan ke arahku. Aku tak tahu kenapa tiba-tiba dadaku bergemuruh, perutku melilit, nafasku sedikit sesak bahkan penglihatanku sedikit kabur. Pria itu semakin mendekat ke arahku hingga aku bisa melihatnya semakin jelas. Rahang kokohnya ditumbuhi jambang yang sepertinya habis dicukur rapi, mata gelap segelap malam, rambut coklatnya yang dicukur pendek dan dibuat sedikit berantakan memberikan kesan sexy, hidung bagai perosotan anak TK dan bibir yang pas tidak tebal dan tidak tipis terlihat cipokable banget. Pegangan...aku butuh pegangan sebelum tubuhku luruh ke lantai. Gelas yang kupegang kuulurkan ke waitress yang lewat. Kuraih lengan om Anjas untuk jaga-jaga jika sewaktu-waktu aku kehilangan fungsi kakiku.
"Hai..."sapanya singkat tanpa senyum sama sekali.
"Oh hai Hans!"balas om Anjas balik sebelum aku balas menyapanya. Om Anjas melepaskan lenganku dan meraih om Sexy dalam pelukan ala eksmudnya. Untung saja om Anjas membalas sapaannya cepat kalau tidak aku akan malu setengah mati karena kegeeran mengira dia tengah menyapaku. Kutundukkan wajahku yang sudah semerah tomat busuk dan untung dobel karena mereka tak menyadarinya.
"Kapan balik dari Jerman?"terdengar om Anjas bertanya. Aku masih belum berani mengangkat wajahku.
"Minggu lalu."
"Gimana kerjaan disana? Lancar?"
"Lancar."
"Ortu sehat?"
"Sehat."
"Gimana hubunganmu dengan Jessica?"
"Fine."
"Gimana tentang penawaranku kemarin?"
"Kita bicarakan besok."
Dari pembicaraan om Sexy dan om Anjas barusan bisa aku simpulkan bahwa om Sexy ini irit kata. Wait, apa tadi yang ditanyakan om Anjas? Hubungan? Dengan Gisel? Gisel? Bukankah itu nama wanita? Jadi om Sexy in a relationship? Apakah istri?
"Kapan rencana married?"
Om Sexy mengangkat bahu sebagai jawaban.
Aku bernafas lega mendengar pertanyaan om Anjas barusan. Ah om keceku ini tahu ponakannya tengah penasaran. Angkat bahu? It means om Sexy masih available dong yes. Rencana menikah pun belum ada double yes.
"Rencana menetap atau balik Jerman brow?"tanya teman om Anjas satunya yang memperkenalkan diri tadi bernama Nino.
"Menetap...maybe."
Triple yesssss. Aku bisa membayangkan masa depanku secerah sunshine. Aku bakal buat om Sexy falling in love very deep deep deep with me.
"Masih betah jadi model dia?"
"Of course. That's her dream."
"Hati-hati brow. Nanti dia diembat sesama model."
Om Hans hanya menanggapi dengan senyum. What? Model? Sainganku berat nih? Aku mah apa atuh? Anak SMA yang masih bau kencur. Pakai lipstik aja belepotan. Perjuanganku bakal panjaaaang dan beraaaat banget. Huft...belum apa-apa sudah terasa capeknya.
"Oh ya...kenalin ini keponakan gue," om Anjas memperkenalkan aku pada om Hans. Ok...saatnya unjuk gigi.
"Reyna,"ucapku memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan tak lupa senyum pepsodent menunjukkan gigi-gigiku yang berjejer rapi hasil pemakaian kawat gigi 3 tahun lalu.
"Hans,"balasnya singkat dan memandangku sekilas tanpa membalas uluran tanganku.
"Sombong banget sih om?"aku mulai sebal. Mentang-mentang cakep.
"Pardon?"
"Kenapa Om sombong gak balas uluran tangan aku. Tenang aja tangan aku bersih dan aku juga gak penyakitan kok."
"Reyna..."tegur om Anjas. "Sorry brow. She's still 17 years old."
"Seventeen? I see...childish as always."
What? Childish dia bilang?
"Excuse me, om Anjas harus ingat 3 bulan lagi Reyna 18 tahun. Dan buat om Hans maaf sekali Reyna gak childish seperti yang om bilang!"Om Hans hanya mengerutkan keningnya.
"Gak usah dikerut-kerutkan gitu om keningnya. Kelihatan tambah tua,"selorohku kesal melihat ekspresi coolnya padahal aku sudah menggebu-gebu.
Ha...ha...ha...
Tawa renyahnya meledak. Diikuti tawa om Anjas dan om Nino. Kekesalanku menjadi berkali-kali lipat. Tapi melihat om Hans tertawa hatiku semriwing kaya' abis makan permen mint. Adem banget."She's so cute when angry,"om Anjas menoel pipiku.
"Iiiih...om Anjas ngeselin,"kupukul lengan om Anjas dengan clutchku.
"Stop baby. Lagian udah saling kenal kok kenalan lagi,"om Anjas memegang lenganku untuk menghentikan aksi anarkisku.
"Aku...mengenalnya?"tanyaku dengan menunjuk kearahnya dan mengamati om Hans berusaha mengingat-ingat.
"Emhem..."om Anjas hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Aku berpikir sejenak. Sepanjang ingatanku sepertinya aku belum pernah bertemu dengan om Hans. Atau aku pernah mengalami amnesia hingga kehilangan sebagian memori otakku. Tapi aku tak pernah mengalami kecelakaan apapun bahkan terbentur saja tidak pernah. Lalu kenapa aku tak bisa mengingatnya? Secara wajah-wajah seperti om Hans ini memorable banget. Jadi kalau aku beneran udah pernah ketemu aku gak mungkin lupa.
"Gak usah dikerut-kerutkan gitu keningnya. Kelihatan tua!"
Apa maksudnya itu? Dia mengcopy kosa kataku?
"Emang om siapa? Kita pernah ketemu dimana? Kapan? Kenapa aku gak ingat?"berondongku dalam satu tarikan nafas.
Dan mereka hanya kembali tertawa tanpa menjawab pertanyaanku. Kalau dalam film anime mesti dari telinga dan ubun-ubunku sudah keluar asap. Arrrghh...menyebalkan.
TBC
"Om... stop laughing!" kataku semakin kesal."Hans itu teman SMA om. Dulu sering main ke rumah.""O ya? Kapan?""Dulu. Waktu umurmu 2 tahun," om Anjas menjelaskan tanpa beban mental sedikitpun dan berhasil membuatku menganga lebar.Waktu umurku masih 2 tahun katanya? Ini om Anjas yang rada-rada karena belum dapat orgasme atau karena aku yang gagal paham sih?"Bukannya waktu itu om Hans yang ngejenguk Reyna di rumah sakit pas Reyna baru aja berojol dari perut mama ya Om?" tanyaku sarkastik.Dan kalimat sarkasku disambut tawa oleh ketiga om menyebalkan yang sialnya sexy as hell yang mengelilingiku membuatku ingin mencakar wajah mereka satu persatu.----Suasana kantor siang ini sedikit lengang orang-orang sedang mengerjakan pekerjaan di lokasi proyek mereka masing-masing. Dimulai dari opa, ayah dari papaku yang adalah seorang ars
Malam ini Reyna tak bisa tidur lagi. Lewat tengah malam dan matanya tak bisa terpejam barang lima menit saja. Pernyataan om Anjas tentang rencana kepergian om Hans ke Jerman sudah pasti berpengaruh pada mood ku. Demi apa, aku baru memberi jeda pada perasaanku tapi kenapa om Hans melangkah semakin jauh dari jangkauanku. Yeah, memang dari awal om Hans tak pernah mendekat ke arahku tapi aku kan berusaha. Hey, jangan menghakimiku, aku memang masih labil umurku belum genap 18 okey jadi wajar.Tapi membayangkan om Hans pergi jauh dari jangkauan udah buat aku senewen apalagi disana ada rivalku. Dan layaknya sepasang kekasih yang habis LDR mereka pasti melakukan.... Uhh... aku tak mau mengatakannya tapi kalian pasti paham maksudku. Tolong otakku yang cerdas come on mulai berpikir. Tapi sekeras apapun aku berpikir tidak akan merubah apapun. Om Hans sudah pergi."Kenapa loe pucet banget sih? Itu apaan mata panda?" cerca Rayan saat menjemputku."Diem deh g usah bawel pagi-
"Baliiiiii......! I love you so damn much!""Jangan norak Rey, bikin Om malu aja!""Biarin, yang penting Rey seneng!"Tanpa menghiraukan omelan om Anjas aku berlari menyongsong air di tepian pantai. Aku sengaja menggunakan bikini one piece dibalik kain pantaiku. Makanya dari tadi om Anjas tidak berhenti mengomel bahkan mengumpat sedangkan aku hanya tertawa menanggapinya.Ombak bergulung-gulung di kejauhan menuju pantai. Di sini emang surganya para peselancar. Sayang aku gak bisa surfing. Kulupakan sejenak kegalauan tentang om Hans. Biarlah dia bahagia dengan pilihannya dan aku akan belajar melupakannya. Aku sudah mantap untuk lanjut di Monash. Jarak yang membentang semoga bisa membantuku untuk berproses, proses melupakannya tentu saja. Insomniaku semakin parah, aku bisa tiba-tiba terbangun di tengah malam karena mimpi buruk tentangnya. Bukan, bukan tentang om Hans yang celaka atau semacamnya tapi senyum mengejek om Hans atau tatapan mata taj
Wanita itu mengangguk dan terus terisak sambil menggumamkan terimakasih. Beberapa saat kemudian wanita itu pergi meninggalkan Reyna yang menatap kepergiannya dengan tatapan kosong.'Mbak harus cepet masuk, ya. Mas yang di dalem butuh bantuan banget,' pesan wanita yang barusan pergi dan meletakkan card akses masuk ke kamar Hans. Tak mau membiarkan Hans menunggu terlalu lama Reyna bergegas membuka pintu dengan card yang diberikan wanita tadi.Dengan tangan gemetar dan perasaan gamang Reyna masuk ke kamar hotel. Saat masuk pemandangan yang ia lihat pertama kali adalah pakaian yang berserakan di lantai tapi Hans tak terlihat. Suara gemericik air terdengar dari balik pintu di sisi kanan ranjang yang ia yakini adalah kamar mandi.Saat masih bingung memikirkan apa yang harus dilakukannya tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka dan muncul Hans hanya dengan mengguna
Reyna menangis tanpa suara. Tidak hanya fisiknya yang terluka tapi hatinya juga. Hari ini keperawanannya direnggut. Memang orang yang dicintainya yang mengambil keperawanannya tapi prinsipnya ia tak mau melakukannya sebelum menikah. Dan sekarang ia melanggar prinsipnya sendiri. Dia datang bermaksud menolong tapi dirinya sendiri tak tertolong.Terdengar dengkuran halus dari arah belakang tubuhnya, yang menandakan Hans sudah terlelap. Diraihnya tas tangan yang tadi dibawanya dan mengambil ponsel yang ia simpan di dalamnya. Waktu menunjukkan pukul 2 dini hari, beberapa misscall dan pesan dari Anjas menanyakan keberadaannya.Sorry om, Reyna udah tidur SendTak lama kemudian notifikasi pesan berlogo hijau muncul, balasan dari Anjas masuk.Ok. Lanjutkan tid
"Menikmati harimu, Rey?"Suara itu membuat Reyna menegang dan mengangkat pandangannya dari ponsel yang sedari tadi berada di tangan kirinya. Matanya bersiborok dengan mata hitam legam yang menatap tajam ke arahnya dan smirk yang tersungging di bibir seksi pria di depannya. Seketika tubuhnya meremang.Reyna masih membisu dan berusaha fakus pada makanannya yang tiba-tiba terasa hambar padahal sebelumnya terasa nikmat."Beresi barang- barangmu aku sudah pesan tiket untuk kita berdua," kata Hans sedikit kesal karena sejak tadi diabaikan oleh Reyna.Reyna berhenti menyuap dan mengangkat wajah berusaha terlihat tenang. Dia tidak mengatakan apapun tapi keningnya yang berkerut menjelaskan bahwa ia tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Hans."Anjas tak memberitahumu?" sekarang giliran Hans yang heran karena Reyna tetap bergeming."Apa?" satu kata meluncur dari bibir Reyna.
"Loe harus bantuin gue lah.""Bantuin apaan?"Seketika senyum smirk terukir di bibir Reyna. Perasaan Rayan tidak enak melihat senyum itu. Jelas sekali Reyna punya rencana licik untuknya."Perasaan gue gak enak, Rey.""I love you too, Ray," ucap Reyna full senyum sambil mengedipkan sebelah matanya."Uhh... gue tahu loe pasti numbalin gue lagi," Rayan cemberut dan kembali menelentangkan tubuhnya kembali sambil memikirkan kata- kata apa yang harus diucapkannya pada orang tua Reyna nanti."Udah gak usah banyak mikir, ayo kita ke bawah sekarang," Reyna menyeret tubuh Rayan untuk segera bangkit. Tapi tubuh Rayan yang segede gaban tak beranjak sedikit pun."Biarin gue cari wangsit dulu, Rey," Rayan menyentak tubuh Reyna hingga tubuhnya menindih tubuh Rayan yang masih terbaring telentang.Tepat saat itulah pintu kamarnya dibuka dari luar dan muncul Anjas serta Hans di belakangnya. Empat pasang mata yang saling
Reyna tidak berani menceritakan peristiwa di Bali hampir satu bulan lalu kepada siapapun. Termasuk keluhan mual yang dialaminya akhir- akhir ini. Dia berharap apa yang dipikirkannya salah. Dia tidak mau mengecewakan semua orang terlebih lagi ia tak mau hidup bersama seorang pria bermulut sampah seperti Hans. Kalau apa yang dipikirkannya benar maka ia memilih pergi.Dengan tangan gemetar Reyna mengambil test pack yang ia beli kemarin secara sembunyi- sembunyi. Dibacanya dengan teliti tata cara penggunaannya sebelum menyobek bungkus dan mengeluarkan isinya. Lima belas menit paling menegangkan dalam hidupnya saat menunggu hasil dilaluinya dengan mondar- mandir di dalam kamarnya. Saat melihat hasilnya dia tak kuasa menahan isak tangis yang menyesakkan di dadanya. Reyna merosot duduk di ujung ranjang, mengacak rambutnya frustasi sesekali memukul dadanya yang sesak.Bagaimana masa depan anak yang dikandungnya adalah hal pertama yan