"Om... stop laughing!" kataku semakin kesal.
"Hans itu teman SMA om. Dulu sering main ke rumah."
"O ya? Kapan?"
"Dulu. Waktu umurmu 2 tahun," om Anjas menjelaskan tanpa beban mental sedikitpun dan berhasil membuatku menganga lebar.
Waktu umurku masih 2 tahun katanya? Ini om Anjas yang rada-rada karena belum dapat orgasme atau karena aku yang gagal paham sih?
"Bukannya waktu itu om Hans yang ngejenguk Reyna di rumah sakit pas Reyna baru aja berojol dari perut mama ya Om?" tanyaku sarkastik.
Dan kalimat sarkasku disambut tawa oleh ketiga om menyebalkan yang sialnya sexy as hell yang mengelilingiku membuatku ingin mencakar wajah mereka satu persatu.
----Suasana kantor siang ini sedikit lengang orang-orang sedang mengerjakan pekerjaan di lokasi proyek mereka masing-masing. Dimulai dari opa, ayah dari papaku yang adalah seorang arsitek kemudian papaku menuruni kemampuannya dan entah bagaimana caranya om Anjas yang notabene bukan dari garis keturunan opa juga ikut terjun ke dalam dunia gambar menggambar ini. Sebagai anak pertama ayah diberikan tanggungjawab untuk memegang perusahaan ini. Dan aku sebagai cucu perempuan satu-satunya opa, harus terima jika suatu hari nanti harus diserahi tanggungjawab untuk meneruskan perusahaan ini. Meskipun mimpiku bukan menjadi arsitek tapi designer. Ya...beda dikit lah sama arsitek yang jelas masih sama-sama di dunia corat-coret dan mengandalkan imajinasi yang kadang sedikit liar. Seperti saat aku memikirkan om sexy terkadang wild dream muncul tiba-tiba diotakku. Aku sendiri tak menyangka aku punya fantasi seliar itu sampai kadang aku bergidik membayangkannya. Bukan sekali dua kali aku bertemu teman-teman om Anjas dan biasanya saat aku mengagumi teman-teman om Anjas ini hanya sekadar kagum yang besoknya akan hilang dan tak kupikirkan lagi. Tapi om sexy....entahlah aku sendiri tak paham apa yang kurasakan bahkan saat aku mencoba memejamkan mata wajahnya muncul lengkap dengan tatapan tajam dan seringai tipisnya. Alhasil tadi pagi mataku sedikit bengkak hingga teman-teman di sekolahku heboh karenanya."Mbak Tari. Om Anjas ada?" sekretaris om Anjas menghentikan sejenak kegiatan mengetiknya kemudian menatapku.
"Ada di dalam," jawabnya singkat, padat dan jelas. Aku heran kenapa om Anjas memilih mbak Tari sebagai sekretarisnya. Cantik sih tapi...JUTEK!
"Ok thanks," balasku.
Kubuka pintu ruangan om Anjas.
"Siang om!" sapaku agak menggelegar.Ups...ternyata si om keceku gak sendiri.
"Sorry," aku nyengir sambil mengangkat jari tengah dan jari telunjukku tanda peace.Aku berjalan mendekati om Anjas yang menyuruhku mendekat dan duduk di sampingnya. Setelah duduk aku baru tahu ternyata tamu om Anjas adalah om Sexy yang ketemu di party kemarin.
"Eh om Hans ternyata. Kangen sama Reyna ya Om?"
Om Hans hanya menanggapi celotehanku dengan mengangkat alisnya. Ck, sok cool banget sih om.
"Hush...kamu ini. Jangan ganggu kita lagi bahas kerjaan!" om Anjas menegurku membuatku manyun. Ganggu? Enak aja, aku kan cuma nyapa. Emang dikira aku anak alay yang suka godain om-om. I think i'm serious falling in love with this guy. Aku ngedumel dalam hati. Kutekankan di sini aku gak menggoda cuman sedikit usaha. Kulihat jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kananku.
"Om ini udah waktunya lunch loh?"
"Kamu kesini cuma mau minta lunch?" suara om Hans terdengar jengah kemudian tersenyum sinis seolah meremehkanku. Entah kenapa melihat reaksi om sexy yang terkesan merendahkanku, hatiku seperti dicubit.
Aku berusaha bersikap biasa aja dan tak menanggapinya. Kukeluarkan kertas gambar dari tasku.
"Ini yang Om minta kemarin," ku ulurkan kertas itu pada om Anjas."Finish?" om Anjas membuka kertas itu dan melihat dengan saksama.
"Kalau ada yang perlu direvisi Om bilang aja."
"Ok. Nanti Om lihat secara detail."
"Ok. Reyna duluan mau lunch takut magnya kambuh," aku berdiri dan kembali menyampirkan tasku.
"Duluan om Hans," sapaku sekenanya entah mengapa aku begitu sebal melihat dia yang selalu menatapku remeh. Minta makan siang katanya? Hell! Aku memang menyukainya tapi untuk hari ini aku off dulu lah. Aku butuh space untuk menentukan strategi mendekatinya mengingat rivalku gak bisa dianggap remeh."Dia bisa gambar?" sepeninggal Reyna Hans membuka obrolan karena Anjas begitu sibuk dengan kertas gambar yang diberikan oleh Reyna tadi.
"Bisa. Dia punya bakat alami. Bisa gue minta satu hal sama loe?"
"Apa?"
"Bisa tolong loe bersikap baik ke Reyna. Dia keponakan kesayangan gue."
"Loe tahu kan kalau gue..."
"Gue tahu loe cuma gak mau kasih harapan ke cewek-cewek yang dekat sama loe. Tapi bersikap demikian ke Reyna sepertinya gak perlu. Dia keponakan gue, dia masih ABG loe bisa anggap dia keponakan atau adik. Aku tahu dari tatapannya mungkin dia sedikit mengagumimu seperti gadis ABG pada umumnya."
'Tapi gue tahu dia gak akan nganggap gue kaya' om atau kakaknya. Gue bisa lihat dia sering flirting ke gue'
"Bisa," alih-alih menyuarakan batinnya Hans menyanggupi permintaan kawannya.
----Hari yang cerah untuk jiwa yang sepi... Gak, aku gak nyanyi. Aku benar-benar merasakannya. Setiap malam aku gak bisa tidur hanya karena teringat wajah om Sexy dengan tatapan merendahkannya ke aku tempo hari. Entahlah aku benar-benar tak menyukai itu, aku merasa terganggu. Apalagi kalau ingat om Sexy in a relationship with a model itu lebih menggangguku. Ok, bukannya aku rendah diri dengan keadaan diriku yang sekarang hanya saja i feel it's not fair competition. Aku hanya seorang gadis dengan status pelajar sedangkan dia perempuan dewasa yang memang kuakui satu langkah di depanku dengan karier yang dijalaninya. Ah sudahlah kuharap suatu hari nanti mereka berubah jadi relationshit. Beberapa hari ini aku gak mengunjungi om Anjas atau papa di kantor. Aku menyerahkan kerjaanku pada papa atau om Anjas di ruang kerja mereka. Kriiiiiing...."Ergh...,"erangku meraih jam weker di nakas. Bahkan aku baru tidur selepas subuh tadi. Pasti aku udah kaya' zombie lengkap dengan mata panda.
Aku turun dengan seragam SMA yang sudah melekat ditubuhku. Semua sudah siap di meja makan.
"Pagi Pa, Ma, Om...," sapaku seperti biasa kemudian aku duduk di sebelah mama.
"Kenapa sayang kok lemes gitu? Kurang tidur lagi? Lebih baik kamu stop menggambar dulu mama gak mau sekolah kamu terbengkalai karena itu," angry mom mode on.
Aku menghela nafas lelah sebelum mama melanjutkan kuliah paginya yang membuat kupingku panas. Dan pekerjaan arsitek itu selalu diartikan tukang gambar oleh mama cantikku. Meskipun itu tidak salah tapi itu juga tak sepenuhnya benar. Job desk arsitektur tidak hanya menggambar.
"I'm ok mama. Aku hanya sedikit insomnia akhir-akhir ini.""Insomnia? Apa kita perlu ke dokter?" panic mom mode on.
See? Mamaku memang ajaib. Bisa berubah mode dalam hitungan detik.
"No mom, i'm ok. Sekarang hentikan sesi interview ini dan biarkan aku sarapan dengan tenang," sekarang gantian mama yang menghela nafas mungkin sedikit frustasi menghadapiku yang selalu bisa membalas setiap perkataannya. Kulihat wajah papa dan om ku memerah menahan tawa. Mereka tidak pernah bisa menang dari mama jadi saat mama kalah dariku itu merupakan hiburan buat mereka.
"Maaf Tuan, ada tamu," Bibik menyela obrolan pagi ala mama.
"Siapa bik?"tanya papa.
"Mungkin Hans Bang," om Anjas menjawab pertanyaan papa pada bibik. "Ajak kesini aja bik, biar kami sarapan bersama,"lanjut om Hans.
"Baik Tuan," bibik mengangguk kemudian berlalu.
"Ada apa kamu mengundangnya kesini Jas?"
"Mau membicarakan bisnis yang kita bahas kemarin Bang."
"Kenapa gak di kantor saja?"
"Dia harus terbang ke Jerman siang ini Bang."
Jawaban om Anjas menghentikan kunyahanku. Bahkan rasanya susah menelan makanan yang berada di mulutku. Ku raih susu coklat hangat favoritku untuk memudahkan makanan masuk ke kerongkongan. Aneh...kenapa susuku hanya terasa pahit di lidah? Apa bibik lupa masukin gula?
"Pagi," sapa suara berat nan sexy favoritku.
"Pagi juga Hans. Mari duduk kita sarapan bersama," ajak papa dengan sangat berlebihan atau mungkin hanya perasaanku saja?
"Teh atau kopi?" tanya mama ramah dengan senyum manisnya.
"Kopi tanpa gula kalau tak merepotkan."
"Jangan sungkan begitu Hans. Santai saja anggap rumah sendiri," mama menimpali.
"Kamu gak nyapa om Hans, sweety?" om Anjas bertanya dengan mengerutkan keningnya.
"Pagi Om!" sapaku singkat dengan senyum terpaksa.
Kulihat om Anjas semakin mengerutkan keningnya. Mungkin heran karena setiap bertemu om Hans biasanya aku semangat dan saat ini aku terlihat biasa saja.
Tin...tin...tin
Bunyi klakson penyelamatku.
"Ma, Pa, Rey berangkat dulu. Rayan udah jemput," pamitku pada mama dan papa sambil berdiri dan mencium tangan mereka."Ya udah hati-hati," pesan mama.
"Jalan dulu Om," pamitku pada om Anjas kemudian kukecup pipinya tapi aku tak berani menatap matanya.
"Bye om Hans," kataku sambil berlalu.
TBC
Malam ini Reyna tak bisa tidur lagi. Lewat tengah malam dan matanya tak bisa terpejam barang lima menit saja. Pernyataan om Anjas tentang rencana kepergian om Hans ke Jerman sudah pasti berpengaruh pada mood ku. Demi apa, aku baru memberi jeda pada perasaanku tapi kenapa om Hans melangkah semakin jauh dari jangkauanku. Yeah, memang dari awal om Hans tak pernah mendekat ke arahku tapi aku kan berusaha. Hey, jangan menghakimiku, aku memang masih labil umurku belum genap 18 okey jadi wajar.Tapi membayangkan om Hans pergi jauh dari jangkauan udah buat aku senewen apalagi disana ada rivalku. Dan layaknya sepasang kekasih yang habis LDR mereka pasti melakukan.... Uhh... aku tak mau mengatakannya tapi kalian pasti paham maksudku. Tolong otakku yang cerdas come on mulai berpikir. Tapi sekeras apapun aku berpikir tidak akan merubah apapun. Om Hans sudah pergi."Kenapa loe pucet banget sih? Itu apaan mata panda?" cerca Rayan saat menjemputku."Diem deh g usah bawel pagi-
"Baliiiiii......! I love you so damn much!""Jangan norak Rey, bikin Om malu aja!""Biarin, yang penting Rey seneng!"Tanpa menghiraukan omelan om Anjas aku berlari menyongsong air di tepian pantai. Aku sengaja menggunakan bikini one piece dibalik kain pantaiku. Makanya dari tadi om Anjas tidak berhenti mengomel bahkan mengumpat sedangkan aku hanya tertawa menanggapinya.Ombak bergulung-gulung di kejauhan menuju pantai. Di sini emang surganya para peselancar. Sayang aku gak bisa surfing. Kulupakan sejenak kegalauan tentang om Hans. Biarlah dia bahagia dengan pilihannya dan aku akan belajar melupakannya. Aku sudah mantap untuk lanjut di Monash. Jarak yang membentang semoga bisa membantuku untuk berproses, proses melupakannya tentu saja. Insomniaku semakin parah, aku bisa tiba-tiba terbangun di tengah malam karena mimpi buruk tentangnya. Bukan, bukan tentang om Hans yang celaka atau semacamnya tapi senyum mengejek om Hans atau tatapan mata taj
Wanita itu mengangguk dan terus terisak sambil menggumamkan terimakasih. Beberapa saat kemudian wanita itu pergi meninggalkan Reyna yang menatap kepergiannya dengan tatapan kosong.'Mbak harus cepet masuk, ya. Mas yang di dalem butuh bantuan banget,' pesan wanita yang barusan pergi dan meletakkan card akses masuk ke kamar Hans. Tak mau membiarkan Hans menunggu terlalu lama Reyna bergegas membuka pintu dengan card yang diberikan wanita tadi.Dengan tangan gemetar dan perasaan gamang Reyna masuk ke kamar hotel. Saat masuk pemandangan yang ia lihat pertama kali adalah pakaian yang berserakan di lantai tapi Hans tak terlihat. Suara gemericik air terdengar dari balik pintu di sisi kanan ranjang yang ia yakini adalah kamar mandi.Saat masih bingung memikirkan apa yang harus dilakukannya tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka dan muncul Hans hanya dengan mengguna
Reyna menangis tanpa suara. Tidak hanya fisiknya yang terluka tapi hatinya juga. Hari ini keperawanannya direnggut. Memang orang yang dicintainya yang mengambil keperawanannya tapi prinsipnya ia tak mau melakukannya sebelum menikah. Dan sekarang ia melanggar prinsipnya sendiri. Dia datang bermaksud menolong tapi dirinya sendiri tak tertolong.Terdengar dengkuran halus dari arah belakang tubuhnya, yang menandakan Hans sudah terlelap. Diraihnya tas tangan yang tadi dibawanya dan mengambil ponsel yang ia simpan di dalamnya. Waktu menunjukkan pukul 2 dini hari, beberapa misscall dan pesan dari Anjas menanyakan keberadaannya.Sorry om, Reyna udah tidur SendTak lama kemudian notifikasi pesan berlogo hijau muncul, balasan dari Anjas masuk.Ok. Lanjutkan tid
"Menikmati harimu, Rey?"Suara itu membuat Reyna menegang dan mengangkat pandangannya dari ponsel yang sedari tadi berada di tangan kirinya. Matanya bersiborok dengan mata hitam legam yang menatap tajam ke arahnya dan smirk yang tersungging di bibir seksi pria di depannya. Seketika tubuhnya meremang.Reyna masih membisu dan berusaha fakus pada makanannya yang tiba-tiba terasa hambar padahal sebelumnya terasa nikmat."Beresi barang- barangmu aku sudah pesan tiket untuk kita berdua," kata Hans sedikit kesal karena sejak tadi diabaikan oleh Reyna.Reyna berhenti menyuap dan mengangkat wajah berusaha terlihat tenang. Dia tidak mengatakan apapun tapi keningnya yang berkerut menjelaskan bahwa ia tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Hans."Anjas tak memberitahumu?" sekarang giliran Hans yang heran karena Reyna tetap bergeming."Apa?" satu kata meluncur dari bibir Reyna.
"Loe harus bantuin gue lah.""Bantuin apaan?"Seketika senyum smirk terukir di bibir Reyna. Perasaan Rayan tidak enak melihat senyum itu. Jelas sekali Reyna punya rencana licik untuknya."Perasaan gue gak enak, Rey.""I love you too, Ray," ucap Reyna full senyum sambil mengedipkan sebelah matanya."Uhh... gue tahu loe pasti numbalin gue lagi," Rayan cemberut dan kembali menelentangkan tubuhnya kembali sambil memikirkan kata- kata apa yang harus diucapkannya pada orang tua Reyna nanti."Udah gak usah banyak mikir, ayo kita ke bawah sekarang," Reyna menyeret tubuh Rayan untuk segera bangkit. Tapi tubuh Rayan yang segede gaban tak beranjak sedikit pun."Biarin gue cari wangsit dulu, Rey," Rayan menyentak tubuh Reyna hingga tubuhnya menindih tubuh Rayan yang masih terbaring telentang.Tepat saat itulah pintu kamarnya dibuka dari luar dan muncul Anjas serta Hans di belakangnya. Empat pasang mata yang saling
Reyna tidak berani menceritakan peristiwa di Bali hampir satu bulan lalu kepada siapapun. Termasuk keluhan mual yang dialaminya akhir- akhir ini. Dia berharap apa yang dipikirkannya salah. Dia tidak mau mengecewakan semua orang terlebih lagi ia tak mau hidup bersama seorang pria bermulut sampah seperti Hans. Kalau apa yang dipikirkannya benar maka ia memilih pergi.Dengan tangan gemetar Reyna mengambil test pack yang ia beli kemarin secara sembunyi- sembunyi. Dibacanya dengan teliti tata cara penggunaannya sebelum menyobek bungkus dan mengeluarkan isinya. Lima belas menit paling menegangkan dalam hidupnya saat menunggu hasil dilaluinya dengan mondar- mandir di dalam kamarnya. Saat melihat hasilnya dia tak kuasa menahan isak tangis yang menyesakkan di dadanya. Reyna merosot duduk di ujung ranjang, mengacak rambutnya frustasi sesekali memukul dadanya yang sesak.Bagaimana masa depan anak yang dikandungnya adalah hal pertama yan
Aku menyadari om Hans sesekali mencuri pandang ke arahku melalui spion tengah. Aku pura- pura tidak peduli dengan menyandarkan kepala pada jok mobil dan memejamkan mata. Sebelum memejamkan mata sekilas kulihat om Hans melepas jasnya, gerah mungkin. "Humb..." tiba- tiba rasa mual yang aku rasakan saat pagi kembali kurasakan di saat yang tidak tepat. Spontan om Hans menoleh ke belakang diikuti om Anjas yang menatapku dengan cemas. Aku menutup mulut dan mengangkat kepala bertemu pandang dengan mata hitam kelam yang menatap mataku menyelidik. "Kamu kenapa, Rey? Sakit?" suara om Anjas terdengar cemas. "Ah enggak Om, cuman ini kan udah lewat jam makan siang, perutku sedikit gak enak mungkin maagku kambuh," dengan lancar aku berbohong, ya akhir- akhir ini aku sering berbohong. Setiap pagi aku tidak ikut sarapan bersama karena menyembunyikan rasa mual dan saat ditanya aku harus berbohong dengan mengarang berbagai