Share

Sorry 2

"Om... stop laughing!" kataku semakin kesal.

"Hans itu teman SMA om. Dulu sering main ke rumah."

"O ya? Kapan?"

"Dulu. Waktu umurmu 2 tahun," om Anjas menjelaskan tanpa beban mental sedikitpun dan berhasil membuatku menganga lebar.

Waktu umurku masih 2 tahun katanya? Ini om Anjas yang rada-rada karena belum dapat orgasme atau karena aku yang gagal paham sih?

"Bukannya waktu itu om Hans yang ngejenguk Reyna di rumah sakit pas Reyna baru aja berojol dari perut mama ya Om?" tanyaku sarkastik.

Dan kalimat sarkasku disambut tawa oleh ketiga om menyebalkan yang sialnya sexy as hell yang mengelilingiku membuatku ingin mencakar wajah mereka satu persatu.

-

-

-

-

Suasana kantor siang ini sedikit lengang orang-orang sedang mengerjakan pekerjaan di lokasi proyek mereka masing-masing. Dimulai dari opa, ayah dari papaku yang adalah seorang arsitek kemudian papaku menuruni kemampuannya dan entah bagaimana caranya om Anjas yang notabene bukan dari garis keturunan opa juga ikut terjun ke dalam dunia gambar menggambar ini. Sebagai anak pertama ayah diberikan tanggungjawab untuk memegang perusahaan ini. Dan aku sebagai cucu perempuan satu-satunya opa, harus terima jika suatu hari nanti harus diserahi tanggungjawab untuk meneruskan perusahaan ini. Meskipun mimpiku bukan menjadi arsitek tapi designer. Ya...beda dikit lah sama arsitek yang jelas masih sama-sama di dunia corat-coret dan mengandalkan imajinasi yang kadang sedikit liar. Seperti saat aku memikirkan om sexy terkadang wild dream muncul tiba-tiba diotakku. Aku sendiri tak menyangka aku punya fantasi seliar itu sampai kadang aku bergidik membayangkannya. Bukan sekali dua kali aku bertemu teman-teman om Anjas dan biasanya saat aku mengagumi teman-teman om Anjas ini hanya sekadar kagum yang besoknya akan hilang dan tak kupikirkan lagi. Tapi om sexy....entahlah aku sendiri tak paham apa yang kurasakan bahkan saat aku mencoba memejamkan mata wajahnya muncul lengkap dengan tatapan tajam dan seringai tipisnya. Alhasil tadi pagi mataku sedikit bengkak hingga teman-teman di sekolahku heboh karenanya.

"Mbak Tari. Om Anjas ada?" sekretaris om Anjas menghentikan sejenak kegiatan mengetiknya kemudian menatapku.

"Ada di dalam," jawabnya singkat, padat dan jelas. Aku heran kenapa om Anjas memilih mbak Tari sebagai sekretarisnya. Cantik sih tapi...JUTEK!

"Ok thanks," balasku.

Kubuka pintu ruangan om Anjas.

"Siang om!" sapaku agak menggelegar.

Ups...ternyata si om keceku gak sendiri.

"Sorry," aku nyengir sambil mengangkat jari tengah dan jari telunjukku tanda peace.

Aku berjalan mendekati om Anjas yang menyuruhku mendekat dan duduk di sampingnya. Setelah duduk aku baru tahu ternyata tamu om Anjas adalah om Sexy yang ketemu di party kemarin.

"Eh om Hans ternyata. Kangen sama Reyna ya Om?"

Om Hans hanya menanggapi celotehanku dengan mengangkat alisnya. Ck, sok cool banget sih om.

"Hush...kamu ini. Jangan ganggu kita lagi bahas kerjaan!" om Anjas menegurku membuatku manyun. Ganggu? Enak aja, aku kan cuma nyapa. Emang dikira aku anak alay yang suka godain om-om. I think i'm serious falling in love with this guy. Aku ngedumel dalam hati. Kutekankan di sini aku gak menggoda cuman sedikit usaha. Kulihat jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kananku.

"Om ini udah waktunya lunch loh?"

"Kamu kesini cuma mau minta  lunch?" suara om Hans terdengar jengah kemudian tersenyum sinis seolah meremehkanku. Entah kenapa melihat reaksi om sexy yang terkesan merendahkanku, hatiku seperti dicubit.

Aku berusaha bersikap biasa aja dan tak menanggapinya. Kukeluarkan kertas gambar dari tasku.

"Ini yang Om minta kemarin," ku ulurkan kertas itu pada om Anjas.

"Finish?" om Anjas membuka kertas itu dan melihat dengan saksama.

"Kalau ada yang perlu direvisi Om bilang aja."

"Ok. Nanti Om lihat secara detail."

"Ok. Reyna duluan mau lunch takut magnya kambuh," aku berdiri dan kembali menyampirkan tasku.

"Duluan om Hans," sapaku sekenanya entah mengapa aku begitu sebal melihat dia yang selalu menatapku remeh. Minta makan siang katanya? Hell! Aku memang menyukainya tapi untuk hari ini aku off dulu lah. Aku butuh space untuk menentukan strategi mendekatinya mengingat rivalku gak bisa dianggap remeh.

"Dia bisa gambar?" sepeninggal Reyna Hans membuka obrolan karena Anjas begitu sibuk dengan kertas gambar yang diberikan oleh Reyna tadi.

"Bisa. Dia punya bakat alami. Bisa gue minta satu hal sama loe?"

"Apa?"

"Bisa tolong loe bersikap baik ke Reyna. Dia keponakan kesayangan gue."

"Loe tahu kan kalau gue..."

"Gue tahu loe cuma gak mau kasih harapan ke cewek-cewek yang dekat sama loe. Tapi bersikap demikian ke Reyna sepertinya gak perlu. Dia keponakan gue, dia masih ABG loe bisa anggap dia keponakan atau adik. Aku tahu dari tatapannya mungkin dia sedikit mengagumimu seperti gadis ABG pada umumnya."

'Tapi gue tahu dia gak akan nganggap gue kaya' om atau kakaknya. Gue bisa lihat dia sering flirting ke gue'

"Bisa," alih-alih menyuarakan batinnya Hans menyanggupi permintaan kawannya.

-

-

-

-

Hari yang cerah untuk jiwa yang sepi... Gak, aku gak nyanyi. Aku benar-benar merasakannya. Setiap malam aku gak bisa tidur hanya karena teringat wajah om Sexy dengan tatapan merendahkannya ke aku tempo hari. Entahlah aku benar-benar tak menyukai itu, aku merasa terganggu. Apalagi kalau ingat om Sexy in a relationship with a model itu lebih menggangguku. Ok, bukannya aku rendah diri dengan keadaan diriku yang sekarang hanya saja i feel it's not fair competition. Aku hanya seorang gadis dengan status pelajar sedangkan dia perempuan dewasa yang memang kuakui satu langkah di depanku dengan karier yang dijalaninya. Ah sudahlah kuharap suatu hari nanti mereka berubah jadi relationshit. Beberapa hari ini aku gak mengunjungi om Anjas atau papa di kantor. Aku menyerahkan kerjaanku pada papa atau om Anjas di ruang kerja mereka. Kriiiiiing....

"Ergh...,"erangku meraih jam weker di nakas. Bahkan aku baru tidur selepas subuh tadi. Pasti aku udah kaya' zombie lengkap dengan mata panda.

Aku turun dengan seragam SMA yang sudah melekat ditubuhku. Semua sudah siap di meja makan.

"Pagi Pa, Ma, Om...," sapaku seperti biasa kemudian aku duduk di sebelah mama.

"Kenapa sayang kok lemes gitu? Kurang tidur lagi? Lebih baik kamu stop menggambar dulu mama gak mau sekolah kamu terbengkalai karena itu," angry mom mode on.

Aku menghela nafas lelah sebelum mama melanjutkan kuliah paginya yang membuat kupingku panas. Dan  pekerjaan arsitek itu selalu diartikan tukang gambar oleh mama cantikku. Meskipun itu tidak salah tapi itu juga tak sepenuhnya benar. Job desk arsitektur tidak hanya menggambar.

"I'm ok mama. Aku hanya sedikit insomnia akhir-akhir ini."

"Insomnia? Apa kita perlu ke dokter?"  panic mom mode on.

See? Mamaku memang ajaib. Bisa berubah mode dalam hitungan detik.

"No mom, i'm ok. Sekarang hentikan sesi interview ini dan biarkan aku sarapan dengan tenang," sekarang gantian mama yang menghela nafas mungkin sedikit frustasi menghadapiku yang selalu bisa membalas setiap perkataannya. Kulihat wajah papa dan om ku memerah menahan tawa. Mereka tidak pernah bisa menang dari mama jadi saat mama kalah dariku itu merupakan hiburan buat mereka.

"Maaf Tuan, ada tamu," Bibik menyela obrolan pagi ala mama.

"Siapa bik?"tanya papa.

"Mungkin Hans Bang," om Anjas menjawab pertanyaan papa pada bibik. "Ajak kesini aja bik, biar kami sarapan bersama,"lanjut om Hans.

"Baik Tuan," bibik mengangguk kemudian berlalu.

"Ada apa kamu mengundangnya kesini Jas?"

"Mau membicarakan bisnis yang kita bahas kemarin Bang."

"Kenapa gak di kantor saja?"

"Dia harus terbang ke Jerman siang ini Bang."

Jawaban om Anjas menghentikan kunyahanku. Bahkan rasanya susah menelan makanan yang berada di mulutku. Ku raih susu coklat hangat favoritku untuk memudahkan makanan masuk ke kerongkongan. Aneh...kenapa susuku hanya terasa pahit di lidah? Apa bibik lupa masukin gula?

"Pagi," sapa suara berat nan sexy favoritku.

"Pagi juga Hans. Mari duduk kita sarapan bersama," ajak papa dengan sangat berlebihan atau mungkin hanya perasaanku saja?

"Teh atau kopi?" tanya mama ramah dengan senyum manisnya.

"Kopi tanpa gula kalau tak merepotkan."

"Jangan sungkan begitu Hans. Santai saja anggap rumah sendiri," mama menimpali.

"Kamu gak nyapa om Hans, sweety?" om Anjas bertanya dengan mengerutkan keningnya.

"Pagi Om!" sapaku singkat dengan senyum terpaksa.

Kulihat om Anjas semakin mengerutkan keningnya. Mungkin heran karena setiap bertemu om Hans biasanya aku semangat dan saat ini aku terlihat biasa saja.

Tin...tin...tin

Bunyi klakson penyelamatku.

"Ma, Pa, Rey berangkat dulu. Rayan udah jemput," pamitku pada mama dan papa sambil berdiri dan  mencium tangan mereka.

"Ya udah hati-hati," pesan mama.

"Jalan dulu Om," pamitku pada om Anjas kemudian kukecup pipinya tapi aku tak berani menatap matanya.

"Bye om Hans," kataku sambil berlalu.

TBC

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Tami Andriani
nyimak........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status