Share

Sorry 3

Malam ini Reyna tak bisa tidur lagi. Lewat tengah malam dan matanya tak bisa terpejam barang lima menit saja. Pernyataan om Anjas tentang rencana kepergian om Hans ke Jerman sudah pasti berpengaruh pada mood ku. Demi apa, aku baru memberi jeda pada perasaanku tapi kenapa om Hans melangkah semakin jauh dari jangkauanku. Yeah, memang dari awal om Hans tak pernah mendekat ke arahku tapi aku kan berusaha. Hey, jangan menghakimiku, aku memang masih labil umurku belum genap 18 okey jadi wajar.

Tapi membayangkan om Hans pergi jauh dari jangkauan udah buat aku senewen apalagi disana ada rivalku. Dan layaknya sepasang kekasih yang habis LDR mereka pasti melakukan.... Uhh... aku tak mau mengatakannya tapi kalian pasti paham maksudku. Tolong otakku yang cerdas come on mulai berpikir. Tapi sekeras apapun aku berpikir tidak akan merubah apapun. Om Hans sudah pergi.

"Kenapa loe pucet banget sih? Itu apaan mata panda?" cerca Rayan saat menjemputku.

"Diem deh g usah bawel pagi-pagi. Kaya' mama gue aja loe. Tambah pusing gue."

Rayan cuma geleng-geleng kepala menimpali ocehanku. Kami berangkat naik motor kesayangan Rayan. Kepo kan siapa Rayan? Dia itu sahabatku dari orok. Eits... jangan mikir ada friendzone di antara kami ya? Itu g akan pernah! Never! Bayangin aja dari orok dah bareng-bareng udah liat luar dalemnya dia, liat dia ngompol, ingusan bahkan sewaktu kecil kami renang bareng... euw. Lagian tipe Rayan itu cewek lemah lembut kaya' softener pakaian sedangkan aku kan 'pecicilan' kata dia. Tapi lumayan lah sahabatan ama dia berasa kaya' sultan dong contohnya ya ini fasilitas antar jemput wajib tiap hari meskipun dia ada cewek tetap aku yang diutamain. Dan ceweknya g boleh nglarang-nglarang atau cembokur. Kalau itu sampai terjadi udah pasti cewek itu berganti status jadi mantan dalam hitungan detik.

"Ray, emang gue g pantes ya, kalo jalan sama om Hans?" tanyaku saat sampai di kelas.

Ha...ha...ha...

Bukannya menjawab Rayan malah ketawa ngakak.

"Reseh banget sih loe! Diem g?"

"Aduh... duh... ampun Rey!" teriaknya setelah kupukul-pukul bahu dia. 

"Makanya punya mulut dijaga!"

"Ok ok. Loe butuh pendapat gue kan? Mending loe cari gebetan yang lain deh, yang seumuran kita gitu kan enak. Ini om-om yang kalau diajak have fun bareng kita-kita g bakalan nyambung."

"Tapi gue udah terlanjur cinta sama dia, Ray. Dan dia belum tua!" aku g terima dengan penilaian Rayan soal om Hans.

"Demi Tuhan dia udah seumuran sama om Anjas, Rey. Dan loe bilang dia belum tua!"timpal Rayan dengan mimik wajah seperti orang frustasi.

"Dia g setua itu, Ray. Kami cuma selisih 13 tahun aja kok," aku masih ngotot g terima.

"Serah loe deh, Rey!"

-

-

-

-

"Siang om!" sapaku pada om Anjas yang tengah menunduk mengamati sesuatu di atas meja kerjanya.

"Rey? Kamu udah datang? Sini Om mau minta pendapat kamu."

"Apa Om?"

"Ini sketsa rumah untuk teman Om. Dia minta tolong dibuatin rumah tapi Om bingung dia maunya yang beda dari yang udah ada."

"Rewel banget jadi orang?"

"Namanya klien Rey, ya tetap harus dituruti kan?" om Anjas menjawab masih dengan menekuri sketsanya.

Aku mengabaikan om Anjas yang masih sibuk dan langsung membaringkan tubuhku di sofa.

"Kamu kenapa Rey?" melihat keponakannya yang termenung Anjas beranjak dari pekerjaannya.

"Suntuk aja Om," jawabku ogah-ogahan.

"Kapan kamu ujian?"

"Minggu depan."

"Kamu udah ngerencanain mau kuliah dimana?"

"Entahlah Om, UGM maybe," jawabku acuh sambil angkat bahu.

"Kok kaya' g semangat gitu sih? Ada masalah?"

"Hhhh... bingung Om," jawabku seperti orang yang putus asa.

"Bingung kenapa?" om Anjas mengerutkan dahinya mulai memberikan atensinya terhadapku.

"Dari dulu pengen kuliah di luar negeri kaya' om, papa sama mama. Tapi Reyna berat ninggalin...," kata -kataku sengaja ku jeda.

"Ninggalin siapa? Kamu udah punya cowok emangnya? Kok g dikenalin sama Om?" berondong om Anjas.

Kutatap om Anjas lama dan dia balik menatapku serius. "Aku berat ninggalin...om Hans," nama om Hans kuucapkan seperti bisikan.

Om Anjas bengong menatapku tapi sepersekian detik berikutnya suara tawa om Anjas memenuhi ruangan.

"Ha ha ha... Reyna... Reyna. Kamu becandanya kelewatan. Ha...ha...." om Anjas masih terus tertawa.

"Ih Om, jangan gitu kenapa? Rey jadi sebel deh, Rey ngambek deh ini," rajukku manja pada om Anjas.

Om Anjas menghentikan tawanya sambil menyusut air mata di sudut matanya. Tapi saat melihat bibirku yang masih cemberut om Anjas sudah hampir menyemburkan tawanya kembali. Saat tanganku sudah siap mencubit om Anjas angkat tangan tanda menyerah.

"Ok. Om g ketawa lagi." Om Anjas diam sejenak menatapku sebelum lanjut berucap. "Reyna sayang, baby darling nya Om, sweetheart... om Hans itu terlalu tua untukmu sayang. Memang dia belum setua Om tapi selisih umur kami tidak banyak, kami hanya selisih 2 tahun," om Hans memberikan penjelasan.

Aku hanya menunduk sambil memilin ujung baju seragamku mendengarkan penjelasan om Anjas.

"Lagi pula om Hans akan segera menikah. Om Hans kembali ke Jerman untuk melamar calon istrinya," om Hans berucap lembut masih menatapku dengan sorot mata penuh kasih sayang seperti memberi pengertian kepada anak kecil.

Hatiku serasa berdesir perih mendengar penjelasan om Anjas mengenai kepergian om Hans ke Jerman. Jadi om Hans akan segera menikah dengan model itu?' Aku menatap om Anjas sayu.

"Baby....," melihatku masih terdiam om Anjas terdengar semakin melembut.

Kutatap mata om Anjas yang masih terus menatapku. Aku bisa melihat kasih sayang yang nyata disana dan aku tak pernah meragukannya.

"Tapi boong! Ha ha ha...," gantian aku yang tertawa ngakak bahkan aku sampai guling-guling di sofa sambil memegangi perutku.

"Kamu ngerjain Om?" om Anjas berteriak murka sambil menggelitiki pinggangku.

"Ampun Om, ampun, ha ha ha...."

"Hhh...Reyna," om Anjas terlihat kesal.

Aku bangkit dan kucium pipi om Anjas untuk meredakan kesalnya.

"By the way makasih ya, Om, udah perhatian banget sama Reyna," ucapku sambil tersenyum menatap om Anjas.

"Kamu tahu Rey, Om sudah beneran ketakutan kalau sampai hal itu terjadi," om Anjas menatapku serius membuatku speechless.

"E... emang kenapa kalau beneran?" tanyaku tergagap.

"Kamu tahu, Om sayang banget sama kamu. Sementara Hans itu temen deket Om, rekan kerja Om. Kalau sampai itu terjadi Om g tahu apa yang harus Om lakukan," ucap om Anjas masih sambil menatapku.

Aku tersenyum menatap om Anjas. "Makasih ya Om, udah sayang sama Reyna," kemudian kupeluk erat om Anjas.

Biar saja om Anjas menganggap semua ini hanya becandaanku. Aku tidak akan tega mengatakan kalau perasaanku ini adalah nyata. Aku tidak mau om Anjas tahu. Dan membuatnya kesulitan dalam menempatkan diri nantinya.

"Lagian daripada kamu sama Hans, Om punya kandidat yang lebih baik," kata om Anjas disela-sela pelukan kami.

"Siapa?" tanyaku penasaran sambil melepaskan pelukan kami.

"Aku," ucap om Anjas singkat yang membuatku terpaku.

"Ha ha ha.... ogah banget!" teriakku.

"Kenapa? Om ganteng gak kalah ganteng sama Hans. Pekerjaan mapan dan yang terpenting satu."

"Apaan?"

"Aku masih single."

Aku memutar bola mataku.

"Om itu bukan single tapi jomblo akut. Lagi pun Om itu udah tua!" ledekku.

"Eh eh berani ya kamu ngatain Om!"

"Biarin. Lagian kalau aku sama Om entar rugi," ledekku lagi.

Om Anjas mengangkat sebelah alisnya tanda tidak mengerti.

"Warisanku nanti g bertambah!" jawabku sambil bangkit berlari menghindarinya.

"Anak nakal jangan lari kamu! Sudah berani ngomongin warisan ya sekarang?" teriak om Anjas mengejarku mengitari sofa di ruangannya.

Beginilah keluargaku, penuh kehangatan kami tidak segan saling mengungkapkan perasaan masing-masing dan aku tak akan tega menghancurkannya dengan mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya kepada om Hans yang mereka anggap sebagai cinta monyet. Biar saja kukubur perasaan ini sampai saatnya nanti perasaan ini memudar dan seseorang menggantikannya. Selamat tinggal cintaku... selamat tinggal om Hans.... 

-

-

-

-

Dua minggu berlalu sorak sorai teman-temanku bergema di kelas masing-masing. Ujian kelulusan telah kami lewati dan tinggal menunggu pengumuman kelulusan. Mereka bisa sebahagia itu sementara aku masih meratapi cintaku yang bertepuk sebelah tangan. Memang menjalani tak semudah teori. Kemarin aku sanggup bilang akan mengubur perasaanku tapi kenyataannya tiap malam datang bayangan wajahnya semakin nyata. 

Tak jarang sampai terbawa mimpi. Bukan, bukan mimpi indah seperti yang kuharapkan tapi mimpi buruk, sangat buruk. Om Hans menatapku dengan tatapan kebencian yang begitu besar tak jarang ia berteriak memakiku. Aku tidak tahu salahku apa sampai om Hans memendam kebencian terhadapku. Karenanya aku sering terbangun di tengah malam dengan keadaan berpeluh dan tak akan bisa tidur sampai pagi. Itu semua membuatku hampir gila. Untung saja om Anjas menawariku liburan bareng setelah selesai ujian ini. Semoga aja di sana nanti aku bisa jumpa temen om Anjas yang lebih ganteng dari om Hans. 

"Jadi lanjut di mana loe?" Rayan menoleh padaku yang masih menunduk tidur dilipatan tangan di atas meja.

"Gak tahu gue masih bingung," jawabku ogah-ogahan.

"Gimana sih loe? Kemarin-kemarin semangat banget mau kuliah di luar sekarang kok jadi loyo gini sih?"

"Emang loe udah tahu mau kemana?" kutanya balik Rayan yang udah kelihatan kesel.

Bukannya menjawab dia membuka tasnya dan memberiku selembar kertas yang terlipat rapi. 

"Ini apaan?" tanyaku cengo tak mengerti maksudnya.

"Buka aja!" suruhnya singkat.

Kubuka lipatan kertas itu dan kubaca kata demi kata di kertas tersebut. Setelah paham isinya mataku terbelalak.

"Loe diterima di Monash?" teriakku girang. Aku ikut bahagia mengetahui hal ini.

"Seperti yang loe baca," jawabnya masih terlihat kesel. "Trus loe gimana?"

"Kalau gitu gue ambil yang disana juga. Biar gue gak perlu susah-susah nyari temen disana," jawabku sumringah.

"Dosa apa gue punya temen kayak loe. Nempel mulu dari orok!"

"Ha ha ha... takdir loe emang udah ditulis sama gue, Ray!"

                                  TBC

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Tami Andriani
yeahhhh... slow but curious
goodnovel comment avatar
Iis Karlina
line flow watery west ...silky cloud break by the east wind
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status