"Hans, apa... ada... lowongan pekerjaan di kantormu?" tanya Jessica ragu- ragu saat tengah makan malam.
"Kenapa?"
"A... aku ingin bekerja."
"Apa uang yang kuberi masih kurang?" tanya Hans dengan mengerutkan kening, pasalnya selama ini ia sudah memberikan 1 atm dan 1 kartu kredit untuk memenuhi keperluan Jessica dan Joane.
"Bukan begitu. Aku tidak mau terus bergantung padamu?" balas Jessica, sebenarnya ia ingin mengetahui kegiatan Hans di luar rumah dan mencari tahu wanita yang pernah dekat dengan Hans hingga menyebabkan pria itu berubah.
"Joane?"
"Aku berencana mencari baby sitter untuk menjaganya," jelas Jessica.
"Coba nanti aku tanyakan bagian SDM. Kalau ada aku kasih tahu."
"Begitu?" Jessica terdengar tidak puas mendengar jawaban Hans.
"Iya. Harus ikut prosedur, kalau ada pun kamu harus mendaftar seperti karyawan lain," terang Hans.
"Kamu gak bisa bantuin aku gitu? Aku kan warga asing jadi takut aja gak s
Reyna terlihat murung dan tidak bersemangat akhir- akhir ini dan itu tidak luput dari perhatian Rayan. Ia sering melihat Reyna yang melamun, bahkan tadi pagi jari sahabatnya itu teriris pisau saat memasak sarapan. Dan sekarang ia kembali melihat Reyna yang berdiri di depan kompor. Terlihat normal memang tapi air yang dia masak sudah mendidih dan kompor yang tidak dimatikannya, menandakan bahwa ia tengah melamun.Rayan menarik Reyna menjauhi kompor dan mematikannya. "Eh... sudah mendidih ya, Ray?" Reyna terkaget dengan apa yang dilakukan Rayan padanya. "Kamu duduk sana. Biar aku buat coklat panas untuk kita," suruh Rayan. Reyna menuruti perintah Rayan, tapi tidak langsung menuju meja makan atau ruang tamu melainkan balkon. Malam ini begitu terang, bintang terlihat bertaburan. "Kamu ada masalah, Rey?" tanya Rayan sambil mengulurkan segelas coklat panas ke arah Reyna yang diterima dengan senang hati. "Enggak, kenapa?" sangkal
"Ok. Aku siap- siap dulu. Thanks ya."Tanpa menunggu jawaban Rayan, Reyna kembali ke kamarnya untuk mandi. Tak butuh waktu lama baginya untuk bersiap. Kemeja, celana panjang serta blazer ditambah make up tipis dan rambut dikuncir kuda menjadi penampilan andalannya saat pergi bekerja."Mamama," celotehan Reyhan menyambut Reyna sesampainya di meja makan dengan penampilan rapi."Selamat pagi kesayangan Mama," Reyna menciumi Reyhan yang terlihat sangat menggemaskan dengan celotehannya."Mamama...no kelja," Reyhan berceloteh lagi."No. Mama harus kerja biar Reyhan bisa beli mainan," balas Reyna berharap buah hatinya paham."No. Mamama no kelja. Leyhan no beli main (No. Mama tidak boleh kerja. Reyhan tidak beli mainan)," apa yang bisa dipahami oleh seorang bocah yang baru berumur 2 tahun. Berharap mereka mengerti kondisi kita? Oh tidak, jangan harap."Mmmmm...," Reyna pura- pura berpikir."Nanti kalau Reyhan gak ke rumah nenek Michele,
"Kenapa kamu terlambat?" Margareth membuka pembicaraan tanpa berbalik badan."Maaf Nyonya, tadi anak saya rewel," jawab Reyna sambil menunduk karena rasa bersalah.Tersenyum miring, ibu Brandon berbalik dan melihat ke arah Reyna yang menunduk mengartikan lain sikap Reyna. Ia berpikir Reyna merasa bersalah dan malu karena ketahuan telah memiliki anak."Jadi itu yang kamu sembunyikan? Anak?" tanya Margareth masih dengan senyum miring yang tidak luntur sedari tadi."Sembunyikan? Maksud Anda, saya menyembunyikan anak saya?" Reyna mengerutkan kening tak mengerti dengan arah pembicaraan Margareth."Ya. Kamu sengaja tidak mengatakan kepada kami bahwa kamu mempunyai seorang anak tanpa ikatan pernikahan. Kamu sengaja kan?" tuduh Margareth.Reyna mulai mengerti sekarang. Inilah sebabnya Margareth berubah padanya. Dan ketakutannya terbukti, bahwa tidak ada orang tua yang mengizinkan anaknya berhubungan dengan seorang wanita yang mempunyai anak tanpa me
Reyna POVHatiku seperti dipukul palu godam saat mendengar kabar bahwa apartemen nenek Michele kebakaran. Air mata tak bisa kubendung, aku berlari keluar ruangan, tujuanku hanya satu, apartemen nenek Michele tempat anakku berada sekarang. Isak tangis tak bisa lagi kutahan, Livi memelukku saat berada di dalam lift. Kata- kata penghiburan tak henti keluar dari mulutnya tapi telingaku seakan tuli.Aku ingat tadi pagi saat putra kesayanganku itu merengek memintaku tidak bekerja tapi aku tidak mendengarkannya. Sampai di kantor aku malah meratapi dan menangisi hal yang tidak penting. Sungguh aku ibu yang tidak berguna."Kamu harus tenang, Rey," Livi menggenggam tanganku saat kami sudah berada di dalam taksi yang akan membawa kami ke apartemen."Hiks... hiks.... Bagaimana aku bisa tenang, Livi. Aku belum tahu bagaimana keadaan anakku. Aku ibu yang tidak berguna. Harusnya tadi aku tidak berangkat kerja seperti permintannya."Ya, seharusnya itu yang aku lak
Reyna masih terpekur di samping pusara Reyhan. Dengan tatapan kosong dan wajah pucat, tangannya tak henti mengelus batu nisan sang putra seolah tengah mengelus kepalanya. Langit mendung seolah dunia ikut berduka atas kepergian sang putra."Rey, ayo kita pulang!" ajak Rayan dan meraih bahu Reyna agar wanita itu berdiri."Pulang?" Reyna membeo."Iya. Langit mendung sebentar lagi hujan. Sebaiknya kita pulang," Rayan ikut jongkok di sebelah Reyna yang tak mau berdiri."Tapi Reyhan sendirian, Ray," Reyna menoleh ke arah Rayan yang tengah mengelus kepalanya."Gak Rey. Reyhan sudah bahagia dan punya banyak teman di surga," suara Rayan serak menahan sesak di dada.Faira menangis tanpa suara melihat keadaan Reyna sekarang. Livi hanya berdiri tanpa bersuara melihat ke arah Reyna dengan mata yang sembab. Beberapa meter dari mereka seorang pria berdiri di balik pohon dengan mata yang bersimbah air mata menatap ke arah Reyna yang jelas sedang tidak baik-
"Di sini aku keluarganya, jadi aku yang akan bertanggung jawab atas dia," tegas Rayan membuat kedua wanita di hadapannya terdiam."Baiklah. Kita bawa dia ke psikiater segera sebelum semuanya terlambat," putus Faira karena membujuk Rayan untuk menghubungi keluarga Reyna sepertinya percuma. Padahal disaat seperti ini dukungan keluarga sangat penting namun ia diam saja karena tak mengetahui masalah apa yang terjadi antara Reyna dan keluarganya."Apakah separah itu?" tanya Livi yang memang awam soal kesehatan."Semoga saja tidak," jawaban Faira terdengar tidak meyakinkan."Kamu ada rekomendasi Ra?" tanya Rayan."Di rumah sakit tempatku praktek ada dokter yang menurutku bisa membantu Reyna," jawab Faira. "Terima kasih," katanya kemudian saat Livi mengulurkan segelas teh jasmine."Sepertinya tadi Pak Brandon datang ke pemakaman," kata Livi mengubah topik pembicaraan sambil duduk di hadapan Rayan."Mau apa lagi pria itu?" Faira terdengar emo
"Gimana Hans ada lowongan gak di kantor kamu?" tanya Jessica saat makan malam berlangsung."Kalau sekarang belum ada," jawab Hans sambil menyuap makanan ke mulutnya."Daddy...," seru Joane sambil mengulurkan suwiran ayam goreng yang telah berhasil ia pisahkan dari tulangnya.Tanpa sungkan Hans mendekatkan mulutnya yang terbuka sehingga Joane bisa menyuapinya."Hmm enaknya...," Hans berseru senang membuat Joane tersenyum lebar."Jadi gimana dengan aku Hans?" Jessica menghentikan tingkah kedua pria berbeda generasi di hadapannya."Ya gak gimana- gimana. Memang maumu gimana?" Hans menjawab dengan santai setelah meneguk teh melati. Sejak kemarin malam perasaannya gelisah membuatnya tak bisa tidur hingga seharian ini ia meminta dibuatkan teh melati bukan kopi pahit seperti biasanya. Aroma teh melati terasa menenangkan hatinya yang gelisah."Kamu gak bisa bantu gitu?" kata Jessica memelas."Aku punya dua pilihan untuk kamu. Pertama,
DEGHans memegang dadanya yang berdenyut nyeri seperti ada yang dipaksa lepas. Pintu ruangannya terbuka lebar dan muncul sekertarisnya yang berlari ke arahnya dengan raut khawatir."Bapak baik- baik saja?" tanya Nina kentara sekali bahwa wanita itu mencemaskan sang atasan.Hans menggeleng tanpa bersuara, memejamkan mata berusaha mengatur napas merasakan denyut nyeri yang masih menyesakkan. Nina segera mengambilkan air putih dan mengulurkannya pada Hans. Dengan perlahan Hans meneguk air putih hingga dadanya berangsur- angsur membaik."Terima kasih," ucap Hans lirih.Nina hanya mengangguk sebagai jawaban tanpa menghilangkan raut cemas dari wajahnya."Bapak sudah baikan?" tanyanya kemudian.Hans hanya mengangguk masih sambil memejamkan mata."Sebaiknya kita pergi ke dokter, Pak," Nina mencoba memberi saran.Hans menggeleng," Tidak perlu. Saya baik- baik saja," jawab Hans tanpa membuka mata."Tapi Pak....,"