"Daddyyy!" teriak Joane sambil berlari menyongsong Hans saat melihat melihat Hans muncul dari balik pintu.
"Hai boy! Do you miss me?" Hans merentangkan tangannya dengan senyum lebar terukir di bibirnya."Yes, i do," jawab Joane mantap.Bocah itu sudah berada di gendongan Hans yang berjalan ke arah pantry di apartemen yang tergolong mewah ini.Ya, Joane dan Jessica tidak lagi tinggal satu rumah dengan Hans. Bagaimana pun ini Indonesia dimana perempuan dan laki- laki yang belum menikah tidak baik tinggal serumah. Meskipun bukan orang asli Indonesia, Hans berusaha menghormati dan menaati aturan yang berlaku.Akhirnya Hans menyewakan apartemen mewah ini untuk mereka berdua. Setiap hari ia akan mampir untuk sekedar melihat Joane, namun tidak pernah menginap. Terkadang Jessica membujuknya untuk tinggal namun selalu ditolaknya dengan halus. Hubungan mereka kembali dekat sebagai sepasang kekasih. Kerap kali Jessica mengajak menikah agar bisa tinggal"Halo Ma," Reyna mengangkat panggilan dari sang Mama.Beberapa kali memang mamanya menelepon waktu di kantor tadi tapi tidak dia angkat karena ponselnya berada di dalam tas dalam keadaan silent mode."Halo Sayangnya Mama. Lagi ngapain?" balas Riana dari seberang telepon."Ini baru pulang kerja. Kok Mama jam segini belum tidur?" Reyna melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya sudah menunjukkan pukul delapan malam yang berarti di Jakarta sudah pukul sebelas malam."Iya, Mama sengaja nungguin kamu. Dari tadi Mama telepon gak diangkat- angkat," suara sang Mama terdengar merajuk."Maaf Ma, tadi ponsel Reyna di tas dalam keadaan silent mode jadi Reyna gak denger," jelas Reyna kemudian menghempaskan badannya di ranjang kamarnya."Emang kamu sesibuk itu ya, sampai gak sempet buka- buka ponsel?" "Iya Ma, banyak klien yang minta cepat.""Kamu sih suruh bantuin Mama di florist aja gak mau malah milih menggambar
Reyna mulai mencorat- coret kanvas dengan kuas ditangannya. Rasa kantuknya hilang meskipun rasanya baru sebentar ia tidur. Di sekelilingnya banyak lukisan- lukisan seorang anak laki- laki yang sama namun di usia yang berbeda. Ya. Itu lukisan sang putra yang telah meninggal. Setelah ia sembuh dari depresi ia sering bermimpi bertemu dengan sang putra. Setelah bangun maka ia akan mengabadikan wujud sang putra dalam lukisan. Bocah itu tumbuh besar meski mereka hanya bertemu dalam mimpi.Reyna melukis dengan serius sambil mengingat detail wajah yang baru saja ia temui dalam mimpi. Anaknya tumbuh besar dan terlihat tampan, rahang tegas itu adalah milik ayahnya. Tak terasa Reyna menghabiskan malam itu dengan melukis."Kok kamu pucat, Rey?" tanya Rayan saat mereka berdua berada di meja makan.Memasak menjadi tugas Rayan sejak kejadian itu. Dan Reyna membalas kebaikan Rayan itu dengan membantu mencuci bajunya."Gak bisa tidur sampai pagi," jawab
Satu bulan bukanlah waktu yang lama untuk mempersiapkan kepindahan Rayan dan Reyna. Dengan adanya tanggungan pekerjaan yang harus mereka selesaikan sebelum keluar dari tempat kerja membuat mereka tak sempat mengepak barang- barang mereka yang akan dibawa pulang. Akhirnya mereka sepakat untuk mengirim barang mereka melalui ekspedisi. Pengepakan barang pun mereka lakukan sepulang mereka dari bekerja sampai larut malam. Untuk oleh- oleh Reyna mengajak Faira untuk menemaninya belanja."Makasih ya, Ra, kamu mau temenin aku," kata Reyna siang itu saat dirinya izin pulang awal dari kantor karena perusahaan sudah mendapatkan penggantinya namun dirinya tidak bisa langsung berhenti karena perlu training anak baru yang menggantikannya."Iya gak apa- apa. Kebetulan aku ada waktu," balas Faira sambil tersenyum."Emang mau cari apa?" tanyanya kemudian."Gak tahu juga. Makanya aku ajakin kamu biar ada yang kasih masukan," jawab Reyna sambil melihat- lihat outlet di m
Suara bising dan lalu lalang penumpang pesawat ataupun keluarga yang mengantar menjadi pemandangan yang biasa di bandara Soekarno Hatta. Tangis haru dan juga tatapan kerinduan nampak jelas dari sorot mata mereka. Tak terkecuali dua keluarga yang tengah menunggu kedatangan Reyna dan Rayan."Kok mereka belum kelihatan sih, Pa?" Riana, mama Reyna mondar mandir dengan sesekali melongok ke arah pintu kedatangan luar negeri."Sabar Ma, sebentar lagi mereka juga pasti keluar," kata sang suami, Rashad, menenangkan.Orang tua Rayan tersenyum melihat tingkah tetangganya itu. Mereka tidak terlihat cemas berlebihan, mereka cenderung diam, menanti kedatangan sang putra. Dari kejauhan terlihat sepasang muda mudi berjalan sambil celingukan. Setelah menemukan apa yang mereka cari, mereka melambaikan tangan dengan senyum lebar menghiasi bibirnya."Mama!" teriak Reyna saat langkahnya semakin dekat."Reyna! Anak Mama yang paling cantik! Akhirnya k
Sudah beberapa hari Reyna di Jakarta tapi masih malas keluar rumah kecuali ngrecokin tetangga sebelah. Tapi hari ini Rayan sudah mulai masuk kerja jadi gak ada yang bisa direcokin lagi."Ma, mau ke toko bunga ya?" tanyanya saat melihat sang Mama sudah rapi."Iya. Kamu gak mau ikut Mama? Katanya mau bantuin Mama?" Riana berhenti di hadapan sang putri yang berbaring malas- malasan di sofa ruang keluarga sambil memainkan ponsel."Nanti siang aja, Ma. Nanti Reyna nyusul sama om Anjas," jawab Reyna."Om Anjas? Bukannya bujang lapuk itu masih si Bali?" tanya Riana terlihat heran. Memang kemarin om Anjas memilih terbang ke Bali karena kangen sama calon tunangan katanya. Entah kenapa om Anjas berubah bucin, secantik apakah calonnya itu membuat Reyna semakin penasaran. Bahkan sekedar melihat fotonya aja g dikasih sama om Anjas. Katanya balasan karena pulang ke Indonesia pakai syarat kemarin."Udah tadi pagi, sekarang lagi tidur," jawab R
Reyna memasuki lobi kantor papanya yang sudah berbeda dari enam tahun lalu. Sekarang terlihat lebih asri dengan banyaknya tanaman hias di sudut- sudut ruangan. Seketika dirinya menyadari kalau itu kerjaan sang Mama.Beberapa karyawan terlihat berbisik- bisik saat Reyna melewati mereka dengan tersenyum ramah. Apalagi dia datang bersama Anjas yang diketahui para karyawan kalau pria itu sebentar lagi akan bertunangan.Sebenarnya masih ada beberapa karyawan lama yang kenal Reyna, namun penampilan Reyna yang berubah membuat orang- orang itu tak mengenali Reyna."Om Anjas pasti suka tebar pesona, ya?" tuduh Reyna dengan bebisik di telinga Anjas."Enak aja. Gak lah," elak Anjas yang dibalas cubitan oleh Reyna."Kalau gak, mereka gak akan menatap Reyna kayak gitu," Reyna mengedikkan dagu ke arah beberapa karyawan yang bergerombol dan terlihat mencuri pandang ke arahnya sambil berbisik- bisik.Anjas berhenti kemudian melihat ke arah yang
Reyna merasakan kesunyian saat dirinya menyelesaikan pekerjaannya. Reyna meregangkan tubuhnya yang kaku dengan berdiri dan mengulet belum menyadari bahwa seseorang tengah memperhatikannya."Sudah selesai, Rey?" tanya Anjas setelah melihat Reyna berdiri."Sudah Om," jawab Reyna singkat tanpa menoleh ke Anjas, dirinya masih menunduk mengamati hasil kerjanya sambil mengerutkan kening."Menurut Om, ini apa yang kurang?" tanyanya lagi sambil berjalan menunduk ke arah Anjas dengan gambar sketsa bangunan di tangannya.Anjas mengamati gambar sketsa yang disodorkan oleh Reyna. Selama beberapa saat mereka mengoreksi bersama hasil kerja Reyna tak terkecuali pemilik sepasang mata yang keberadaannya belum disadari oleh Reyna."Apa tidak sebaiknya ditambahkan gazebo di taman sebelah kanan? Jangan terlalu luas membuat mini taman biar keliatan lebih simple tapi elegan," komentar seseorang dengan suara bariton yang tidak asing namun sudah hampir Reyna lupakan.
Mereka makan dalam diam karena Anjas yang masih terlihat sedikit kesal dengan Reyna yang tak mendengarkan diskusi mereka dengan baik tadi. Sementara Reyna sendiri tidak ambil pusing mengenai kekesalan sang paman pada dirinya. Dirinya hanya berusaha mengontrol perasaannya agar tak lepas kendali apalagi di hadapan keluarganya.Melihat Hans yang baik- baik saja sementara dirinya jungkir balik mau tak mau membuat emosinya kembali muncul ke permukaan. Seperti apa yang ia lalui selama ini sama sekali gak berimbang dengan apa yang dilalui Hans. Ia mengalami kesakitan yang teramat sangat sementara Hans merasakan kebahagiaan bersama sang pujaan hati. Bukankah ini tidak adil? Tanpa sadar Reyna menggenggam erat sendok di tangannya.Dering ponsel Anjas memecah keheningan antara ketiga orang yang tengah menikmati makan siangnya."Ya Sayang?" sapa Anjas pada si penelepon sepertinya sang calon tunangan karena nada suaranya begitu lembut dan bibirnya menyunggingkan seulas senyum.Beberapa saat Anjas m