Tidur Reyna terganggu merasa ada yang tengah menciumi wajahnya. Saat matanya terbuka wajah imut dan menggemaskan dengan senyum innocent berada tepat di depan wajahnya."Reyhan?" Reyna berusaha untuk bangun namun tangan Reyhan menahannya."Kenapa gak boleh? Mama mau peluk Reyhan," kata Reyna.Bukannya menjawab bocah menggemaskan itu malah mencium pipi Reyna sebelum kemudian berbaring miring di sebelah sang ibu dan melingkarkan tangan mungilnya di dada Reyna.Reyna pun memiringkan tubuhnya, membalas pelukan sang putra kemudian mencium keningnya sambil memejamkan mata. Namun saat membuka mata bocah menggemaskan itu tidak terlihat lagi hanya tinggal guling yang ia peluk.Dengan panik Reyna bangkit dari pembaringannya, "Reyhan? Reyhan! Reyhan!" panggil Reyna berulang- ulang namun tak ada sahutan.Dengan tertatih Reyna berusaha membuka kamar yang terkunci dari luar."Reyhan! Reyhan!" Reyna berteriak sambil berusaha membuka pintu dan sesekali menggedor pintu yang terkunci bahkan air matanya
Beberapa hari ini Reyna sibuk membantu Anjas menangani klien- kliennya. Setelah malam pertunangan Anjas, Reyna belum bertemu lagi dengan Rayan. Rayan yang sempat murka karena Reyna yang kekeuh tutup mulut mengenai identitas pria 'itu' memilih pergi karena takut lepas kendali dan menyakiti Reyna. Memang apa yang bisa Reyna lakukan? Mengatakan yang sebenarnya dan menghancurkan semuanya? Jelas itu bukan satu option yang akan dipilihnya.Senyum lebar keluarganya karena Anjas yang akhirnya menemukan jodohnya tentu bagai oase di padang pasir bagi keluarganya. Dan saat sekarang semua tengah berbahagia, haruskah ia menghancurkannya?Pekerjaan yang menumpuk membantu Reyna untuk melupakan masalah itu sejenak. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya di kantor dan di apartemen. Dengan alasan banyak kerjaan dan lebih dekat dengan kantor akhirnya Reyna diizinkan tinggal di apartemen dengan catatan akan pulang ke rumah saat weekend."Makan siang Rey?" Anjas membuka pintu ruangan Reyna tanpa mengetuk
"Kamu sudah mendapatkan apa yang kuminta?" tanya seorang wanita yang memakai topi, masker serta kaca mata hitam pada seorang pria di basemen apartemen."Sudah bos. Sesuai kesepakatan," jawab pria yang agak gondrong.Pria itu mengulurkan satu amplop besar pada si wanita dan sebaliknya si wanita memberikan amplop kecil namun tebal."Bagus, aku suka kecepatan kerjamu.""Senang berbisnis dengan Anda, Bosku," pria itu mencium amplop tebal yang diterimanya sembari tersenyum miring."Ya sudah, cepat pergi. Aku akan menghubungimu lagi kalau ada kerjaan baru," suruh si wanita.Tanpa disuruh dua kali pria itu segera pergi. Sedangkan si wanita segera naik ke unit apartemennya karena tak sabar ingin segera membuka amplop besar yang diberikan oleh pria itu.Sampai di dalam apartemen wanita itu membuka topi, masker serta kaca mata hitamnya. Segera dibukanya amplop dan terlihatlah isinya yang berupa satu bendel dokumen. Dokumen yang berisi informasi mengenai Reyna. Ya, wanita itu adalah Jessica. Set
"Ray, Mama mau barbeque-an di rumah weekend ini. Aku... harus gimana?" tanya Reyna saat menelepon Rayan karena pria itu lembur di rumah sakit."Besok datang ke rumah sakit. Konsul sama temenku ya?" saran Rayan di seberang telepon."Harus ya Ray? Gak ada cara lain gitu?" tawar Reyna, entah mengapa rumah sakit seperti momok baginya."Harus. Kamu mau sembuh kan?" tanya Rayan."Yeah...," jawab Reyna pasrah."Good. Besok aku tunggu ya, biar aku yang buat janji sama dokternya.""Ok."Reyna memutuskan sambungan teleponnya dengan Rayan. Ada satu lagi yang harus ia ceritakan pada Rayan tapi tak bisa melalui sambungan telepon.Dirinya yakin, Jessica mengetahui masa lalunya. Wanita itu benar- benar berbahaya. Harusnya kemarin ia menghindari konfrontasi dengan wanita ular itu. Tapi dirinya juga terlanjur emosi karena tuduhan yang Jessica lontarkan. Kartu As yang dimilikinya serasa tidak berguna saat lawannya justru mengetahui semua kartu yang dimilikinya.Ditambah dengan trauma yang ia miliki ten
"Loh, Opa sama Oma kapan sampai?" sapa Reyna saat melihat keluarganya berkumpul di ruang keluarga. "Dasar cucu durhaka! Sekian tahun pergi ke negara orang tapi setelah balik gak ingat Oma sama sekali ya!" Oma merajuk."Gak gitu Oma. Reyna sebenarnya pengen liburan ke Jogja tapi salahin Om Anjas tuh, masa' Reyna langsung disuruh kerja!" Reyna jongkok dengan bergelayut manja di lengan omanya yang tengah duduk di sofa."Halah alasan!" "Beneran Oma. Tanya tuh sama orangnya langsung," Reyna mengedikkan dagunya ke arah Anjas."Bohong Bu, cerita lengkapnya gak gitu. Reyna tiba- tiba minta mobil makanya Anjas suruh kerja. Di dunia ini mana ada yang gratis?" Anjas membela diri."Om Anjas bohong Oma...," rengek Reyna."Ish... kalian ini sudah tua juga masih suka berantem kayak gitu," tegur Omanya membuat Reyna cemberut.Setelah Opa pensiun dari perusahaan, Opa dan Oma Reyna memilih hidup di Jogja di masa tuanya. Jakarta terlalu bising katanya. Mereka berdua memilih tinggal di desa yang masih
"Jadi Om mau bilang kalau Reyna selingkuh gitu? Perlu diingat ya Om, karena Om pernah diselingkuhi bukan berarti semua wanita akan seperti itu," kata Reyna kemudian meninggalkan Hans yang tertegun."Sh*t!" Hans merutuki mulutnya yang lancar nyinyir.Saat Rayan datang ia meninggalkan panggangan untuk menyusul Reyna masuk ke dapur. Di tengah jalan ia bertemu Laila dan Riana yang keluar dengan membawa nampan berisi minuman dan potongan buah."Mau kemana Hans?" tanya Riana."Ini mau ke toilet Mbak," jawab Hans sekenanya kemudian melanjutkan langkahnya menyusul Reyna. Sampai di dapur Hans melihat Reyna yang tengah meneguk segelas air putih."Sorry...," kata Hans membuat Reyna menoleh kaget."Aku tidak bermaksud begitu," lanjut Hans."Sudahlah Om, lupakan. Memang dari dulu Om selalu berpikiran buruk tentang Reyna. Harusnya Reyna gak perlu kaget," balas Reyna."I'm not!" sangkal Hans setengah berteriak."Yes, you are," balas Reyna membuat Hans bungkam."Kalian sedang apa?" Jessica tiba- tiba
"Aku harus bilang apa besok sama Mama dan Papa, Ray?" tanya Reyna dengan pandangan kosong lurus ke depan.Reyna dan Rayan kini tengah berada dalam mobil Rayan. Perjalanan ke apartemen mereka terasa begitu lama."Tidak perlu dipikirkan, biar aku yang menjelaskan pada mereka besok," jawab Rayan."Aku memang bodoh Ray, bagaimana bisa aku lepas kontrol di hadapan mereka?" maki Reyna pada diri sendiri."Sudahlah, jangan dipikirkan lagi. Tidurlah agar pikiranmu tenang.""Apa obat itu masih ada Ray?"Saat lampu lalu lintas merah, Rayan membuka dashboard dan mengambil botol obat kemudian dikeluarkan satu butir."Ambil air mineral di jok belakang dan minum ini," kata Rayan sambil mengulurkan obat pada Reyna.Tanpa disuruh dua kali Reyna melakukan apa yang diminta Rayan. "Kalau di depan ada minimarket berhenti ya, Ray," pinta Reyna."Mau beli apa?" "Pembalutku habis.""Ok."Mereka berdua kembali diam sampai saat menemukan minimarket Rayan berhenti. Saat menoleh ke arah Reyna, ternyata wanita
Rayan mengemudi seperti orang kesetanan. Anjas menahan diri untuk tak mengatakan apapun agar Rayan bisa fokus mengemudi demi keselamatan mereka berdua. Hans mengikuti dari belakang, di sebelahnya Jessica sesekali mencengkeram sabuk pengamannya dan Rashad yang duduk di belakang tak peduli dengan Hans yang membawa mobil ugal- ugalan karena yang dipikirkannya hanyalah keadaan putrinya.Sampai di apartemen Rayan memarkirkan mobilnya sembarangan dan bergegas turun dari mobil. Berlari ke arah lift diikuti oleh Anjas dan disusul oleh Rashad dan Hans di belakang mereka. Namun keberuntungan tak berpihak pada Hans dan Rashad karena mereka sampai tepat saat lift menutup. Terpaksa mereka menunggu lift kembali turun.Karena terlalu gugup Rayan salah memasukkan kombinasi kode pintu apartemen Reyna."Damn!" umpatnya dengan tangan gemetar.Tok tok tok"Rey! Buka pintunya Rey!" Anjas mencoba mengetok pintu dan memanggil- manggil keponakannya berharap keponakannya menyahut dan dalam keadaan baik- baik