"Kamu sudah mendapatkan apa yang kuminta?" tanya seorang wanita yang memakai topi, masker serta kaca mata hitam pada seorang pria di basemen apartemen."Sudah bos. Sesuai kesepakatan," jawab pria yang agak gondrong.Pria itu mengulurkan satu amplop besar pada si wanita dan sebaliknya si wanita memberikan amplop kecil namun tebal."Bagus, aku suka kecepatan kerjamu.""Senang berbisnis dengan Anda, Bosku," pria itu mencium amplop tebal yang diterimanya sembari tersenyum miring."Ya sudah, cepat pergi. Aku akan menghubungimu lagi kalau ada kerjaan baru," suruh si wanita.Tanpa disuruh dua kali pria itu segera pergi. Sedangkan si wanita segera naik ke unit apartemennya karena tak sabar ingin segera membuka amplop besar yang diberikan oleh pria itu.Sampai di dalam apartemen wanita itu membuka topi, masker serta kaca mata hitamnya. Segera dibukanya amplop dan terlihatlah isinya yang berupa satu bendel dokumen. Dokumen yang berisi informasi mengenai Reyna. Ya, wanita itu adalah Jessica. Set
"Ray, Mama mau barbeque-an di rumah weekend ini. Aku... harus gimana?" tanya Reyna saat menelepon Rayan karena pria itu lembur di rumah sakit."Besok datang ke rumah sakit. Konsul sama temenku ya?" saran Rayan di seberang telepon."Harus ya Ray? Gak ada cara lain gitu?" tawar Reyna, entah mengapa rumah sakit seperti momok baginya."Harus. Kamu mau sembuh kan?" tanya Rayan."Yeah...," jawab Reyna pasrah."Good. Besok aku tunggu ya, biar aku yang buat janji sama dokternya.""Ok."Reyna memutuskan sambungan teleponnya dengan Rayan. Ada satu lagi yang harus ia ceritakan pada Rayan tapi tak bisa melalui sambungan telepon.Dirinya yakin, Jessica mengetahui masa lalunya. Wanita itu benar- benar berbahaya. Harusnya kemarin ia menghindari konfrontasi dengan wanita ular itu. Tapi dirinya juga terlanjur emosi karena tuduhan yang Jessica lontarkan. Kartu As yang dimilikinya serasa tidak berguna saat lawannya justru mengetahui semua kartu yang dimilikinya.Ditambah dengan trauma yang ia miliki ten
"Loh, Opa sama Oma kapan sampai?" sapa Reyna saat melihat keluarganya berkumpul di ruang keluarga. "Dasar cucu durhaka! Sekian tahun pergi ke negara orang tapi setelah balik gak ingat Oma sama sekali ya!" Oma merajuk."Gak gitu Oma. Reyna sebenarnya pengen liburan ke Jogja tapi salahin Om Anjas tuh, masa' Reyna langsung disuruh kerja!" Reyna jongkok dengan bergelayut manja di lengan omanya yang tengah duduk di sofa."Halah alasan!" "Beneran Oma. Tanya tuh sama orangnya langsung," Reyna mengedikkan dagunya ke arah Anjas."Bohong Bu, cerita lengkapnya gak gitu. Reyna tiba- tiba minta mobil makanya Anjas suruh kerja. Di dunia ini mana ada yang gratis?" Anjas membela diri."Om Anjas bohong Oma...," rengek Reyna."Ish... kalian ini sudah tua juga masih suka berantem kayak gitu," tegur Omanya membuat Reyna cemberut.Setelah Opa pensiun dari perusahaan, Opa dan Oma Reyna memilih hidup di Jogja di masa tuanya. Jakarta terlalu bising katanya. Mereka berdua memilih tinggal di desa yang masih
"Jadi Om mau bilang kalau Reyna selingkuh gitu? Perlu diingat ya Om, karena Om pernah diselingkuhi bukan berarti semua wanita akan seperti itu," kata Reyna kemudian meninggalkan Hans yang tertegun."Sh*t!" Hans merutuki mulutnya yang lancar nyinyir.Saat Rayan datang ia meninggalkan panggangan untuk menyusul Reyna masuk ke dapur. Di tengah jalan ia bertemu Laila dan Riana yang keluar dengan membawa nampan berisi minuman dan potongan buah."Mau kemana Hans?" tanya Riana."Ini mau ke toilet Mbak," jawab Hans sekenanya kemudian melanjutkan langkahnya menyusul Reyna. Sampai di dapur Hans melihat Reyna yang tengah meneguk segelas air putih."Sorry...," kata Hans membuat Reyna menoleh kaget."Aku tidak bermaksud begitu," lanjut Hans."Sudahlah Om, lupakan. Memang dari dulu Om selalu berpikiran buruk tentang Reyna. Harusnya Reyna gak perlu kaget," balas Reyna."I'm not!" sangkal Hans setengah berteriak."Yes, you are," balas Reyna membuat Hans bungkam."Kalian sedang apa?" Jessica tiba- tiba
"Aku harus bilang apa besok sama Mama dan Papa, Ray?" tanya Reyna dengan pandangan kosong lurus ke depan.Reyna dan Rayan kini tengah berada dalam mobil Rayan. Perjalanan ke apartemen mereka terasa begitu lama."Tidak perlu dipikirkan, biar aku yang menjelaskan pada mereka besok," jawab Rayan."Aku memang bodoh Ray, bagaimana bisa aku lepas kontrol di hadapan mereka?" maki Reyna pada diri sendiri."Sudahlah, jangan dipikirkan lagi. Tidurlah agar pikiranmu tenang.""Apa obat itu masih ada Ray?"Saat lampu lalu lintas merah, Rayan membuka dashboard dan mengambil botol obat kemudian dikeluarkan satu butir."Ambil air mineral di jok belakang dan minum ini," kata Rayan sambil mengulurkan obat pada Reyna.Tanpa disuruh dua kali Reyna melakukan apa yang diminta Rayan. "Kalau di depan ada minimarket berhenti ya, Ray," pinta Reyna."Mau beli apa?" "Pembalutku habis.""Ok."Mereka berdua kembali diam sampai saat menemukan minimarket Rayan berhenti. Saat menoleh ke arah Reyna, ternyata wanita
Rayan mengemudi seperti orang kesetanan. Anjas menahan diri untuk tak mengatakan apapun agar Rayan bisa fokus mengemudi demi keselamatan mereka berdua. Hans mengikuti dari belakang, di sebelahnya Jessica sesekali mencengkeram sabuk pengamannya dan Rashad yang duduk di belakang tak peduli dengan Hans yang membawa mobil ugal- ugalan karena yang dipikirkannya hanyalah keadaan putrinya.Sampai di apartemen Rayan memarkirkan mobilnya sembarangan dan bergegas turun dari mobil. Berlari ke arah lift diikuti oleh Anjas dan disusul oleh Rashad dan Hans di belakang mereka. Namun keberuntungan tak berpihak pada Hans dan Rashad karena mereka sampai tepat saat lift menutup. Terpaksa mereka menunggu lift kembali turun.Karena terlalu gugup Rayan salah memasukkan kombinasi kode pintu apartemen Reyna."Damn!" umpatnya dengan tangan gemetar.Tok tok tok"Rey! Buka pintunya Rey!" Anjas mencoba mengetok pintu dan memanggil- manggil keponakannya berharap keponakannya menyahut dan dalam keadaan baik- baik
Rayan, dokter Fadil dan dokter Doni bergegas ke ruang rawat Reyna setelah mendapat informasi kalau Reyna sudah sadar dari seorang perawat. "Selamat pagi menjelang siang Reyna," sapa dokter Fadil dengan ramah dan gaya pecicilan khas dirinya.Reyna hanya tersenyum kecil dan mengangguk."Apa ada yang sakit?" tanya dokter Doni.Reyna hanya menggeleng sebagai jawaban. Ketika Rayan mendekatinya, Reyna menggenggam jemari Rayan erat. Dokter Doni yang menyadari gerakan Reyna melihat ke sekeliling ruang rawat dan mulai mengerti situasi."Baiklah, Reyna sudah baik- baik saja. Sebaiknya yang menemaninya cukup satu orang saja agar bisa beristirahat dengan tenang," saran dokter Doni."Kami permisi dulu," pamit dokter Doni dan diikuti dokter Fadil."Mama pulang aja sama Laila biar Papa yang menunggu Reyna di sini," Rashad memutuskan."Apa gak sebaiknya aku saja Bang?" Anjas pun menawarkan diri."Kamu handle perusahaan untuk sementara ini. Dan kamu bisa kembalu bekerja, Ray. Biar Om yang jaga Reyna.
"Maaf tadi aku ke kamar mandi sebentar. Saat aku keluar Reyna sudah tidak ada," kata Laila dengan mata berkaca- kaca.Semua orang panik mencari Reyna. Dalam keadaan seperti sekarang memang Reyna sebaiknya tidak dibiarkan sendiri. Mereka berpencar, Anjas menanyai setiap orang yang lewat namun semua menjawab dengan gelengan kepala. Mereka hampir putus asa saat mata Rayan memandang jauh ke depan. Di keremangan taman rumah sakit dirinya melihat seseorang duduk di bangku taman dengan memeluk kedua kakinya. Seketika Rayan bernapas lega, dengan langkah hati- hati Rayan mendekatinya. Anjas yang hendak menyusul ditahan oleh Rashad. "Kenapa Bang?" tanya Anjas setengah protes.Rashad hanya menjawab dengan gelengan kepala. Mereka semua hanya melihat dari jauh.Rayan yang sudah sampai di dekat Reyna berlutut di depan Reyna yang tengah memandang bintang di langit."Kenapa di sini?" tanya Rayan hati- hati."Dia bahagia di sana Ray," kata Reyna tanpa mengalihkan pandangannya, kali ini bukan pertanya