Rayan, dokter Fadil dan dokter Doni bergegas ke ruang rawat Reyna setelah mendapat informasi kalau Reyna sudah sadar dari seorang perawat. "Selamat pagi menjelang siang Reyna," sapa dokter Fadil dengan ramah dan gaya pecicilan khas dirinya.Reyna hanya tersenyum kecil dan mengangguk."Apa ada yang sakit?" tanya dokter Doni.Reyna hanya menggeleng sebagai jawaban. Ketika Rayan mendekatinya, Reyna menggenggam jemari Rayan erat. Dokter Doni yang menyadari gerakan Reyna melihat ke sekeliling ruang rawat dan mulai mengerti situasi."Baiklah, Reyna sudah baik- baik saja. Sebaiknya yang menemaninya cukup satu orang saja agar bisa beristirahat dengan tenang," saran dokter Doni."Kami permisi dulu," pamit dokter Doni dan diikuti dokter Fadil."Mama pulang aja sama Laila biar Papa yang menunggu Reyna di sini," Rashad memutuskan."Apa gak sebaiknya aku saja Bang?" Anjas pun menawarkan diri."Kamu handle perusahaan untuk sementara ini. Dan kamu bisa kembalu bekerja, Ray. Biar Om yang jaga Reyna.
"Maaf tadi aku ke kamar mandi sebentar. Saat aku keluar Reyna sudah tidak ada," kata Laila dengan mata berkaca- kaca.Semua orang panik mencari Reyna. Dalam keadaan seperti sekarang memang Reyna sebaiknya tidak dibiarkan sendiri. Mereka berpencar, Anjas menanyai setiap orang yang lewat namun semua menjawab dengan gelengan kepala. Mereka hampir putus asa saat mata Rayan memandang jauh ke depan. Di keremangan taman rumah sakit dirinya melihat seseorang duduk di bangku taman dengan memeluk kedua kakinya. Seketika Rayan bernapas lega, dengan langkah hati- hati Rayan mendekatinya. Anjas yang hendak menyusul ditahan oleh Rashad. "Kenapa Bang?" tanya Anjas setengah protes.Rashad hanya menjawab dengan gelengan kepala. Mereka semua hanya melihat dari jauh.Rayan yang sudah sampai di dekat Reyna berlutut di depan Reyna yang tengah memandang bintang di langit."Kenapa di sini?" tanya Rayan hati- hati."Dia bahagia di sana Ray," kata Reyna tanpa mengalihkan pandangannya, kali ini bukan pertanya
"Kamu tidak perlu mendengarkan pria br*ngs*k itu Rey. Dia pasti menyesal kalau tahu yang sebenarnya," Laila memeluk dan mengusap punggung Reyna."Tante... tolong... jangan bilang... apapun pada... siapapun... mengenai masalahku... dan Om Hans ya, Tante," pinta Reyna memohon dengan suara putus- putus karena menahan isak tangis."Tapi Rey, dia harus diberi pelajaran."Reyna menggeleng, "Tidak Tante, kumohon.""Kamu tidak ingin membalasnya?" tanya Laila.Reyna kembali menggeleng, "Tidak ada untungnya Tante. Tolong berjanjilah Tante, berjanjilah Tante gak akan mengatakan pada siapapun," Reyna kembali memohon."Sebelumnya Tante punya satu pertanyaan buat kamu. Apa kamu mencintainya?"Tubuh Reyna menegang mendengar pertanyaan Laila."Jadi itu alasanmu tak mau membalasnya? Karena kamu mencintainya?" keterdiaman Reyna membuat Laila menyimpulkan sendiri."Sebenarnya, ya, dulu aku mencintainya tapi tidak sekarang. Alasanku tidak mengatakannya karena aku tidak mau membuat keluargaku malu apalagi
"Aku tidak sedang bernegosiasi Rey. Aku memberimu pilihan," jawab Jessica dengan menampilkan seringai culasnya.Tentu saja Jessica tidak akan melakukan itu karena akan terkesan mengatur Hans. Apalagi ia tahu Hans belum sepenuhnya percaya padanya. "Baiklah, tapi Reyna butuh waktu," mau tak mau meskipun berat Reyna menyetujui keinginan Jessica. Pilihan yang diberikan Jessica hanyalah cara halus untuk memaksanya pergi. Ia tak mungkin membiarkan Anjas dan keluarganya terluka."Berapa lama?" tanya Jessica sambil memainkan ponselnya."Dua bulan.""Too long...," jawab Jessica sambil memasukkan ponselnya ke dalam tas."Satu bulan," Reyna kembali mengalah.Hari ini Reyna terlalu banyak mengalah pada Jessica, padahal di awal tadi ia sudah bertekat untuk tidak takut namun Jessica benar- benar pandai memanfaatkan kelemahannya hingga memaksa Reyna menyerah dengan sendirinya."Two weeks. No more," kata Jessica tak mau dibantah.Reyna mengangguk lemah, kembali dipaksa untuk setuju."Ok, senang berd
"Kenapa aku harus takut?" kilah Jessica namun Laila bisa menangkap kepanikan dalam sorot matanya."Kalau begitu Anda tidak keberatan untuk makan siang bersama kan?" Laila tersenyum.Anjas dan Rashad mengabaikan perdebatan kedua wanita itu sementara Hans lebih terlihat bingung. Mau menolak tidak enak hati tapi Jessica mengajaknya pergi."Tentu saja tidak," dengan terpaksa Jessica menjawab."Baguslah, selamat menikmati makan siang Anda," kata Laila kemudian duduk di samping Anjas bersiap untuk mengambilkan makanan untuk sang calon suami.Tepat saat mereka telah menghabiskan makan siangnya, Rayan datang."Maaf aku agak terlambat Tante," sapa Rayan pada Laila yang hanya dibalas dengan anggukan dan senyum maklum."Ada apa ini, La? Kok memanggil Rayan kesini?" tanya Rashad setelah mengelap mulutnya dengan tisu."Ada hal yang harus Laila sampaikan Bang," jawab Laila."Kalau begitu kami permisi dulu, terima kasih untuk makan siangnya Mbak Laila," Hans berpamitan karena mengira mereka akan mem
Laila tak merasa iba sedikitpun melihat keadaan Hans. Sudut bibirnya robek, satu matanya bengkak menghitam, hidung mancungnya keluar darah dan sedikit bengkok. Kalau dibuang dijalanan takkan ada yang mengenalinya. Namun semua itu masih belum sebanding dengan penderitaan Reyna. Hans akan merasakan penyesalan sampai rasanya ingin memotong lidahnya sendiri seperti yang ia ucapkan kemarin."Ada satu lagi yang harus kalian tahu. Memang ada yang sengaja ingin menyakiti Reyna dengan memicu api di panggangan menjadi besar," Laila akan menuntaskan semuanya.Perhatian kembali beralih pada Laila yang memandang lurus ke arah Jessica yang memangku kepala Hans sambil menangis.Rayan tertarik dengan pernyataan Laila barusan karena ia tahu peristiwa itu disengaja namun tak mempunyai bukti. Laila datang padanya tadi pagi dan meminta dirinya menceritakan kehidupan Reyna selama di Aussie dan sebagai gantinya ia akan memberikan bukti itu. Setelah mendengar ceritanya, Laila tak langsung memberikan bukti ke
Rashad meninggalkan ruangan Anjas untuk pulang ke rumah. Kalau bertahan di sana ia takut akan menjadi seorang pembunuh.Anjas melihat sahabatnya dengan tatapan kecewa. Ia tahu Hans pria br*ngsek tapi tak pernah terpikirkan olehnya bahwa pria itu akan melakukannya pada Reyna, keponakan tersayangnya. Ia mengerti sekarang, kenapa Reyna terlihat tidak nyaman dengan keberadaan Hans. "Kamu tahu Hans? Saat kamu begitu yakin Joane anakmu dalam hatiku menyangkalnya karena aku berharap kamu tidak hidup bersama wanita seperti dia. Aku mencari bukti sampai tes DNA diam- diam agar kamu terbebas dari tanggung jawab yang tidak seharusnya kamu pikul. Namun sekarang aku menyesal, aku justru berharap Joane benar- benar anakmu agar kamu bisa hidup bersama wanita j*lang itu. Karena kalian sangat cocok bersama. Tapi menyesal pun tak ada gunanya sekarang. Justru kenyataan yang ada ini adalah hukuman buatmu. Bahkan anak yang seharusnya kamu sayang dan kamu rawat memilih pergi tanpa pernah bertemu denganmu.
Reyna tersenyum puas menatap lukisan keluarganya yang sudah terbingkai rapi. Ini akan dijadikannya hadiah perpisahan, ia sudah memikirkan alasan kepergiannya kembali ke Aussie. Akan ia manfaatkan waktu dua minggu ini dengan sebaik- baiknya. Bahkan ia tak memberitahukannya pada Rayan karena sahabatnya itu mulai tak bisa menjaga mulutnya."Reyna dimana Ma?" terdengar suara Rashad yang sepertinya sudah pulang dari kantor."Ada di ruang tengah, kok Papa udah pulang?" tanya Riana heran melihat sang suami yang pulang sebelum waktunya."Ada apa Pa? Kangen sama Reyna, ya?" goda Reyna yang muncul dari ruang tengah.Rashad memandang sang putri yang tersenyum ke arahnya. Putrinya yang sudah dewasa padahal rasanya baru kemarin ia menimangnya. Dan fakta menyakitkan tentang putrinya yang terlambat ia ketahui sungguh terasa merobek hatinya.Rashad memeluk erat putrinya dengan sesekali mencium puncak kepala sang putri dan satu tangan tak henti mengelus punggung Reyna. Riana masih tak mengerti dengan s