Share

Bab 2 Bertemu sahabat lama

Di sebuah cafe, Dinda duduk di sebuah meja dekat jendela. Sesekali ia menyesap minuman yang telah ia pesan sebelumnya. Matanya fokus pada layar ponsel yang ada didalam genggamannya. Mencoba menghubungi seseorang yang telah berjanji temu dengannya disini.

Ia terlalu sibuk dengan ponselnya, sehingga tak menyadari ada langkah kaki yang berjalan mendekat ke mejanya. Cukup lama pria itu berdiri disana, tapi Dinda masih tak menyadari dan terus mengotak-atik benda pipih itu.

"Eheem.." pria itu berdehem. Berharap Dinda akan menyadari keberadaannya dan mengalihkan pandangannya dari ponsel. Tapi tampaknya Dinda terlalu fokus dan tak menghiraukan deheman pria asing itu. 

Pria itu terpejam seraya menggelengkan kepalanya. Ia kembali membuka matanya, dan mencoba menyapa.

"Apakah saya boleh duduk disini, Nona?" Tanya pria itu sopan.

Dinda mengangkat kepalanya, mengalihkan perhatiannya sebentar dari layar ponsel. Lalu dengan cepat pula kembali melihat layar ponsel itu.

"Saya sedang menunggu kekasih saya, jadi silahkan anda mencari meja lain." Ucap Dinda dengan ketus. Ia tak suka berbicara dengan orang asing, terlebih ia akan bertemu dengan kekasihnya. Ia tak ingin akan menimbulkan kesalahpahaman diantara mereka.

"Jadi anda sudah mempunyai kekasih?" Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut pria itu.

"Iya." Jawab Dinda singkat. Ia mulai gerah dengan pertanyaan tak penting ndari pria asing tersebut.

"Apakah dia pria yang tampan?" 

Dinda memutar bola matanya malas menanggapi pria itu, lalu ia mengangkat kepalanya untuk mengusir pria yang keras kepala itu. Tapi ia sangat terkejut ketika matanya bertemu dengan pria yang tadi menggodanya.

"Rio.." Dinda membelalakkan matanya. Tak menyangka akan bertemu sahabat lamanya yang beberapa tahun lalu menghilang.

Pria yang bernama Rio itu hanya tersenyum seraya menaikkan alisnya. Menggoda wanita yang ada dihadapannya.

"Sudah punya kekasih rupanya heem?" Tanyanya menggoda.

"Dasar kau." umpat Dinda seraya meninju lengan pria itu. Ia pun berdiri, dan menyambut uluran tangan Rio.

"Dasar apa? Dasar tampan?" 

"Dasar buaya!" 

Dinda menyimpan ponselnya ke dalam tas. Rio adalah sahabatnya yang meninggalkannya untuk bekerja di luar kota. Dan siapa sangka kini mereka bertemu secara tidak sengaja.

"Kapan kau kembali?" Tanya Dinda antusias.

"Kemarin." jawab Rio singkat. Dinda mengangkat alisnya ke atas.

"Kau bilang kemarin? Kenapa tidak mengabariku?" Dinda mengerucut kan bibirnya. Sungguh wanita itu terlihat sangat lucu di mata Rio. 

"Tadinya aku ingin memberi kejutan untukmu dan Nadira. Tak di sangka kita malah bertemu disini." Ujar Rio menjelaskan.

"Ya, dan kau gagal." Dinda terkekeh. Senyumnya selalu saja manis, mempunyai daya tarik sendiri. Apalagi gigi gingsul wanita itu, semakin membuat senyumnya semakin manis. Membuat yang melihatnya tak akan pernah bosan. Wajah ceria wanita itu, mempunyai nilai tersendiri. Hati Rio selalu berdebar melihat senyum itu, sama seperti sebelumnya. Ia akan selalu berdebar jika berada di dekat janda muda satu Dimata Rio, Dinda masih tetap sama. Malah semakin cantik, tubuhnya yang dulu kurus kini padat berisi.

"Apa aku harus memutar waktu agar semuanya sesuai rencana?" Rio menaikkan alisnya. Mencoba meredam kegugupan dan debarannya dengan bercanda agar tak terlalu tegang.

"Apa anda sudah beralih profesi tuan Rio Abraham?" 

"Maunya sih begitu, tapi sepertinya harus berusaha lebih keras lagi." 

Dinda mengerutkan keningnya, mencerna ucapan Rio yang ambigu.

"Tadinya aku ingin beralih profesi menjadi Ayah Nadira, tapi sepertinya aku harus kembali menuai kegagalan karena kali ini aku kembali kalah cepat dari calon Ayah Nadira yang baru." 

Wajah jenaka yang semula terpasang di wajah Rio, kini berubah menjadi serius. Matanya menunjukkan luka yang tak bisa di jelaskan. Dinda terdiam sesaat. Tapi selanjutnya ia tertawa renyah menanggapi kecanggungan yang tercipta beberapa saat. 

"Kau tidak pernah berubah. Selalu saja menggodaku." Dinda meraih minumannya dan menyesap minumannya sampai habis. Menyisakan es batu didalam gelas, lalu ia kembali meletakkan gelas kosong itu ke tempat semula.

"Dan kau juga tidak pernah berubah. Selalu menganggap ucapanku hanya candaan, padahal aku serius padamu." Netra coklat milik Rio tak menatap lekat pada wanita cantik yang ada dihadapannya. Sungguh, sebenarnya ia sangat merindukan sahabat sekaligus orang yang sangat spesial baginya. Dinda Fitriah, selama tujuh tahun tidak ada yang menggantikan posisi wanita itu di hati Rio. Rio mengenal Dinda jauh sebelum Dinda menikah dengan Bayu. Ia sudah mencintai Dinda semenjak mereka menempuh pendidikan di kampus yang sama. 

Dinda tidak pernah menanggapi perasaan Rio, karena ia hanya menganggap Rio sebagai sahabat tidak lebih. Dan setelah Dinda menikah dengan Bayu, Rio memutuskan untuk kerja di luar kota seraya mengubur perasaannya. Dan setelah pernikahan Dinda berakhir, Rio ingin cepat kembali dan memperjuangkan rasa yang tak pernah hilang. Tapi ia sedang terikat kontrak dengan perusahaan tempatnya bekerja sehingga harus menunda kepulangan nya ke kota ini. Tapi lagi-lagi ia harus kembali menerima kekalahan. Dinda sudah memiliki tambatan hati, dan itu cukup membuat hati Rio kembali hancur.

Ponsel Rio berdering, dengan cepat pria itu menerima panggilan itu. 

"Baiklah saya kesana sekarang." Rio mengakhiri panggilan telepon dan berdiri. 

"Aku harus pergi, lain waktu kita harus bertemu kembali. Sampaikan salamku pada Bapak dan Nadira."

"Ohya,juga pada calon suamimu." Rio menekan rasa sakit ketika mengucapkan nya. Entahlah, ia pun tak mengerti mengapa sangat sulit menghapus rasa cintanya pada Dinda.

Dinda mengangguk," kau harus mengunjungi mereka. Karena aku yakin, mereka juga sangat merindukanmu." 

"Pasti. Dalam waktu dekat aku akan kerumahmu. Dan aku ingin bertemu calon suamimu, aku ingin sedikit memberikan wejangan padanya. Aku tak akan membiarkan jika nanti ia akan menyakitimu." Ujar Rio serius.

"Baiklah Pak Rio Abraham yang terhormat." Dinda terkekeh. Rio beranjak mendekati Dinda, mengacak rambut Dinda dengan gemas.

"Hey! Kau merusak rambutku." Protes Dinda tak terima. Ia segera memperbaiki rambutnya yang acak-acakan seraya mengerucutkan bibirnya.

"Maafkan aku tuan putri." Rio membantu memperbaiki rambut Dinda dengan lembut. 

"Kau menyebalkan Rio." 

Rio terkekeh, ia semakin gemas melihat wanita itu.

"Lihatlah bibirmu. Seperti minta cium! Apa kau menginginkan ciuman dariku tuan putri?" Rio menggoda Dinda, ia tersenyum tanpa dosa. Refleks Dinda menutupi bibirnya dengan kedua tangannya, matanya melotot memperingati.

"Aku tidak akan menciummu disini, tapi aku akan mencium mu nanti di ranjang pengantin kita." Bisik Rio menggoda, selanjutnya ia tertawa terbahak-bahak. Puas mengerjai sahabat lamanya itu. Ia melangkah meninggalkan Dinda seraya melambaikan tangannya.

"Dasar gila! Dari dulu tidak pernah berubah. Tetap somplak dan menyebalkan." Gerutu Dinda seraya menggelengkan kepalanya. Ia tak menyadari jika apa yang mereka lakukan tadi tak luput dari pandangan sepasang manik coklat yang tak jauh dari sana. Menahan rasa cemburu yang hampir meledak daritadi. Pria itu berjalan mendekati meja dimana Dinda berada, berdiri tepat di belakang Dinda.

"Siapa pria itu?" Suara yang teramat dingin itu menusuk indera pendengaran Dinda. Membuat Dinda segera memutar kepalanya melihat ke arah sumber suara. 

Degg.. tubuh Dinda menegang, mendapati pria yang berdiri dihadapannya dengan wajah memerah menahan cemburu. Ia merasakan hawa di cafe ini berubah. Sepertinya akan terjadi perang dunia ketiga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status