Share

Bab 3 Aku milikmu, dan kamu milikku!

"Siapa pria itu?" Suara yang teramat dingin itu menusuk indera pendengaran Dinda. Membuat Dinda segera memutar kepalanya melihat ke arah sumber suara. 

Degg.. tubuh Dinda menegang, mendapati pria yang berdiri dihadapannya dengan wajah memerah menahan cemburu. 

"Mas.. kamu sudah sampai?" Dinda segera berdiri menghampiri kekasihnya yang sedang di kuasai rasa cemburu. 

"Siapa pria itu?" Tanya Alvian dingin. Tatapan matanya sangat menusuk, membuat Dinda bergidik ngeri. Ia sangat mengenal sikap posesif kekasihnya, sehingga ia harus segera membuat segala hal menjadi baik.

"Duduk dulu mas, biar ku jelaskan." Alvian mendaratkan bokongnya dengan kasar, matanya tak lepas dari wajah cantik Dinda yang kini berubah menjadi pucat. Dinda takut jika mereka akan bertengkar, atau bahkan putus. Sungguh Dinda sangat mencintai pria yang saat ini bersamanya.

Ia tak akan bisa membayangkan jika hubungan mereka akan berakhir.

"Pria tadi namanya Rio, dia sahabat lamaku mas." Dinda mulai menjelaskan. Sedangkan Alvian hanya memandangnya dengan ekspresi tak bisa di tebak. Wajahnya masih menunjukkan kemarahan dan kecemburuan yang terlihat sangat jelas.

"Apakah sahabat harus memegang kepalamu dan berbisik mesra?" Tanya Alvian tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun.

Gleek.. 

Dinda menelan ludah dengan susah payah. Rasanya tercekat di tenggorokan, ia butuh air sekarang. 

"Mas, aku dan Rio tidak ada hubungan apa-apa selain berteman. Kami bertemu kembali setelah cukup lama berpisah." 

"Apa kamu senang?" 

"Tentu aku senang mas." 

Alvian memicingkan sebelah matanya, wajahnya semakin memerah.

"Tapi tenang saja mas, kami cuma berteman. Tidak lebih." Dinda meraih jemari Alvian, menggenggamnya dengan lembut. 

"Mas harus percaya padaku." Ia menambahkan.

Hening. Tidak ada percakapan diantara keduanya untuk beberapa saat. Yang terdengar hanya dentingan sendok dan piring, serta obrolan ringan pengunjung cafe lainnya. 

"Ya, aku percaya." Ucap Alvian akhirnya. Entahlah, ia tidak bisa untuk marah terlalu lama pada wanita yang sangat ia cintai ini. Ia tidak akan tega melihat kekasihnya memelas, dan terlihat sedih. 

Meskipun usia Alvian tujuh tahun lebih muda, tapi sikapnya sangat dewasa. Ya, mereka adalah pasangan beda usia. Usia Dinda jauh lebih tua dari Alvian, kekasihnya. Awalnya Dinda menolak untuk berhubungan dengan Alvian karena jarak usia yang terpaut jauh. Tapi kegigihan Alvian membuat benteng pertahanan Dinda roboh, ia tak bisa mengabaikan perasaan Alvian padanya.

Sehingga mereka menjalin hubungan sampai sejauh ini. Dinda dan Alvan sama-sama bucin, budak cinta. Mereka saling mencintai dan menyayangi, saling takut kehilnagan dan sama-sama posesif. Dinda tak bisa keluar dari jerat cinta berondong satu ini. Cintanya terlalu kuat dan memabukkan, membuatnya lupa akan jarak usia yang terbentang diantara mereka.

"Mas sudah makan?" 

Alvian menggeleng, awalnya ia mengajak bertemu Dinda disini untuk mengajak makan siang. Tapi karena kejadian tadi, membuatnya tidak berselera untuk sekedar mengisi perutnya yang kosong.

"Aku akan memesan makanan." Dinda bersiap akan memanggil waiters. Tapi segera di cegah oleh Alvian. 

"Aku tidak lapar. Kita pulang saja!" Alvian berdiri dan segera membayar minuman yang telah Dinda pesan sebelumnya. Dinda terbengong, ia tak sadar jika mulutnya menganga.

"Tutup mulutmu kalau tidak ingin lalat masuk!" Alvian menutup mulut kekasihnya itu dengan jemarinya.

"Astaga." Geram Dinda kesal.

"Kita makan dulu baru pulang." Ujar Dinda seraya berdiri, mengikuti langkah Alvian menuju pintu keluar. Ia berjalan seraya memperbaiki tasnya yang belum ia pakai dengan benar. Ia tau kekasihnya cemburu dan marah atas apa yang telah ia lihat tadi.

"Mas.." Dinda berhenti. Mau tak mau Alvian juga ikut berhenti.

"Kenapa?" 

"Jangan marah.." Dinda memasang muka memelas. 

"Aku tidak marah." Elak Alvian, berusaha menutupi.

"Jangan bohong." Tuding Dinda kesal.

"Aku tidak marah sayang. Ayo kita pulang, kamu tidak mau kan kalo aku memakanmu disini?" Alvian berbisik seraya mengecup pucuk kepala kekasihnya dengan lembut.

Wajah Dinda bersemu, pipinya terasa panas sekarang. 

"Ayo pulang." Alvian menggenggam tangan Dinda dan menariknya keluar cafe. Sedangkan Dinda hanya menurut dan tak banyak tanya. Setelah sampai di parkiran, Alvian memasangkan helm pada Dinda dengan lembut. Setelah helmnya terpasang dengan benar mereka segera meninggalkan pelataran cafe menuju kontrakan Alvian. Sepanjang perjalanan, Alvian tak banyak bicara. Ia hanya menggenggam jemari Dinda yang melingkar di pinggangnya dengan tangan kiri, sesekali mengusapnya dengan lembut. Sementara Dinda hanya diam memeluk tubuh kekasihnya, menghirup aroma maskulin pria itu. Aroma yang selalu membuat candu dan selalu ia rindukan.

Mereka tiba di kontrakan satu jam kemudian. Baru mereka akan melangkah masuk ke dalam rumah, suara gadis muda terdengar memanggil Alvian.

"Bang Al, jangan lupa nanti malam ya. Dea tunggu dirumah." Ujarnya malu-malu dan melambaikan tangan ke arah Al. Sontak saja membuat Dinda mendelik, menatap Alvian meminta penjelasan.

"Pelanggan yang, minta anterin ke acara ulangtahun temennya." Alvian menjelaskan tanpa diminta.

"Kok kamu nggak ngomong ke aku mas?" 

"Kan belum sempet ngomong, udah nongol aja tuh bocah." Alvian melanjutkan langkahnya, mengeluarkan kunci rumah dan segera membukanya. Ia tidak ingin ribut di depan rumah, dan tidak ingin pula membiarkan kekasihnya itu kepanasan.

"Kalian tidak berkencan kan mas?" Dinda menatap Alvian dengan curiga.

"Astaga apa yang kamu katakan sayang? Aku tidak mengencani siapapun kecuali kamu sayang. Please, jangan berpikiran yang tidak-tidak." Alvian menarik tubuh Dinda kedalam pelukannya. Mengecup kepala dan pipi Dinda bertubi-tubi. Berharap bisa menghilangkan rasa cemburu wanita itu.

"Lepasin mas, aku mau masak. Mas kan belum makan." Dinda melepaskan diri dari pelukan Alvian, menuju dapur yang sebelumnya meletakkan dulu tas yang ia pakai. Sejujurnya ia cemburu, tapi ia gengsi untuk mengakuinya.

Dinda membuka lemari es, tapi tidak ada bahan makanan disana. Hanya ada telur dan wortel beserta minuman kaleng lainnya. 

"Mas, aku bikin omlete aja ya?" Tawar Dinda pada kekasihnya.

Alvian menyusul Dinda kedapur dan segera memeluk wanitanya dari belakang. 

"Aku tidak lapar sayang." Bibirnya sudah berada di leher jenjang milik Dinda.

"Mas.. kau harus makan." Susah payah Dinda menahan diri. Perlakuan Alvian sukses membuat bulu kuduknya meremang.

"Aku ingin memakanmu sayang." Alvian menggigit kecil cuping telinga Dinda. Membuat wanita itu mendesah. 

"Akhh.. " Dinda mendesah.

"Mas... Ini di dapur." 

"Kenapa sayang? Kita belum mencobanya disini." 

"Maas.." 

"Iya sayang, aku ingin melakukannya disini." Alvian membalikkan tubuh Dinda menghadapnya, menekan tengkuk wanita itu dan melumat bibirnya yang ranum. Melahapnya dengan rakus, awalnya Dinda kewalahan mengimbangi permainan lidah pria itu. Tapi lama-lama Dinda bisa mengimbangi, membuat ciuman itu semakin panas dan menuntut lebih. Keduanya baru melepaskan ciuman itu untuk menarik nafas, kemudian menyatukan kembali bibir keduanya dengan nafsu yang menggelora. Alvian menarik tubuh Dinda dan mendudukkannya di meja yang ada di dapur.

"Mas, apa kau yakin akan melakukannya disini?" Tanya Dinda dengan tatapan sayu, berkabut penuh gairah. 

"Iya sayang. Kita akan mencobanya disini."

Setelah mengucapkannya, Alvian kembali memagut bibir Dinda dengan rakus. Bibirnya turun ke leher Dinda dan meninggalkan jejak kissmark disana. Tak berhenti disitu, bibirnya terus turun kebawah menuju dua gundukan sintal milik Dinda. Lidahnya berlama-lama bermain disana, ia bagaikan bayi yang kehausan. Tak ada bagian tubuh Dinda yang lepas dari jangkauan lidahnya. Hingga ia tak kuat lagi menahan gairah yang menggelora, Alvia bersiap untuk melakukan penyatuan. Keduanya sama-sama bergairah, tak perduli dimana mereka berada sekarang. Dapur itu di penuhi dengan erangan dan desahan kenikmatan kedua sejoli yang sedang dimabuk asmara. Hingga keduanya mencapai klimaks.  Alvian melumat bibir Dinda dengan lembut. Lalu mencium kening wanita itu, ia memejamkan mata seraya menempelkan kening mereka. Napas masih keduanya masih memburu,

"Aku mencintaimu." 

"Aku lebih mencintaimu." Balas Dinda dengan tersenyum.

"Jangan pernah dekat dengan pria lain."

"Mas juga jangan dekat dengan wanita lain." 

"Tidak akan pernah. Aku milikmu, dan kamu milikku!" Alvian menyatukan kembali bibir mereka dan kembali pada percintaan panas yang selalu menjadi candu bagi keduanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status