"Siapa pria itu?" Suara yang teramat dingin itu menusuk indera pendengaran Dinda. Membuat Dinda segera memutar kepalanya melihat ke arah sumber suara.
Degg.. tubuh Dinda menegang, mendapati pria yang berdiri dihadapannya dengan wajah memerah menahan cemburu.
"Mas.. kamu sudah sampai?" Dinda segera berdiri menghampiri kekasihnya yang sedang di kuasai rasa cemburu.
"Siapa pria itu?" Tanya Alvian dingin. Tatapan matanya sangat menusuk, membuat Dinda bergidik ngeri. Ia sangat mengenal sikap posesif kekasihnya, sehingga ia harus segera membuat segala hal menjadi baik.
"Duduk dulu mas, biar ku jelaskan." Alvian mendaratkan bokongnya dengan kasar, matanya tak lepas dari wajah cantik Dinda yang kini berubah menjadi pucat. Dinda takut jika mereka akan bertengkar, atau bahkan putus. Sungguh Dinda sangat mencintai pria yang saat ini bersamanya.
Ia tak akan bisa membayangkan jika hubungan mereka akan berakhir.
"Pria tadi namanya Rio, dia sahabat lamaku mas." Dinda mulai menjelaskan. Sedangkan Alvian hanya memandangnya dengan ekspresi tak bisa di tebak. Wajahnya masih menunjukkan kemarahan dan kecemburuan yang terlihat sangat jelas.
"Apakah sahabat harus memegang kepalamu dan berbisik mesra?" Tanya Alvian tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun.
Gleek..
Dinda menelan ludah dengan susah payah. Rasanya tercekat di tenggorokan, ia butuh air sekarang.
"Mas, aku dan Rio tidak ada hubungan apa-apa selain berteman. Kami bertemu kembali setelah cukup lama berpisah."
"Apa kamu senang?"
"Tentu aku senang mas."
Alvian memicingkan sebelah matanya, wajahnya semakin memerah.
"Tapi tenang saja mas, kami cuma berteman. Tidak lebih." Dinda meraih jemari Alvian, menggenggamnya dengan lembut.
"Mas harus percaya padaku." Ia menambahkan.
Hening. Tidak ada percakapan diantara keduanya untuk beberapa saat. Yang terdengar hanya dentingan sendok dan piring, serta obrolan ringan pengunjung cafe lainnya.
"Ya, aku percaya." Ucap Alvian akhirnya. Entahlah, ia tidak bisa untuk marah terlalu lama pada wanita yang sangat ia cintai ini. Ia tidak akan tega melihat kekasihnya memelas, dan terlihat sedih.
Meskipun usia Alvian tujuh tahun lebih muda, tapi sikapnya sangat dewasa. Ya, mereka adalah pasangan beda usia. Usia Dinda jauh lebih tua dari Alvian, kekasihnya. Awalnya Dinda menolak untuk berhubungan dengan Alvian karena jarak usia yang terpaut jauh. Tapi kegigihan Alvian membuat benteng pertahanan Dinda roboh, ia tak bisa mengabaikan perasaan Alvian padanya.
Sehingga mereka menjalin hubungan sampai sejauh ini. Dinda dan Alvan sama-sama bucin, budak cinta. Mereka saling mencintai dan menyayangi, saling takut kehilnagan dan sama-sama posesif. Dinda tak bisa keluar dari jerat cinta berondong satu ini. Cintanya terlalu kuat dan memabukkan, membuatnya lupa akan jarak usia yang terbentang diantara mereka.
"Mas sudah makan?"
Alvian menggeleng, awalnya ia mengajak bertemu Dinda disini untuk mengajak makan siang. Tapi karena kejadian tadi, membuatnya tidak berselera untuk sekedar mengisi perutnya yang kosong.
"Aku akan memesan makanan." Dinda bersiap akan memanggil waiters. Tapi segera di cegah oleh Alvian.
"Aku tidak lapar. Kita pulang saja!" Alvian berdiri dan segera membayar minuman yang telah Dinda pesan sebelumnya. Dinda terbengong, ia tak sadar jika mulutnya menganga.
"Tutup mulutmu kalau tidak ingin lalat masuk!" Alvian menutup mulut kekasihnya itu dengan jemarinya.
"Astaga." Geram Dinda kesal.
"Kita makan dulu baru pulang." Ujar Dinda seraya berdiri, mengikuti langkah Alvian menuju pintu keluar. Ia berjalan seraya memperbaiki tasnya yang belum ia pakai dengan benar. Ia tau kekasihnya cemburu dan marah atas apa yang telah ia lihat tadi.
"Mas.." Dinda berhenti. Mau tak mau Alvian juga ikut berhenti.
"Kenapa?"
"Jangan marah.." Dinda memasang muka memelas.
"Aku tidak marah." Elak Alvian, berusaha menutupi.
"Jangan bohong." Tuding Dinda kesal.
"Aku tidak marah sayang. Ayo kita pulang, kamu tidak mau kan kalo aku memakanmu disini?" Alvian berbisik seraya mengecup pucuk kepala kekasihnya dengan lembut.
Wajah Dinda bersemu, pipinya terasa panas sekarang.
"Ayo pulang." Alvian menggenggam tangan Dinda dan menariknya keluar cafe. Sedangkan Dinda hanya menurut dan tak banyak tanya. Setelah sampai di parkiran, Alvian memasangkan helm pada Dinda dengan lembut. Setelah helmnya terpasang dengan benar mereka segera meninggalkan pelataran cafe menuju kontrakan Alvian. Sepanjang perjalanan, Alvian tak banyak bicara. Ia hanya menggenggam jemari Dinda yang melingkar di pinggangnya dengan tangan kiri, sesekali mengusapnya dengan lembut. Sementara Dinda hanya diam memeluk tubuh kekasihnya, menghirup aroma maskulin pria itu. Aroma yang selalu membuat candu dan selalu ia rindukan.
Mereka tiba di kontrakan satu jam kemudian. Baru mereka akan melangkah masuk ke dalam rumah, suara gadis muda terdengar memanggil Alvian.
"Bang Al, jangan lupa nanti malam ya. Dea tunggu dirumah." Ujarnya malu-malu dan melambaikan tangan ke arah Al. Sontak saja membuat Dinda mendelik, menatap Alvian meminta penjelasan.
"Pelanggan yang, minta anterin ke acara ulangtahun temennya." Alvian menjelaskan tanpa diminta.
"Kok kamu nggak ngomong ke aku mas?"
"Kan belum sempet ngomong, udah nongol aja tuh bocah." Alvian melanjutkan langkahnya, mengeluarkan kunci rumah dan segera membukanya. Ia tidak ingin ribut di depan rumah, dan tidak ingin pula membiarkan kekasihnya itu kepanasan.
"Kalian tidak berkencan kan mas?" Dinda menatap Alvian dengan curiga.
"Astaga apa yang kamu katakan sayang? Aku tidak mengencani siapapun kecuali kamu sayang. Please, jangan berpikiran yang tidak-tidak." Alvian menarik tubuh Dinda kedalam pelukannya. Mengecup kepala dan pipi Dinda bertubi-tubi. Berharap bisa menghilangkan rasa cemburu wanita itu.
"Lepasin mas, aku mau masak. Mas kan belum makan." Dinda melepaskan diri dari pelukan Alvian, menuju dapur yang sebelumnya meletakkan dulu tas yang ia pakai. Sejujurnya ia cemburu, tapi ia gengsi untuk mengakuinya.
Dinda membuka lemari es, tapi tidak ada bahan makanan disana. Hanya ada telur dan wortel beserta minuman kaleng lainnya.
"Mas, aku bikin omlete aja ya?" Tawar Dinda pada kekasihnya.
Alvian menyusul Dinda kedapur dan segera memeluk wanitanya dari belakang.
"Aku tidak lapar sayang." Bibirnya sudah berada di leher jenjang milik Dinda.
"Mas.. kau harus makan." Susah payah Dinda menahan diri. Perlakuan Alvian sukses membuat bulu kuduknya meremang.
"Aku ingin memakanmu sayang." Alvian menggigit kecil cuping telinga Dinda. Membuat wanita itu mendesah.
"Akhh.. " Dinda mendesah.
"Mas... Ini di dapur."
"Kenapa sayang? Kita belum mencobanya disini."
"Maas.."
"Iya sayang, aku ingin melakukannya disini." Alvian membalikkan tubuh Dinda menghadapnya, menekan tengkuk wanita itu dan melumat bibirnya yang ranum. Melahapnya dengan rakus, awalnya Dinda kewalahan mengimbangi permainan lidah pria itu. Tapi lama-lama Dinda bisa mengimbangi, membuat ciuman itu semakin panas dan menuntut lebih. Keduanya baru melepaskan ciuman itu untuk menarik nafas, kemudian menyatukan kembali bibir keduanya dengan nafsu yang menggelora. Alvian menarik tubuh Dinda dan mendudukkannya di meja yang ada di dapur.
"Mas, apa kau yakin akan melakukannya disini?" Tanya Dinda dengan tatapan sayu, berkabut penuh gairah.
"Iya sayang. Kita akan mencobanya disini."
Setelah mengucapkannya, Alvian kembali memagut bibir Dinda dengan rakus. Bibirnya turun ke leher Dinda dan meninggalkan jejak kissmark disana. Tak berhenti disitu, bibirnya terus turun kebawah menuju dua gundukan sintal milik Dinda. Lidahnya berlama-lama bermain disana, ia bagaikan bayi yang kehausan. Tak ada bagian tubuh Dinda yang lepas dari jangkauan lidahnya. Hingga ia tak kuat lagi menahan gairah yang menggelora, Alvia bersiap untuk melakukan penyatuan. Keduanya sama-sama bergairah, tak perduli dimana mereka berada sekarang. Dapur itu di penuhi dengan erangan dan desahan kenikmatan kedua sejoli yang sedang dimabuk asmara. Hingga keduanya mencapai klimaks. Alvian melumat bibir Dinda dengan lembut. Lalu mencium kening wanita itu, ia memejamkan mata seraya menempelkan kening mereka. Napas masih keduanya masih memburu,
"Aku mencintaimu."
"Aku lebih mencintaimu." Balas Dinda dengan tersenyum.
"Jangan pernah dekat dengan pria lain."
"Mas juga jangan dekat dengan wanita lain."
"Tidak akan pernah. Aku milikmu, dan kamu milikku!" Alvian menyatukan kembali bibir mereka dan kembali pada percintaan panas yang selalu menjadi candu bagi keduanya.
Suara lenguhan dan desah kenikmatan memenuhi kamar kontrakan Alvian. Setelah bercinta di dapur, Alvian membawa Dinda ke kamar dengan menggendong wanita itu tanpa melepaskan penyatuan mereka. Tubuh Dinda yang mungil memudahkan pria itu membawa kekasihnya. Tinggi Dinda hanya sebatas bahu Alvian yang memang mempunyai postur tubuh yang tinggi.Kini mereka bercinta di atas ranjang yang empuk. "Kamu sangat luar biasa sayang." Alvian masih terus menyatukan miliknya dan milik Dinda. Hingga keduanya mencapai klimaks dan cairan kenikmatan itu tumpah dalam rahim Dinda. "Aku mencintaimu." Alvian mencium kepala Dinda dengan sayang seraya tersenyum. Hal itu tak pernah ia lupakan setelah mereka selesai bercinta. "Aku lebih mencintaimu." Balas Dinda dengan tersenyum. Alvian menyatukan kening mereka seraya mengatur nafas yang terengah tanpa melepaskan miliknya yang masih berada dalam milik Dinda. Cairan itu terasa
Dinda memarkirkan motornya tepat di sebelah mobil Avanza berwarna putih yang terparkir di halaman rumah. Dinda sudah kenal betul siapa pemilik mobil itu, sehingga ia melangkah malas menuju rumah menyusul Nadira yang sudah berlarian terlebih dulu. Tadi Alvian mengantarkan Dinda kerumah kakaknya untuk menjemput Nadira yang berada disana. Sebelumnya, Nadira tak ingin ikut ke cafe karena ia ingin bermain dengan sepupunya. Sehingga Dinda terpaksa meninggalkan Nadira di rumah kakaknya begitu pula dengan motor maticnya. "Ada apalagi bajingan itu kerumah."gumam Dinda kesal. "Ayah." suara Nadira terdengar sampai keluar rumah, mengganggu indera pendengaran Dinda. "Assalamualaikum," Dinda mengucap salam, yang ada di dalam menjawab salam dengan serempak. Terlihat Nadira yang sudah berada dalam pangkuan mantan suaminya dengan wajah senang. Dinda meraih tangan Bapaknya lalu mencium punggung tangan pria yang sudah beruba
"Ada satu yang tidak kamu miliki dan Al memiliki itu." "Apa? Apa karena dia lebih muda? Dia bisa memuaskan mu diatas ranjang? Begitukah? Tenang saja Dinda sayang, aku akan memuaskan mu!" Bayu tersenyum penuh damba, ia berjalan mendekat. Dinda berdecih. Yang ada di otak pria ini hanya selangkangan saja. "Kamu tidak memiliki hati yang tulus seperti Al. Dan kamu tenang saja, Nadira lebih bahagia bersama Al daripada bersama Ayah kandungnya!" Bayu menatap Dinda dengan geram, tangannya terkepal menahan amarah yang sebentar lagi akan meledak. Ia memejamkan mata, menarik nafas perlahan lalu menghembuskanya. "Kenapa kamu selalu menguji kesabaranku?" Bayu membuka matanya, menatap Dinda dengan emosi yang membara. Ingin sekali rasanya pria itu meledak. Sifatnya yang emosian itulah membuat Dinda tidak betah hidup bersa
Ketika hatimu mencintai orang yang tepat, ia akan menumpahkan segala cinta yang ia punya. Tak perduli bagaimana keadaannya, yang ia tau hanya mencintainya. Bahkan tak perduli sebucin apapun dirinya.Alunan musik mengalun memenuhi ruangan bernuansa cream dengan banyak kotak yang berserakan di lantai. Terdengar suara dua wanita yang bersenandung mengikuti lirik musik yang mengalun.Terkadang terdengar tawa dari keduanya karena salah satu dari mereka salah lirik."Eh bibir kamu kenapa sih Din? Kok bengkak gitu?" Tanya Amira yang merupakan sahabat sekaligus karyawan Dinda."Oh, ini. Di cium tembok." Bohong Dinda."Kok aku nggak percaya ya." Amira menatap sahabatnya dengan tatapan curiga. Ia sampai menghentikan kegiatannya dalam membungkus kardus yang yang berisi pesanan online para pelanggan."Apa sih. Nggak percaya ya udah,
Cinta mengajarkan kita tuk saling menerima kekurangan, saling melengkapi dan saling menghargai. Saling berbagi dan saling mengerti. Bukan selalu menyalahkan, tapi saling menguatkan. Dinda mengambil ponsel yang berada di genggaman Alvian, pria itu tertidur ketika sedang menunggu kekasihnya. Ia melihat deretan foto mesra mereka berdua, Dinda tersenyum lalu meletakkan ponsel itu ke atas nakas. Wanita itu duduk di sebelah Alvian, lalu mengusap kepala kekasihnya dengan lembut. Jemarinya turun ke kening, lalu ke alis. Alis mata yang hitam tebal, hidung mancung dengan bibir yang tipis. Ia mengusap pelan bibir Alvian, lalu turun ke rambut halus yang tumbuh dibawah bibir pria itu. Entahlah, ia sangat suka melihat bulu halus yang tumbuh di bibir Alvian. Ia tak rela jika Alvian memotongnya.Dinda membungkuk hendak mengecup bibir kekasihnya, tapi ia sangat terkejut ketika melihat mata Alvian yang te
Jangan membencinya!Karena itu hanya akan membuat hatimu semakin terikat dengannya. Maafkan, ikhlaskan dan lupakan!"Jadi begini, Kak Bayu datang kerumah tadi malam." Dinda menceritakan semuanya tanpa ada yang di tutupi. Ia tak menyadari jika Alvian sedang menahan emosi luar biasa. Kedua tangannya terkepal, ingin sekali rasanya ia menghadiahi mantan suami kekasihnya itu dengan bogem mentah. Pria itu sangatlah menjijikkan di mata Alvian.Menyadari raut wajah Alvian yang berubah, Dinda menghentikan ceritanya. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali,lalu memegang lengan Alvian dengan lembut."Mas," panggil Dinda pelan.*Kenapa berhenti? Lanjutkan!" ujar Alvian dingin."Mas, kamu baik-baik saja?"Alvian mengangguk. "Teruskan!" ujarnya.Dinda menelan Saliva dengan susah payah, ia merasa akan ada perang sebentar lagi. Set
Jangan sesali hari kemarin!Jadikan semuanya pembelajaran. Cukup perbaiki diri, agar lebih baik dari kemarin!Dinda pulang dengan mengendarai motor maticnya, wanita itu memarkirkan motornya terlebih dahulu sebelum memasuki rumah yang terlihat sangat sepi. Ia memutar gagang pintu yang ternyata tidak terkunci. Ia membukanya perlahan, sembari mengucapkan salam."Assalamualaikum, Pak. Nadira.. Ibu pulang sayang."Berkali-kali ia mengucapkan salam, tapi tidak ada yang menjawab. Perasaannya menjadi tak enak, dimana Bapak dan Nadira?Memikirkan hal yang tidak-tidak membuat wanita itu berjalan lebih cepat memasuki rumah sederhana itu."Nadira, Ibu pulang." teriak Dinda, tapi tak ada sahutan. Ia memasuki kamar, tapi tak terlihat Nadira disana. Ia segera melepaskan sepatu yang ia kenakan dan melempar tas nya ke sembarang arah. Pikiran buruk memenuhi kepalanya, membuat ia sedikit berlari
Malam ini akhirnya Bayu ikut makan malam bersama dirumah Dinda. Pak Ahmad merasa bahagia melihat pemandangan di depan matanya. Sikap Bayu yang begitu lembut, sesekali menyuapi anak mereka. Ia tahu, kesalahan yang di lakukan oleh Bayu di masa lalu sangat fatal. Tapi apa salahnya memberikan kesempatan pada orang yang mau berubah menjadi lebih baik. Begitu pikirnya. Lagipula yang ia lihat semakin hari Bayu semakin baik, tak pernah kasar. "Masakanmu tak pernah berubah Din. Selalu enak dan selalu pas di lidahku." Bayu tak segan memuji masakan mantan istrinya. Sedangkan wanita yang di puji hanya tersenyum menanggapi. Sebenarnya Dinda sangat tidak nyaman dengan adanya Bayu sejak sore tadi. Tetapi karena permintaan Ayahnya, ia terpaksa harus bergabung serta harus memasak makan malam yang tak pernah ia harapkan sama sekali sebelumnya. Hati Dinda saat ini sedang kacau, hari ini Alvian tak ada kabar. Dinda sudah berkali-kali menghubungi pria