Share

Pelarian

Aku masih tidak habis pikir akan kejadian yang kualami minggu lalu. Hanya karena tertidur di sore hari ketika tengah merevisi laporan pekerjaan, aku mendadak merasakan perjalanan menembus alam lain. Yang satu bertemu dengan Pakdhe ku yang telah tiada, satunya lagi serasa nyasar ke rumah sakit di masa lalu. 

Dan kini menyebabkan aku tak lagi berani tidur sore, persis seperti dulu tembang yang pernah kunyanyikan semasa Pakdhe masih hidup. Pupuh Asmaradhana, demikian jenis tembangnya. Atau mungkin Kinanti, mungkin yang lain... Aku lupa setiap nama tembangnya tetapi tidak dengan sosok Pakdhe yang memperkenalkannya padaku.

Tapi memang tidak baik jika tertidur sore sebab bisa membawa pengaruh buruk seperti yang kualami ketika itu. Membayangkan kembali tersesat di alam tak kasat mata dan juga di masa lalu sudah terasa sangat menyiksa buatku. 

Tentu tidak berlaku jika aku bisa mengubah masa lalu, batinku. Terutama semua yang terkait tentang Rangga.

Ah...Rangga! Namanya masih tetap membuatku tersedak meski sudah dua belas tahun sejak kami pertama bertemu, saling mengucap kata cinta, tersakiti dan akhirnya mencoba untuk memaafkan tetapi tidak bisa melupakan....

Aku membuka mataku lebar-lebar. Saat ini kurasakan jiwa ragaku lengkap semua berada di kamar yang kutinggali seorang diri di rumahku ini. Kamar kosku yang terasa makin besar meski hanya berukuran 3x4 meter karena tak banyak interior yang berada di dalamnya. Hanya sebuah lemari plastik bermotif modern, meja kerjaku yang berdesain lama, dan hartaku yang paling berharga saat ini: kumpulan buku, laptop dan ponsel. 

Sudah lima tahun lamanya aku tinggal di rumah kos ini sejak kepergianku dari kota asalku. Dan di perantauan ini aku menemukan suasana yang sama sekali berbeda dari tempatku berada mulanya. 

Melintasi jalur pegunungan terindah di Pulau Jawa, menelusuri jalan raya yang diapit oleh pepohonan rimbun sebelum menyebrangi Selat Bali dan tiga jam menuju tempatku saat ini mencari penghidupan sekaligus menyepi-boleh juga disebut menghindar dari penatnya hidup.

Ya, aku kini memang berada di Pulau Dewata. Pulau yang bagi sebagian besar orang identik dengan wisata dan tempat singgah bagi mereka yang ingin sejenak melarikan diri dari hiruk pikuknya perkotaan. Dan juga bagi yang lainnya: tempat untuk mencari penghidupan bagi para pejuang keluarga, baik dari warganegara sepertiku sampai yang berkulit putih rambut emas mata biru dari mancanegara. 

Dengan kondisiku yang ala kadarnya, aku tentu bukan termasuk yang datang ke pulau ini sebagai wisatawan. Tentu saja profil dompetku yang lebih sering masuk kategori dhuafa daripada kategori sejahtera memaksaku harus bisa mencari penghidupan yang dapat kuandalkan demi menyambung hidup. 

Dan disinilah aku kini berada: ratusan kilometer dari rumah termenung dalam kos-kosan kecil yang hanya cukup berisi perabotan sederhana dan bertetangga kiri kanan dengan penghuni yang tak kasat matahari. 

Mengapa tak kasat matahari? Karena aku hampir tak pernah berjumpa dengan mereka di pagi hari dan hanya mendengar suara mereka di malam hari. 

Seperti saat ini ketika aku tengah menyendiri di kamar dan beristirahat sepulang bekerja, barulah aku bisa mendengar sayup-sayup suara mereka yang tengah bersiap pergi menuju tempat kerja. Dimana? Entahlah, tak berani sedikitpun aku berasumsi. Pasal di tempat seperti ini, tidaklah penting mengetahui apa, siapa, serta segala detail yang lebih dari sekedar sapaan basa-basi jika kebetulan bertegur sapa. 

Seperti hari ini yang merupakan hari liburku. Minggu. Biasanya di kampungku , kebanyakan manusia sudah berkegiatan sejak subuh kala. Sekitar jam empat keatas, ketika alunan suara adzan subuh mulai memanggil dari langgar terdekat.

Namun di perantauan yang memiliki adat dan budaya serba berbeda ini, jam delapan saja terkadang masih belum kutemukan tanda-tanda kehidupan. Meski sebenarnya di sini, pukul enam saja sudah terdengar sayup Pujabhakti yang menandakan waktunya sembahyang  pagi, terutama bagi para pemuja matahari sepertiku.

Dan pukul delapan di hari Minggu seperti ini adalah apa yang  kusebut dengan ‘National Lazy Day’ alias Hari Malas Nasional yang kurayakan cukup dengan rebahan alias tinggal di kamar saja. Apalagi yang lebih  membahagiakan daripada memanjakan diri sendiri setelah begitu lelahnya bekerja selama sepekan? Meski hanya jadi seorang staff  di villa. 

Hari ini aku berencana untuk luluran saja dan body yoga di kamar kost ku. What? Yoga in the kosan? Yes. Tidak ada seorangpun yang tahu kalau sudah lama aku memang menekuni Yoga untuk terapi dan self healing. Daripada memaksakan diri ikut keanggotaan gym yang tidak cocok bagi budget rakyat jelata sepertiku. 

Berhubung waktu sudah menunjukkan jam delapan, sepertinya sudah terlalu siang untuk melakukan Yoga sesuai jadwal yang biasanya kuturuti. 

Tetapi karena badanku sedang tidak sepenuhnya baik-baik saja, aku memutuskan untuk tetap beryoga meski dalam latihan yang lebih ringan. 

Baru saja aku melakukan pemanasan untuk merenggangkan tubuhku, ponselku berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Messenger. Dari akun yang tidak kukenali namanya, namun telah berteman denganku sehingga bisa langsung masuk ke percakapan utama.

“Hi”.

Hanya dua huruf itulah yang masuk dalam kotak masuk pesanku. Aku mengernyitkan dahi. Hampir saja langsung kuhapus pesan jika saja aku tidak memperhatikan foto profil sang pengirim.

Sepertinya, akun bernama Matedjo Rijswijk- campuran bahasa Jawa dan Belanda tersebut - berkawan dengan salah satu teman F******k lainnya, yang sialnya tidak kukenal juga.

Nampaknya ia seorang Indonesia juga sepertiku. Tapi mengapa pesannya tampak familiar? 

Keingintahuanku yang memuncak membuatku memilih untuk membalas pesannya juga meski dengan dua huruf yang sama. Plus ditambah tiga kata dalam bahasa Inggris untuk meyakinkan, apakah benar ia seorang Indonesia juga atau bukan.

“Who are you?”

Yang di seberang sana tidak lantas menjawab pesanku seperti harapan. Kulanjutkan latihanku sambil berusaha memfokuskan pikiran untuk bermeditasi sedikit demi sedikit, dan ketika hendak ku matikan ponselku ternyata kembali ada pesan masuk.

Dari Matedjo Rijswijk lagi. 

“Aku tak bisa berbahasa Inggris, bagaimana kabarmu sekarang?” balas sang pengirim dalam bahasa Jawa yang ku artikan.

Lah! Aku langsung terkaget-kaget. Ditanya dalam bahasa Inggris ternyata yang dijawab dalam bahasa Jawa, dan mutual friend ku dengannya ada beberapa orang.

Matedjo ini pastinya bukan orang yang baru mengenalku, batinku. Tetapi jika memang dia telah lama mengenalku, mengapa nama profilnya segala pakai bahasa asing dan segala pertanyaan basa-basi ala penipu berbasis SMS pula.

“Siapa kamu?”

“Apa kamu tidak bisa melihat fotoku?”

“Foto yang mana?”

Dan begitu aku berusaha menelusurii foto profilnya, aku langsung terpana. Terkejut dalam diam seribu bahasa.

Sosok lelaki umur tiga puluhan sebaya ku, berkulit cokelat dan perawakan tinggi kurus, dengan senyum sejuta Dollar –nya, dan berpenampilan ala oppa Korea dengan kearifan lokal : rambutnya tetap hitam seperti kulitnya yang kini semakin menggelap. Dan tetap terlihat seksi di mataku dengan semua bintik cokelat dan kerutan di wajahnya karena perjalanan waktu.

Matedjo ini,..

Sepertinya dia adalah sosok yang  begitu familiar denganku. Rangga yang telah satu dasawarsa lamanya kurindukan dalam setiap  airmata.

Rangga-ku! 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status