Share

Matedjo Rijswijk

Aku berusaha meyakinkan diri akan kebenaran yang kuhadapi. Benarkah ini Rangga dalam rupa yang berbeda setelah sekian tahun kami tidak bertemu?

Ataukah hanya khayalanku lagi seperti yang lalu?

Tetapi khayalan macam apa yang terlihat begitu nyata dalam dunia virtual seperti ini. Foto-fotonya yang ada dalam album profilnya terlihat sangat persis sekali dengan yang  kuingat pada profilnya saat itu. 

Tetapi bagaimanapun aku harus berusaha tenang di percakapan ini. Karena jika tidak, instingku berkata ia akan kembali lagi menghilang. Persis seperti yang terjadi beberapa tahun yang lalu.

Lagipula, seiring berjalannya waktu kini aku tidak lagi merindukan Rangga dalam mimpiku. Yang kuingin sebenarnya selalu sama sejak dulu: sebuah jawaban.

Ya, sebuah jawaban akan kepergiannya yang tanpa alasan. Tanpa sepatah kata pun untuk mengucap selamat tinggal dan merelakanku untuk melupakannya, selamanya.

Tetapi sayangnya, hingga dua belas tahun sejak pertama bertemu pandang dengannya pada suatu senja di batas kota itu, ia tidak pernah benar-benar meninggalkanku.

“Kamu sibuk?”

Notifikasi percakapanku kembali berbunyi. Dari Rangga,..ah, Matedjo! Aku tidak ingin langsung bergegas meyakini dia adalah Rangga Harsadi, sosok yang selama belasan tahun telah membuatku tersiksa ini.

“Tidak juga. Ada apa?”

“Hanya ingin memastikan kamu masih disana,”

“Maksudmu?” 

Aku tidak mengerti apa yang dimaksudnya dengan disana. Mungkinkah ia sebenarnya mengetahui kalau aku sudah pindah ke Bali dari pertemuan terakhir kami kala itu, atau yang dimaksudnya adalah tempat kami berasal.

“Masih di Bali, kan?”

Aku menahan napas. Terkejut karena kukira ia sudah pasti akan lupa dengan apa yang kusampaikan tiga tahun lalu, kepada saudaranya kala itu.

“Aku mau pindah saja ke Bali. Disini tidak ada lagi yang tersisa untukku,” tukasku pada Ridho, sahabat sekaligus sepupu Rangga yang kutemui kala itu ketika berada di rumah temanku.

“Apanya yang tidak tersisa? Itu masih ada,..” Ridho ingin menunjuk kepada Rangga yang kebetulan berjarak tidak seberapa jauh dari mereka.

“Ssst…” Aku menempelkan telunjuk di bibirku, dan menatap Ridho dengan tajam.

Ridho tertawa terkikik-kikik sambil berbisik kepada kawannya yang lain yang tengah juga berada dekat Rangga saat mereka tengah bekerja bersama.

“Sudah kubilang, diam. Nanti kalau dia dengar bagaimana,…” Aku mencoba mengingatkan kedua orang itu ketika ternyata terdengar suara yang sangat kurindukan itu.

“Aku dengar dari sinii…!” ternyata tanpa diduga Rangga kebetulan mau bersuara dari atas lokasi proyek rumah yang tengah mereka kerjakan.

“Ehemm…ehemmm!! Suitt suittt…!”

Mulailah siulan serta tawa renyah dari para pekerja lainnya yang sebelumnya telah mengerti apa yang terjadi diantara kami. 

Sejak itu aku pun berusaha menghindar jika bertemu dengannya di depan banyak orang, karena satu alasan yang penting: Rangga telah menikah. Lagi. Untuk yang kedua kalinya. 

Dan sudah barang tentu sebagai seorang perempuan, aku tidak ingin kisah yang tak terselesaikan diantara kami ini berimbas kepada orang  lain.

Meski akupun menyadari bahwa yang kulakukan demi sebuah jawaban terasa sangatlah tidak penting saat ini, namun setidaknya aku hanya butuh sebuah jawaban. 

Jawaban dari penantian yang sangat panjang atas kehilangan yang kurasakan tanpa ada ujung, lebih dari satu dekade lalu.

Kehilangan akibat perginya Rangga tanpa kata perpisahan dan kembali hanya demi sekedar perjumpaan sesaat dalam mimpi.

“Lha, kok tidak dijawab?”

Yang di sana kembali mengejar jawaban.

Kuputuskan untuk menjawabnya daripada ia terlalu lama menunggu.

“Ya, jika aku masih di Bali. Ada apa memangnya?”

“Oh, dimana berarti kamu tepatnya? Aku di Jimbaran...”

Jimbaran! Sedangkan kini aku berada di sekitaran Puri Gading. Masih juga satu kawasan. 

Aku menggelengkan kepala. This is too good to be true, darling…gumamku dalam hati. 

Terlalu mudah dan nyata untuk menemukanmu, Rangga. Apakah ini benar dirimu atau bukan?

Ataukah mungkin ini bukan dirimu bahkan ternyata hanya istrimu yang menyamar demi hendak melabrakku?

Namun aku mencoba tetap berusaha berpikir positif alias, meyakini memang Matedjo ini adalah…

Tiba-tiba pintu kostku diketuk. Ternyata ibu kost memberi kabar kalau ada petugas delivery makanan yang menanyakan keberadaanku.

Aku bergegas keluar kamar dengan outfit seadanya dan–aku-tidak-peduli-kata-mereka. Hanya mengenakan training ala set kostum yoga dan belum mandi pula, aku memberanikan diri mengambil paket sarapan yang sebelumnya sudah kupesan sampai lupa tadi sebelum training. 

Seporsi roti toast cheese dan segelas kopi cappuccino hangat dari warung langgananku dekat kost.

Inilah salah satu alasan yang membuatku betah bertahun-tahun tinggal di Bali. 

Hidupku yang mandiri karena jauh dari kampung halaman dan tak pernah benar-benar memiliki keluarga yang kurindukan telah membuatku terbiasa hidup dalam kesendirian yang membebaskan.

Berbeda dengan kebanyakan perempuan lain yang tak berani hidup sendiri meski hanya sekedar kost, aku telah terbiasa melewati hari demi hari dalam kesendirian yang membahagiakan.

Bukan aku pura-pura bahagia dalam keseharianku ini, tapi memang karena aku tidak perlu berpura-pura. Pasalnya karena tidak ada yang memaksaku untuk harus bahagia. Aku sudah bahagia dengan apa yang kumiliki saat ini dalam kesendirianku di Pulau Dewata - hal yang bagi sebagian besar orang merupakan suatu kemustahilan. 

Mustahil? Ya, barangkali karena mereka selalu mengidentikkan tinggal atau berlibur di Bali dengan keromantisan. Tempat dimana para pasangan bisa menghabiskan waktu mereka berdua di tengah surga tropis yang diimpikan petualang mancanegara- setidaknya itulah yang kudengar dari banyak orang, mengapa begitu betah hidup di pulau yang tak seberapa luas tapi selalu terasa lapang ini.

Aku hendak melanjutkan percakapanku dengan Matedjo sambil menikmati sarapan French Toast yang baru saja tiba.

Tetapi sayang, nampaknya Tedjo-kupanggil demikian saja namanya sebelum berjumpa dengan penampakan aslinya yang masih kuragukan-sudah offline dari Messenger. Kabar baiknya adalah, ia meninggalkan nomor telepon di percakapan terakhirnya sebelum offline.

Sepertinya semua ini tampak terlalu mudah, gumamku dalam hati.

Dalam hati aku semakin bertanya, benarkah si Matedjo ini adalah Rangga dalam penyamaran ataukah memang seseorang yang mengaku sebagai Rangga dalam nama orang lain.

Karena seingatku ketika bersama dirinya kala itu, Rangga yang kukenal bukanlah Rangga yang mudah ditebak seperti ini. Sikapnya yang sungguh dingin dan kadang angkuh justru membuatku tertantang untuk mendapatkan hatinya dari hari ke hari.

Bagaimanapun, kusimpan nomor yang diberikannya dalam HP-ku. Entah bisa untuk menghubunginya atau tidak, aku belum berpikir panjang. Karena yang kupikirkan saat ini hanyalah memastikan apakah akun ini benar milik Rangga, sesuai perkiraanku.

Rangga yang seharusnya sudah selesai lebih dari satu dasawarsa lalu. Bahkan dua tahun terlewat sudah tambahannya. Alias dua belas tahun penantian tak berujung ini hanya demi seucap kata: maaf. 

Hanya itulah permintaanku, bahkan dalam mimpiku hingga serasa mau mati suri saja seperti minggu kemarin. 

Aku melanjutkan latihan yoga-ku dan melanjutkan menonton layanan drama streaming di kamar kostku yang serasa surga kecil bagiku yang penganut aliran hidup modern minimalist ini. 

Tidak ada AC, tidak ada TV. Hanya dua lemari pakaian plastik, satu koper yang kujadikan meja laptopku dan tentu saja koleksi buku yang setia menemani di kala bosan menerpa. 

Geeks in the tropical heaven, begitulah aku digelari rekan rekanku yang dari luar negeri kalau mereka mampir ke kost ku. 

Geeks? Kutu buku? 

Kombinasi yang tak masuk akal bukan, jika dibandingkan betapa relanya aku jadi bucin seorang Rangga yang sungguh sebenarnya tak tampan, tak rupawan apalagi berlimang harta. Lantas apa yang dimilikinya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status