Share

Turangga Wisesa

Demikianlah aku mengingat nama lengkapnya ketika tanpa sengaja KTP-nya terjatuh saat kami tengah makan berdua: Turangga Wisesa. 

Sebuah nama yang singkat tapi bermakna mendalam meski yang kutahu dalam bahasa Jawa, Turangga berarti adalah kuda. Dan biasanya digunakan dalam grup kesenian Jaranan sebagai nama perkumpulan mereka setiap pentas. 

Aku tidak tahu latar belakang dibalik penamaannya itu, yang jelas semenjak mengenal Rangga, kisah cintaku sangat berbeda dari yang sebelumnya. 

Pemuda yang jauh dari kesan tampan apalagi eksotis seperti yang kini tengah trending, juga tak memiliki keturunan berlimang harta kekayaan. 

Bayangkan, selama kami bersama, jangankan untuk sering bertemu, bahkan untuk membalas pesanku saja ia sangat jarang. Dan seringnya hanya berupa pesan pendek. Kami pun jarang berbicara di telepon...sekalinya bercerita paling banyak hanya sepuluh menit saja. 

Tidak banyak momen yang dapat kuingat bersamanya selain momen pertemuan kami yang singkat, padat dan...bayangkanlah hanya dinding kamarnya yang menjadi saksi.

Saksi dari semua tangis, tawa dan keringat bersama. 

Ah. Mengapa jadi terulang kembali semua momen indah bersamanya yang kini kembali berputar dalam kepalaku.

Semua momen bahagia yang terangkum dalam belasan tahun hubungan yang tak berujung ini.  Bahkan terasa masih baru kemarin saja ketika pertama kali kami jalan bersama di pasar malam dekat rumahku. Dan rasanya masih hangat pelukan serta ciuman pertamanya yang mendarat di pipiku. 

Karena itu meski kini kudengar kabar bahwa ia telah menikah lagi, kedua kalinya. Kabar yang membuatku spontan menyumpahi diri sendiri: kenapa bukan aku saja yang menjadi istrinya, lagi?

Aku mengambil buku harianku yang ada di lemari kecilku di pojokan kamar ini. Kubuka lembar per lembar buku yang telah lama menemaniku sejak awal kepindahanku ke kampung halaman sebelum ke Bali ini.

Tiba-tiba sehelai daun kering jatuh dari halaman buku catatan yang mulai menguning. Daun sirih kering, tepatnya. 

Mendadak aku teringat ketika kala itu aku mendapat syarat dari Pakdhe agar bisa meruntuhkan hati Rangga yang mulai menghilang. 

"Kamu tahu sirih kan? Cari dua lembar daun tua yang tulang daunnya bertemu di tengah. Pertemukan keduanya hingga bertemu muka," Pakdhe mengawali wejangannya.

"Lantas?"

"Cari lagi sebatang lidi yang sudah tua dari sapu yang besar. Di bagian pangkalnya. Patahkan satu dan sisakan sedikit untuk menggoreskan namamu dan namanya di masing-masing daun tersebut," 

"Hanya buat menggores nama? Lantas boleh saya buang?"

"Jangan dibuang dulu. Patahkan lagi buat disematkan di tengah daunnya. Biar nanti dia akan selalu mengingatmu sampai kapanpun," jelas Pakdhe sambil tertawa kecil.

"Kapanpun?" aku serasa salah mendengar perkataan Pakdhe kala itu.

"Iya.. Kapanpun,..."

Sampai kapanpun....

Aku tersentak dari ingatanku tentang daun sirih kering yang kini kugenggam. 

Bukankah terakhir kali aku mencari daun sirih demi Rangga, sudah bertahun-tahun yang lalu? Lantas mengapa daun kering ini masih tetap ada di buku harianku setelah sekian lama. Dan tidak mungkin masih seperti ini tampaknya.

Aku menggenggam daun kering itu perlahan sambil menghela napas. Baru kali ini aku merindukan mereka semua hanya karena selembar daun kering yang jatuh. Mereka-iya,.. Semua yang telah berpulang ketika aku tengah dalam perantauan. Pakdhe-ku dan (mungkinkah) Rangga-ku?

Aku menaruh kembali daun kering itu dalam lipatan sampul buku harianku, dan mulai membuka halaman demi halaman dari kertasnya yang sebagian telah lusuh dan menguning karena usia.

Buku ini memang telah menemaniku sejak perdana kepindahanku ke kampung halaman, ketika baru mengenal Rangga untuk pertama kalinya. 

Dialah sosok pemuda yang kutemui dalam sebuah pasar malam. Dengan raut muka yang datar dan tatapan tajam tengah berdiri di pojokan panggung pentas sambil menyembunyikan tangannya dalam jaket bomber-nya dan topi trucker yang dibalik, sebatang rokok menyelip di bibirnya yang tipis dan kehitaman.

"Mengapa kamu sendirian?" terngiang jelas suaranya yang lirih dan memecah kesunyian, dalam keramaian pasar malam yang riuh rendah ketika aku tanpa sengaja singgah di tempatnya.

"Mengapa balik bertanya? Apa kamu sendiri tidak sendirian saat ini?"

"Aku? Sendiri?" Ia tertawa kecil. Aku kaget karena sosoknya seperti pernah kukenal sebelumnya meski aku baru pertama kali ini bertemu. Seperti deja vu ketika aku menatap matanya.

"Perempuan yang berani pergi sendirian ke pasar malam seperti ini pastilah bukan perempuan sekedar singgah, benarkah?"

Dua belas tahun berlalu dan aku masih tak mampu melupakan kejadian itu.

Kejadian dimana Rangga melindungiku dari keributan antar penonton konser yang ricuh di tengah pasar malam. Ia yang bahkan belum sempat memperkenalkan diri padaku, langsung menarik tanganku dan berlari melindungiku dari lemparan batu para penonton yang sebagian besar tengah mabuk berat. 

Aku yang datang ke pasar malam hanya untuk mencari hiburan dalsm kesendirianku pasca patah hati. merasa menemukan secercah sinar pengharapan dalam pelukan Rangga.

Dan pengharapan itulah yang kini menjadi petaka bagiku. Karena bagaimanapun rasanya, rindu yang terpaut belasan tahun ini sudah tidak wajar-dalam kacamata orang kebanyakan. 

Diawali tanpa kata, diakhiri tanpa sebuah akhir kisah nyata. Bahkan sebenarnya, belum berakhir! 

Belum akan berakhir jika tanpa satupun kata berpisah, atau setidaknya: sebuah permintaan maaf. 

Aku hanya ingin bertemu mata lagi dengannya, bercerita tentang hidup yang kulalui selama tanpa ada dirinya, sambil menikmati kopi bersama di bawah gerimis hujan dan merayakan kegagalan cinta kami dalam canda tawa.

Itu saja. Tak ada lagi yang kuinginkan melebihi hasratku untuk sekedar mengungkapkan cintaku dalam wujud tertinggi: melihatnya bahagia melanjutkan hidup meski tak bisa kumiliki. 

Kebahagiaan yang kuakui memang sangat pahit untuk dijalani, tapi aku tak punya pilihan lain lagi selain harus mengakhiri semuanya dengan sebuah kisah manis-setidaknya itulah harapanku hingga kuketahui ia telah berpisah dengan istrinya yang kedua.

Demikianlah terakhir dari kabar yang kuterima dari keluarganya. Meski sejujurnya aku tidak tahu apakah sikapku terlihat meyakinkan dalam mengungkapkan keprihatinanku, tetapi setidaknya aku tidak boleh terlihat bahagia ketika seseorang sedang kesusahan.

“Rangga pulang ke sini tanpa membawa istrinya lagi. Dan ternyata semuanya sudah selesai sejak lama,”  jelas Kandar, saudaranya yang membalas pesan singkatku.

“Maksudnya sejak lama?”

“Ya sudah dari lama. Mereka ketemu ‘kan sewaktu masih di Taiwan dan mungkin hanya seperti itulah,.. kamu tau sendiri, Ran?”

Aku tertawa kecil membaca kalimat terakhir dari Kandar, yang menyebut soal Taiwan dan ‘kamu tau sendiri’. Tawaku yang sebenarnya mengandung tangis, karena seharusnya aku yang di sana, menyusulnya dan bisa bersamanya meski hanya sekali dalam sebulan. Sesuai dengan permintaannya sendiri yang ingin menemuiku disana kala itu. 

Namun sayangnya jalan nasibku tidak seberuntung Rangga dan mereka yang bisa ke sana dari jalur pencari rezeki formal.

Aplikasi pendaftaranku menjadi Buruh Migran ditolak lewat salah satu agency yang ada di dekat rumahku di kampung. Alasan awalnya, dokumenku tidak lengkap. Dan ternyata masih ada penyebab lain yang membuatku semakin berkecil hati: menurut mereka, riwayat kesehatanku termasuk kategori unfit untuk ukuran ingin bekerja di luar negeri. Padahal aku sama sekali tidak merasa memiliki  penyakit apapun yang membuatku harus membatalkan impian meraup rejeki dan bertemu Rangga di sana. 

Sehingga patutlah perkataan Kandar tentang ‘kamu tau sendiri’ tentang keadaan di Taiwan sebenarnya sedikit banyak mengingatkanku akan kegagalan yang sungguh menyedihkan itu: mengapa hanya sekedar ingin bertemu Rangga saja disana sampai sedemikian beratnya, dan itu pun gagal! 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status