Share

Kenangan Dari Taiwan

Aku menutup halaman buku harianku itu dengan perlahan, menyelipkan daun keringnya sebagai pembatas antar halaman dari lembaran yang telah mulai usang.

Tanpa terasa karena terlalu terbawa kenangan dalam setiap lembar buku harian itu, waktu ternyata telah menunjukkan tengah hari. 

Reminder di ponselku mengingatkan, pukul empat aku harus sudah sampai di kafe milik bosku. Meeting akhir bulan sepert biasa. 

Dan ternyata aku belum mandi, hingga saat ini! Karena waktu yang cukup dekat, kuputuskan untuk mandi sekitaran pukul tiga sore saja. Masih ada waktu sedikit untuk kembali rebahan sambil menikmati brunch favoritku yang akan kupesan dari delivery online.

Baru saja mau membuka aplikasi delivery online favoritku, ada panggilan masuk. Dari managerku, mami Freya - perempuan Belanda asli yang telah lama tinggal di Indonesia hingga bahasa Indonesia nya sudah hampir sempurna dibanding aku yang terlahir dalam bahasa campursari Jawa-Sunda ini. 

"Ran, nanti sore jadwal meeting kita bergeser sedikit, ya?" 

"Ya, Mam. Tetap di kantor kita?" 

"Neei, nanti saya kabari in last minute, OK? Kita mau ada sedikit revisi akhir buat deadline minggu depan."

"OK, Mam, siap,"

Aku menutup telepon dengan tergesa. Mataku terasa berat sekali akan kantuk dan sepertinya waktu rebahanku perlu tambahan ekstra. 

Kuambil headsetku dari case nya dan mulai mencari playlist lagu kesayanganku di player. Lumayanlah untuk membawa kenangan lama terutama ketika lagu OST Meteor Garden yang berkumandang.

Aduh! Kenapa lagi pikiranku melayang kembali ke Taiwan meski aku hanya bisa membayangkan betapa asyiknya hidup disana lewat HP saja. 

Ngimpimu ketinggian, Ran... Batinku sebagian mengingatkan. 

Tapi katanya 'kan harus menggantungkan impian setinggi langit? Ayo semangat kejar impianmu, Ran!

Ah, kenapa juga harus mengejar sampai ke Taiwan lagi? Toh Rangga juga sudah kembali ke sini!

Aku mengganti lagu di playlistku secara random, yang keluar malah Sweet Dreams, lagunya Jang Nara, penyanyi K-Pop generai awal idolaku. Karena kebetulan lagu itu setia menemani masa sekolahku yang suram, setidaknya bayangan tentang Rangga terlupakan untuk sementara.

Hasilnya karena saking terbawa suasana easy going, aku kembali terbawa dalam kantuk yang sangat berat...

"Kringg... Kringgg... It's gonna be another day with the sunshine..."

Alamakkk! Alarmku berbunyi. Pukul tiga sore. Mungkin aku lupa mematikan alarm tadi karena pesan dari Mam Freya yang mendadak soal meeting kami yang ditunda. 

Jadi aku hanya sempat tertidur sejenak ketika terakhir lagunya Jang Nara tadi diputar. Tapi mengapa sangat lama aku tertidur hingga terasa berat sekali untuk dapat bangun? 

Aku mengusap kedua mataku sambil masih menguap. Ya ampun. Mengapa harus kembali terbangun ketika bahkan sudah mau sedikit lagi aku hendak landing di bandara Taoyuan,...dalam mimpiku.

Keterlaluan memang si Rangga! Dari dulu hanya bisa menyuruhku ikut proses ke Taiwan jalur TKI tapi jangankan membantu apapun, buat baper saja sampai bertahun-tahun gini, batinku. 

Andai saja Taiwan tidak bersengketa dengan negara tetangganya dan juga akibat pandemi ini, juga letaknya sedekat Malaysia-Singapura dan bebas visa juga, sudah dari sebelum pandemi aku bisa langsung kesana. 

Pasporku yang berlaku sejak tiga tahun lalu otomatis menganggur semenjak pandemi melanda. Sedangkan masa berlakunya yang terbatas membuatku ingin segera menggunakannya lagi untuk traveling selain kedua negara tadi, tetapi sialnya sebelum sempat terwujud keinginanku, si kopet-19 sudah menyerbu seluruh dunia. Jangkrik, umpatku dalam hati. 

"Tok, tok, tok... Permisi mbak Rani?" pintu kamarku diketuk perlahan. Suara mbok Wayan, ibu kost kami yang super duper ramah serta sudah seperti kakak bagiku di sini. 

"Nggeh ada apa ya Mbok?" 

"Ini tadi ada yang nitipkan paket buat mbak Rani," ia menyerahkan sekotak kecil paket yang bersampul cokelat. 

"Dari siapa, Mbok?"

"Tadi cuma dititipkan sama mas ojeknya kesini. Baru saja tadi," mbok Wayan menjelaskan.

Aku mengucapkan terima kasih pada mbok Wayan sebelum kembali ke kamar dan membuka paket itu. 

Isinya? Ternyata hanya sebuah bros kecil berbentuk bunga teratai sedang mekar dan kartu ucapan yang ditulis tangan dalam bahasa Inggris bercampur aksara Mandarin!

Untungnya karena dulu aku pernah belajar baca tulis Mandarin dasar sebelum mendaftar ke agency, setidaknya aku bisa langsung mengartikan tulisan dalam kartu tersebut.

"Kepada Rani yang kusayangi. Terima kasih atas semua cinta dan ketulusanmu. Kutunggu kamu di Tuban, jika Taoyuan kini tak menerima kita lagi," demikian kira-kira terjemahan tulisan dalam kartu tersebut.

Tuban? Dan mengapa harus menyebut Taoyuan juga? Mungkinkah yang dimaksudnya dengan Tuban jika dikaitkan dengan Taoyuan yang adalah nama bandara utama Taiwan berarti...bandara Ngurah Rai yang berlokasinya di area Tuban Kuta? 

"Teriring salam rindu dari aku yang selalu mencintaimu dalam setiap detak jantungku, Turangga." 

Deg! Jantungku serasa mau berhenti berdetak saking kaget dan tak percayanya. Ini pastinya prank kan?!! Ayolah...ini pasti hanya sebuah prank! Kok bisa-bisanya ada seseorang yang mengetahui keberadaanku di sini dan bahkan mengirimkan hadiah untukku atas nama Rangga? Dan bisa-bisanya mengetahui nama asli Rangga yang baru kali ini disebut lagi.

Siapa ini yang sedemikian mengerti tentang hubunganku dan Rangga hingga keberadaanku di tempat ini? Ataukah ia sebenarnya orang lain yang menyamar menjadi Rangga? 

Matedjo?!!! Satu nama terlintas di benakku tanpa berpikir panjang lag, kubuka HP ku dan mencoba menelepon nomor Matedjo yang kusimpan sebelumnya. Lewat W******p, tidak aktif. Lewat telepon biasa, tersambung. Tetapi tidak ada respon. Akhirnya kuketik pesan via W******p dan juga SMS pada nomor yang sama.

“Siapa kamu sebenarnya? Apakah kamu yang mengirimkan bros teratai ini untuk saya? Darimana kamu mengerti tempat tinggalku sekarang? Jawab secepatnya!”

Aku mencoba berpikir positif daripada memikirkan semua kemungkinan terburuk. Bahwa aku ini kan bukan siapa-siapa di perantauan ini, benar memang demikian. Tetapi jika 

Bros kecil berwarna merah muda berbentuk teratai itu dibungkus rapi dalam kotak kecil dengan kartu ucapan tadi, namun yang membuatku lebih heran adalah tulisan aksara Mandarin yang digunakan. Sangat rapi dan cantik sebab berupa tulisan tangan sendiri.

Kuperkirakan yang menulisnya ini bukanlah orang yang  baru sekejap mengenal baca tulis Mandarin. Ia pastinya telah lama tinggal atau mempelajarinya dengan seksama sehingga berani membuat kaligrafi yang indah ini, sekaligus memunculkan satu pertanyaan padaku.

Benarkah jika ini adalah Matedjo alias Rangga sendiri yang mengirimnya padaku?

Karena seingatku Rangga hanya kurang dari dua tahun bekerja di Taiwan sebagai pekerja pabrik baja. Dan umumnya mereka yang bekerja di sektor pabrikan memang tidak dibekali dengan keterampilan bahasa apalagi tulisan yang memadai karena selesai membayar biaya penempatan, mereka akan langsung berangkat menuju Taiwan tanpa banyak belajar bahasa lagi. 

Dan jika benar Matedjo adalah Rangga, lantas siapa yang telah sedemikian kreatif memberi kado seperti ini padaku?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status