BAGIAN 6
“Lepas!” Aku berontak. Berusaha untuk melepaskan diri dari dekapan Mas Faris. Apalagi, suara klakson di depan sana terdengar sangat membisingkan gara-gara lalu lintas sempat macet akibat aksi memalukan suamiku.
“Bikin malu aja!” kataku jengkel.
Mas Faris pun melepaskan pelukannya. Gegas, aku masuk ke mobil. Mukaku sudah merah sekali pasti. Rasa malu yang mendera akibat jadi tontonan orang ramai, membuatku buru-buru masuk ke mobil untuk menyembunyikan diri.
Suamiku ikut masuk. Dia buru-buru menyalakan mesin. Perlahan dia memajukan mobilnya dan menyetir dalam kecepatan sedang.
“Gis, kamu jangan marah lagi, ya?”
Aku hanya diam membisu. Tak peduli. Tas yang semula kujinjing kini kuinjak dengan kaki telanjang.
“Maafin aku. Ibu mungkin sudah sangat keterlaluan,” ucapnya lagi.
Pikiranku tiba-tiba menerawang jauh. Inikah akibat menikah terlalu instan? Perjumpaan singkat setelah bertahun-tahun tak jumpa. Bahkan, saat di bangku SMA pun, kami tak begitu akrab bahkan hanya tahu nama saja karena pernah satu organisasi yaitu sispala. Itu pun aku tak begitu aktif mengikuti kegiatan.
Sekonyong-konyong aku menyesal. Kenapa sih, aku terima lamaran Mas Faris, padahal aku tak begitu tahu seluk beluknya? Hanya karena melihat tampilan pria itu seperti tampang baik-baik, aku jadi terbuai. Apalagi ketika dia menawarkan sebuah hadiah hapalan surat Ar-Rahman di akad nikah kami. Ya Allah, aku yang polos pun jadi terbujuk. Kupikir, suamiku pasti berasal dari kalangan agamis yang taat agama. Orangtuanya pasti baik sekali. Nyatanya?
“Gis, kenapa kamu diam saja?” tanya Mas Faris pelan.
“Andai waktu bisa kuputar kembali,” gumamku seraya bersandar di jendela mobil.
“Jangan begitu. Artinya kamu tidak terima ketentuan Allah.”
Aku tersenyum kecil. Pandai sekali suamiku berkhotbah. Wajar bila aku terbuai selama ini. Maklum jika aku rela melepaskan segala kenikmatan hidup demi menghamba-sahaya di rumahnya yang besar itu.
“Ucapanmu sangat meyakinkan, Mas,” sahutku sambil menatap nanar ke arah jalanan.
“Gis, kita tidak usah bahas itu dulu, ya? Sekarang, kita ke rumah orangtuamu. Aku mohon sekali, jangan cerita yang tidak-tidak. Nanti, rumah tangga kita bisa rusak karena reaksi orangtuamu, Gis. Belum tentu yang kamu ceritakan nanti itu bisa diterima oleh Mama-Papa.”
Aku menelan liur. Pahit rasanya. Dengarlah. Bukankah dia tengah mengintimidasiku? Bukankah Mas Faris tengah berusaha memanipulasiku? Oh, tentu saja aku tak akan menurut. Lihat saja nanti apa yang bakal kulakukan di depan kedua orangtuaku.
“Gis, kamu dengar Mas, kan?”
“Ya, aku dengar,” sahutku pura-pura manis. Kulempar pandangan ke arah Mas Faris. Menatapnya dalam-dalam.
“Ibu sebenarnya sayang sekali sama kita. Mungkin, dia sedang lelah, Gis. Kamu harap maklum saja.”
“Begitu, ya?” tanyaku dengan menahan dongkol.
“Ya. Namanya juga orangtua, Sayang. Aku sebenarnya tidak ingin kita meninggalkan rumah seperti ini. Namun, semua demimu, Gis. Apa pun akan kulakukan, termasuk bertingkah kurang ajar pada ibuku sendiri. Aku takut sekali sebenarnya. Takut durhaka. Akan tetapi … aku juga takut kehilangan kamu.”
Wow! So sweet dan terdengar sangat sopan. Kalau kamu jadi tahanan, pasti vonis hukumanmu akan dihapuskan oleh hakim sebab sudah bertingkah sangat sopan di pengadilan.
“Aku ingin menenangkan pikiranmu dulu khusus untuk malam ini. Selebihnya, kita harus pulang ya, Gis? Bagaimanapun, seorang istri itu kalau sudah bersuami, pada suaminyalah dia harus menurut. Di rumah suaminyalah dia harus tinggal.”
What the … siapa juga yang masih mau menjadi istrimu rupanya, Mas? Kamu terlalu percaya diri. Ketimbang aku harus tinggal di neraka dunia itu, baiknya aku menjanda dan hidup sebebas burung camar di tepi pantai sana!
(Bersambung)
BAGIAN 7 Dua puluh menitan lebih berkendara, akhirnya kami tiba di depan halaman rumah orangtuaku. Dua minggu lalu terakhir kali aku main ke sini. Menjenguk adikku, Gio, yang terkena demam tifoid alias tipes. Rasanya, aku sudah rindu sekali ingin tidur di ranjang kamarku yang lega. Menikmati harumnya kamar masa remajaku yang penuh kenangan. Lekas aku turun dari mobil sambil menjinjing tas. Mas Faris yang secepat kilat menyusul pun, merampas tasku. Demi terlihat baik, dia membawakan tas itu sampai ke depan pintu. “Gis, aku mohon. Bicara yang baik-baik saja. Katakan kalau kamu rindu dan ingin menginap di sini,” ucap Mas Faris dengan mata yang penuh pinta. “Iya,” sahutku.
BAGIAN 8POV AUTHOR “Ma, bawa Gista ke kamar. Kamu, Gio, masuk ikut Mama. Papa mau bicara empat mata dengan laki-laki ini.” Herlambang memberikan perintah pada keluarganya. Tanpa dibantah sepatah kata pun, ketiganya langsung menurut. Hazra—istri dari Herlambang yang berkulit putih bersih dengan wajah persis mirip putri sulungnya, kini merangkul Gista untuk masuk ke kamar. Begitu juga dengan Gio. Cowok 17 tahun yang masih duduk di bangku kelas XI SMA itu pun mengikuti langkah mama dan kakaknya. Kini, tinggal Herlambang bersama sang menantu yang berdiri di ruang tamu. Tangan Herlambang yang cukup kekar dan penuh kekuatan meski usia tak muda lagi itu pun melepaskan cengkeramannya dari kerah baju Faris.&nbs
BAGIAN 9 “Gista, Mama sebenarnya … nggak mau kamu gegabah dalam mengambil keputusan.” Mama tiba-tiba menasihatiku ketika kami hanya berduaan di kamar. Beliau duduk di atas ranjangku, sementara aku berbaring di atas pangkuannya dengan air mata yang kini perlahan menitik. “S-sakit rasanya, Ma,” lirihku sambil menghapus jejak bulir kesedihan di pipi. “Iya, Mama tahu, Sayang. Tapi, kamu harus tahu, kalau setiap pernikahan itu pasti ada cobaannya. Pernikahanmu baru seumur jagung. Bukankah semuanya bisa diselesaikan baik-baik?” Kalimat demi kalimat yang Mama lontarkan begitu bijaksana. Akan tetapi, sedikit pun rasanya aku bergeming dari nasihat itu. Kugele
BAGIAN 10 “Ih, ngaco kamu!” Aku mengibaskan tangan sambil cepat-cepat mengusap ujung pelupuk. “Eh, iya nggak, sih?” “Mau hamil apa enggak, tetap aja bisa cerai. Nggak ngaruh. Aku tetap mau cerai. Titik!” Aku bersikukuh dengan segala keras kepalaku. Andai kata memang hamil, ya sudahlah. Mau bagaimana lagi? Lebih baik aku di sini membesarkan anakku, ketimbang harus bersama Mas Faris dan ibunya. Aku sudah ogah! “Kamu mau tes urin, nggak? Apa mau aku beliin?” Gio yang penuh perhatian itu bertanya sambil menatapku dalam. Aku yang masih agak eneg, hanya bisa menerawang ke langit
BAGIAN 11 Ponsel terlepas dari genggamanku. Telepon dari Farah tak lagi kugubris. Aku kini sibuk dengan muntahan yang berbentuk cairan kuning tanpa isi sisa makanan apa pun. Bahkan cairan kuning pahit itu lambat laun sudah enggan keluar dari lambung. Sepertinya, isi perutku sudah terkuras habis. “Gista!” Sontak aku menoleh ke muka pintu sana. Terlihat, sosok Mama dengan piyama rumahannya yang berwarna merah muda dengan motif burung flamingo itu pun gegas mendatangi ranjang. Rautnya khawatir sekali. “Kenapa kamu, Gis?” tanya Mama. Beliau tampak membeliakkan mata demi menatap selimutku yang kini terkena muntahan.&nb
BAGIAN 12 Takut-takut aku masuk ke mobil Pak Ken. Sebuah Jeep Wrangler Rubicon dengan warna merah yang ngejreng itu kini menjadi saksi bisu betapa berdegupnya jantungku. “P-pak … aku minta maaf,” ucapku tergagap ketika duduk di sebelah kursi kemudi. Pak Ken diam. Lelaki yang melinting kemejanya hingga siku itu fokus menyetir. Kulihat sekitar, dia tak membawa tas kerjanya. Kutoleh lagi ke bangku belakang. Tidak atas tas ataupun laptop di atas bangku penumpang. Jadi, aku mau dibawa ke mana? “Pak, ada klien yang mau ditemui?” tanyaku pelan. Lelaki itu masih diam. Dia menatap lurus ke depan de
BAGIAN 13 “Pak Ken, aku nggak bisa masuk,” ucapku dengan keringat dingin yang masih mengucur. Pak Ken yang sudah berjalan duluan sambil menggenggam kunci mobilnya itu langsung menoleh. Tatapannya tajam. Aku makin berdebar saja sebab melihat ekspresi kesal dari bosku. “Kenapa?” Dia bertanya ketus. “I-itu … ada mobil suamiku,” kataku sambil menunjuk ke arah mobil yang terparkir anteng di depan sana. Bosku yang tingginya di atas rata-rata cowok Indonesia kebanyakan itu pun melempar pandangnya ke arah telunjukku. Menyipitkan mata dengan muka setengah masam. Semoga dia tidak marah-m
BAGIAN 14POV FARIS Plak! Sebuah tamparan Ibu layangkan ke pipiku. Tepat bersamaan dengan pintu rumah yang baru saja kubuka. Belum kakiku melangkah masuk, tetapi serangan Ibu sudah membabi buta. “Apa yang kamu lakukan, Ris? Di mana hatimu pada Ibu? Bisa-bisanya kamu meninggalkan rumah ini hanya demi memohon-mohon pada Gista!” Ibu menarik kerah bajuku. Menyeretku masuk ke ruang tamu, lalu mengempaskan pintu kuat-kuat. Aku terdiam. Tak bisa memberikan perlawanan sedikit pun, meski hati ini mulai mendidih. Plak! Sekali lagi Ibu men