BAGIAN 15
POV FARIS
[Diba, lagi apa? Aku ganggu kamu nggak?]
Kukirimkan pesan itu kepada Adiba, teman sekantorku. Dia baru lulus PNS dua tahun lalu. Terhitung sebagai juniorku.
Agak berdegup keras jantungku selesai mengirimkan Adiba pesan. Perasaan takut itu sebenarnya hadir di hati. Bukan apa-apa. Adiba ini termasuk sosok yang keras. Bila tak suka, dia tak ragu untuk mengungkapkannya. Lebih blak-blakan daripada Gista. Hanya bedanya, Adiba ini berasal dari keluarga biasa. Ibunya sudah meninggal. Sedang bapaknya hanya seorang pedagang kelontong di pasar. Punya ibu sambung yang setahuku kurang akrab dengannya.
Aku menanti sekiranya dua puluh menit untuk mendapatkan balasan
BAGIAN 16 Akhirnya, aku dan Pak Ken tiba juga di kantor. Teman-temanku terlihat sedang asyik bekerja. Tak ada suara derai tawa di antara mereka. Hanya suara tuts kibor laptop maupun PC yang diketuk oleh jemari giat lima karyawan Pak Ken. Aku berjalan dengan langkah gontai seraya membawa tentengan ke dalam ruang kerja Pak Ken. Sedang bosku itu sudah berjalan duluan beberapa langkah di depanku. Aku mengerling ke arah dua temanku. Andin dan Nada. Mereka seolah mendapat sinyal dari tatapanku. Kompak menatap dengan muka cengengesan ke arahku. Bahkan, Nada sendiri memuncungkan bibir sambil memejamkan mata. Seolah sedang memeragakan adegan mencium. Asem si Nada. Sempat-sempatnya dia meledek. Rasa ca
BAGIAN 17POV FARIS “Dib, kita pulang bareng, yuk?” Aku mendekati Adiba saat jam pulang sudah tiba. Perempuan cantik yang telah memulas ulang lipstik warna merah batanya itu tampak senyum lebar. “Nggak apa-apa, nih?” tanyanya sambil bangkit dari meja kerja yang hanya bersebelahan dengan mejaku. “Iya, nggak apa-apa. Kamu belum pesan taksi atau minta jemput adikmu, kan?” Aku agak gugup bertanya. Maklum saja. Di depan sana, ada empat meja yang masih ada penghuninya. Ada Bu Qoni, Mbak Ambar, Pak Rahmat, dan Pak Yono. Mereka juga staf di seksi yang sama denganku dan Adiba. Keempatnya sedari tadi memang curi-curi pandang ke arah meja kami berdua. Apalagi ketika aku mengajak Adiba untuk pulang bersama.
BAGIAN 18POV FARIS “Peluk aja. Nggak apa-apa,” ucapku lirih sambil menatap Adiba serius. Adiba benar-benar memeluk tubuhku. Erat sekali. Kedua tangannya melingkar ke pinggang ini dan dia tanpa ragu membenamkan kepalanya ke dadaku. Aku membeku. Seperti batu. Diam di tempat dengan dua tangan yang mulai dingin. Dadaku tentu berdebar tak keruan. Di hati kecilku ada rasa penolakan. Namun, nafsuku sebagai seorang pria tak mampu mengalahkan berontaknya hati kecil. Tanganku malah perlahan mengusap puncak kepala Adiba yang masih terbungkus dengan jilbab. “Ternyata … badanmu emang enak buat dipelu
BAGIAN 19 Capek. Satu kata itu yang kurasakan setelah pulang bekerja. Pundak pegal, mata yang berat karena ngantuk, dan kepala mumet efek berhadapan dengan orang banyak. Tanpa rasa berdosa, Nada keluar dari ruangan Pak Ken setelah empat klien selesai kutangani. Semua adalah tugas pokoknya, tapi seolah-olah dilimpahkan kepadaku. Aku sebenarnya kesal. Mau marah. Cuma, kutahan. Tidak cuma Nada yang membuat jengkel. Andin pun setali tiga uang. Mereka berdua seakan berkonspirasi. Setidaknya itulah perasaanku, ketika dia sama sekali tak mau membantu. Padahal, klien sampai menunggu dengan muka masam sebab aku yang agak keteteran melayani mereka. 
BAGIAN 20 “Bercanda, Mbak. Saya bukan suaminya. Saya kakak sepupunya. Suami adik saya lagi di luar kota.” Pak Ken lalu meralat ucapannya. Akhirnya! Ini cowok bikin sport jantung aja! “Oh, maaf-maaf. Maafkan saya, Bu, Pak. Saya pikir suami-istri. Soalnya mirip banget.” Muka mbak-mbak pendaftaran tersebut berubah merah. Dia pasti malu banget. “Miriplah. Kan, sepupu.” Pak Ken menjawab PD. Sepupu dari Hongkong! Aku hanya diam saja. Sementara mbak-mbak cantik tersebut kini mulai menyuruhku untuk menimbang berat badan. “Sekarang timbang dulu ya, Bu.”
BAGIAN 21 “Semuanya lima ratus tujuh puluh ribu rupiah, Pak. Sudah ditambah biaya kartu dan konsultasi.” Mbak-mbak penjaga apotek sekaligus kasir praktik dokter tersebut muncul dari kaca dengan lubang di bagian paling bawah. Dia memberikan satu plastik obat dan struk pembayaran. Aku cepat mengeluarkan dompet. Menarik sisa-sisa uang cash dari dalam sana. Namun, Pak Ken malah menolaknya. “Aku yang bayar.” Muka Pak Ken garang. Dia gegas mengeluarkan dompet dan menyerahkan sekitar enam lembaran uang seratus ribuan kepada kasir berkulit putih dengan gingsul di gigi taring atas sebelah kanannya. “Ini, Mbak.”
BAGIAN 22 [Gis, ini suamimu, kan? Kok, perginya sama cewek lain?] Tepat pukul 21.00 malam, Nada mengirimiku pesan melalui WA. Di bawah pesan itu, dia menyisipkan foto yang membuat mataku membelalak sempurna. Tergambar jelas sosok Mas Faris yang berdiri di sebelah perempuan berjilbab. Mereka sedang berdiri di depan rak berisi makanan ringan. Foto di ambil menyamping sehingga yang tampak hanya muka Mas Faris. Sedang perempuan di sebelahnya tengah menatap Mas Faris. Yang membuatku makin syok adalah baju yang dikenakan perempuan tersebut. Satu stel piyama rumahan berwarna hitam dengan motif loreng putih dan pasmina plisket hitam sebagai tudung di kepalanya. Semua itu barang-barang milikku yang me
BAGIAN 23POV FARIS “Pagi, Sayangku.” Mataku langsung melek sempurna kala sapaan itu terdengar dari speaker ponselku. Suara itu mengalun lembut. Berasal dari milik Adiba yang memang kupinta untuk membangunkanku pagi ini via telepon. “D-diba … k-ka-mu nggak salah manggil?” Aku tertegun sendiri. Sontak bangkit dari pembaringan. Lelaki mana yang tidak senang dipanggil sayang oleh perempuan idolanya? “Kenapa, gitu? Nggak boleh?” Adiba seperti tersinggung. Aku menyesal sebab sudah salah bicara. Duh! “E-eh, bukan begitu. Aku cuma ngerasa surprised aja. Makasih ya, Sayang.” Aku mengulum senyuman. Kupeluk seerat mungkin g