BAGIAN 19
Capek. Satu kata itu yang kurasakan setelah pulang bekerja. Pundak pegal, mata yang berat karena ngantuk, dan kepala mumet efek berhadapan dengan orang banyak.
Tanpa rasa berdosa, Nada keluar dari ruangan Pak Ken setelah empat klien selesai kutangani. Semua adalah tugas pokoknya, tapi seolah-olah dilimpahkan kepadaku. Aku sebenarnya kesal. Mau marah. Cuma, kutahan.
Tidak cuma Nada yang membuat jengkel. Andin pun setali tiga uang. Mereka berdua seakan berkonspirasi.
Setidaknya itulah perasaanku, ketika dia sama sekali tak mau membantu. Padahal, klien sampai menunggu dengan muka masam sebab aku yang agak keteteran melayani mereka.
 
BAGIAN 20 “Bercanda, Mbak. Saya bukan suaminya. Saya kakak sepupunya. Suami adik saya lagi di luar kota.” Pak Ken lalu meralat ucapannya. Akhirnya! Ini cowok bikin sport jantung aja! “Oh, maaf-maaf. Maafkan saya, Bu, Pak. Saya pikir suami-istri. Soalnya mirip banget.” Muka mbak-mbak pendaftaran tersebut berubah merah. Dia pasti malu banget. “Miriplah. Kan, sepupu.” Pak Ken menjawab PD. Sepupu dari Hongkong! Aku hanya diam saja. Sementara mbak-mbak cantik tersebut kini mulai menyuruhku untuk menimbang berat badan. “Sekarang timbang dulu ya, Bu.”
BAGIAN 21 “Semuanya lima ratus tujuh puluh ribu rupiah, Pak. Sudah ditambah biaya kartu dan konsultasi.” Mbak-mbak penjaga apotek sekaligus kasir praktik dokter tersebut muncul dari kaca dengan lubang di bagian paling bawah. Dia memberikan satu plastik obat dan struk pembayaran. Aku cepat mengeluarkan dompet. Menarik sisa-sisa uang cash dari dalam sana. Namun, Pak Ken malah menolaknya. “Aku yang bayar.” Muka Pak Ken garang. Dia gegas mengeluarkan dompet dan menyerahkan sekitar enam lembaran uang seratus ribuan kepada kasir berkulit putih dengan gingsul di gigi taring atas sebelah kanannya. “Ini, Mbak.”
BAGIAN 22 [Gis, ini suamimu, kan? Kok, perginya sama cewek lain?] Tepat pukul 21.00 malam, Nada mengirimiku pesan melalui WA. Di bawah pesan itu, dia menyisipkan foto yang membuat mataku membelalak sempurna. Tergambar jelas sosok Mas Faris yang berdiri di sebelah perempuan berjilbab. Mereka sedang berdiri di depan rak berisi makanan ringan. Foto di ambil menyamping sehingga yang tampak hanya muka Mas Faris. Sedang perempuan di sebelahnya tengah menatap Mas Faris. Yang membuatku makin syok adalah baju yang dikenakan perempuan tersebut. Satu stel piyama rumahan berwarna hitam dengan motif loreng putih dan pasmina plisket hitam sebagai tudung di kepalanya. Semua itu barang-barang milikku yang me
BAGIAN 23POV FARIS “Pagi, Sayangku.” Mataku langsung melek sempurna kala sapaan itu terdengar dari speaker ponselku. Suara itu mengalun lembut. Berasal dari milik Adiba yang memang kupinta untuk membangunkanku pagi ini via telepon. “D-diba … k-ka-mu nggak salah manggil?” Aku tertegun sendiri. Sontak bangkit dari pembaringan. Lelaki mana yang tidak senang dipanggil sayang oleh perempuan idolanya? “Kenapa, gitu? Nggak boleh?” Adiba seperti tersinggung. Aku menyesal sebab sudah salah bicara. Duh! “E-eh, bukan begitu. Aku cuma ngerasa surprised aja. Makasih ya, Sayang.” Aku mengulum senyuman. Kupeluk seerat mungkin g
BAGIAN 24 “Gis, ada bosmu di depan. Kamu dijemput sama dia?” Mama tiba-tiba masuk ke kamar saat aku masih mematut diri di depan kaca. Pagi ini, rasa eneg di perutku tak begitu menjadi-jadi seperti kemarin. Obat anti mual dan vitamin yang diberikan oleh dokter Setya sepertinya sangat cocok ke tubuhku. Alhamdulillah. Semoga sepanjang hari ini aku tak mual muntah lagi. “Oh, ya? Ya, ampun. Pagi banget dia jemput,” keluhku sambil memoles bedak tabur di wajah. Mama yang semula berada di ambang pintu, langsung masuk dan menutup pintu. Aku sekilas menoleh, tapi lanjut berdandan lagi supaya cepat keluar dari kamar. Tidak enak sama Pak Ken, pikirku. “Gis, bosmu itu apa ngg
BAGIAN 25 “P-pak Ken! Pak! Itu yang kecelakaan suamiku!” Aku refleks menjerit. Menunjuk-nunjuk ke arah pemutar radio plus video multimedia layar sentuh milik Pak Ken yang terpasang di bagian depan kabinnya. Pria yang tengah menyetir itu sontak menoleh ke arahku. Mukanya syok. Sama syoknya denganku. “Kecelakaan ini memakan dua orang korban yang menurut keterangan AKBP Irman Sunandar selaku kapolres setempat, sama-sama berprofesi sebagai PNS di sebuah instansi pemerintahan kota.” Penyiar yang masih membacakan berita di radio itu pun akhirnya menyebutkan dua korban yang aku yakin 1000% bahwa itu adalah Mas Faris dan Adiba. Ya Allah! Mereka berdua menjadi korban dalam laka lantas tersebut. Ternyata … suamiku menjemput perempuan itu lagi.
BAGIAN 26 “Saya rasa, itu sebaiknya tidak dibahas, ibu-ibu. Apa pun yang terjadi pada Gista maupun suaminya, Faris, itu adalah ranah pribadi mereka.” Pak Ken menyerobot. Membuat berpasang-pasang mata langsung tertuju padanya. Aku hanya bisa diam. Tak berani menjawab. Tubuhku pun makin gemetar saja rasanya. “Baiklah kalau begitu. Saya minta maaf kalau pertanyaan tadi kurang berkenan.” Mbak Ambar langsung menganggukan kepalanya agak dalam. Dia lalu beringsut dari hadapanku. Diikuti oleh Bu Qoni, Nabila, dan beberapa orang perempuan lainnya. Mereka membubarkan diri, mungkin karena tak puas dengan jawaban Pak Ken barusan. “Kamu sudah enakan? Sudah siap untuk ketemu s
BAGIAN 27 “G-gista ….” Bibir Mas Faris bergerak. Lelaki itu tiba-tiba memanggil namaku saat kusentuh tangannya. Aku kaget luar biasa melihat pria yang kini tengah dipasangi neck collar alias alat penyangga leher itu mulai membuka matanya perlahan. Jemari Mas Faris pun mulai bergerak-gerak, seolah ingin memberikan kode bahwa dia sudah mulai sadar.Kata dokter, berdasarkan hasil rontgen dan CT scan, Mas Faris hanya mengalami cedera tulang leher dan cedera kepala ringan. Kesadarannya bisa segera pulih, serta presentase untuk sembuh total sangat besar. Semua yang dokter bilang terbukti kebenarannya. Tepat di pukul 10.00 pagi, suamiku sudah mulai menunjukkan tanda-tanda bahwa dirinya akan segera sadar penuh.“Mas,” panggilku. Kudekatkan wajahku ke telinganya. Membisiki pria yang masih dipa