Share

Secuil informasi

Sofia sudah selesai memanggang semua adonan brownis. Kali ini dia membuat cukup banyak untuk dibagi-bagikan sekaligus berkenalan dengan tetangga sekitar rumah. Brownis yang baru saja dikeluarkan dari oven, didiamkan agar dingin terlebih dahulu. Baru dikemas ke dalam kardus yang sudah dibeli di pasar tadi.

Sembari menunggu brownis dingin, Sofia membereskan peralatan kotor untuk dicuci. Ia  memang selalu membersihkan langsung perkakas kotor yang baru saja digunakan untuk memasak karena tidak suka melihat barang-barang yang kotor dan berantakan. Jiwanya tergelitik untuk segera membersihkan dan membereskannya setiap kali melihat barang-barang yang berserakan atau tidak tersimpan pada tempatnya.

Selesai mencuci, Sofia memeriksa brownis apakah sudah dingin. Setelah dirasa cukup dingin, Sofia memasukkan brownis ke dalam kardus yang sudah disiapkan. Lalu dimasukkan dalam tas plastik agar lebih mudah saat membawa.

Sofia segera berganti baju dan memoles wajah dengan mekap tipis-tipis agar tidak terlihat pucat. Mengoleskan alas bedak tipis sesuai warna kulit wajah lalu mengoleskan bedak tabur bayi secara merata. Terakhir memulas lipstik berwarna merah di bibir, lalu meratakannya dengan menyatukan bibir atas dan bawah. Setelah merasa cukup, Sofia segera berangkat dengan membawa dua kantong plastik berisi brownis yang rencananya akan diberikan kepada Bu Lisa dan Bu Tari yang rumahnya paling dekat.

Sofia pergi ke rumah Bu Lisa terlebih dahulu, yang rumahnya terletak di sebelah kiri. Setelah itu baru ke rumah Bu Tari yang rumahnya tepat berada di depan rumah di seberang jalan. Sofia sudah bertemu dengan keduanya saat belanja sayur tadi pagi.

“Semoga saja mereka ada di rumah,” pikir Sofia dalam hati saat hendak berangkat tadi.

Sofia segera mengetuk pintu dan mengucapkan salam begitu sampai di rumah Bu Lisa. Terdengar jawaban dari dalam rumah diikuti langkah kaki yang mendekat. Saat pintu terbuka terlihat Bu Lisa mengenakan daster batik dengan rambut diikat. Seluruh wajahnya tertutup dengan masker sehingga hanya terlihat mata dan bibir saja.

“Eh, Mbak Sofia,” sapa Bu Lisa begitu membuka pintu dan melihat Sofia, “Mari masuk, ada Bu Tari juga loh di dalam. Silakan duduk.”

“Iya, Bu. Ini ada brownis, buatanku sendiri. Semoga Bu Lisa suka.” Sofia menyerahkan salah satu kantong plastik yang dibawa lalu duduk di sofa empuk berwarna coklat milik Bu Lisa.

“Aduh kok repot-repot Mbak Sofi, terima kasih loh. Oh ya kupanggilkan Bu Tari dulu sebentar biar sekalian gabung di sini.” Bu Lisa masuk ke dalam rumah dengan membawa brownis pemberian Sofia.

Sofia melihat-lihat sekeliling. Tampak foto keluarga Bu Lisa yang dipajang di dinding dan beberapa foto bersama keluarga dalam berbagai kegiatan. Saat putranya yang besar lulus kuliah dan beberapa kegiatan lainnya. Beberapa buku tampak tertata rapi dalam lemari kaca di pojok ruangan serta beberapa trofi tertata rapi di bawah deretan buku.

Terdengar langkah kaki mendekat dari dalam saat Sofia selesai memindai seisi ruang tamu. Bu Tari berjalan mendekat dengan wajah yang tampak basah seperti sehabis mencuci muka. Bu Tari langsung duduk di depan Sofia dan menyalami Sofia dengan tersenyum.

“Mbak Sofia, masih ingat aku kan? Kita ketemu tadi pagi saat belanja sayur,” sapa Bu Tari dengan ramah.

“Iya, masih Bu Tari. Syukurlah kita bertemu di sini. Sebenarnya tadi aku berencana ke rumah  Bu Tari setelah dari sini. Ini ada brownis buatanku buat Bu Tari. Semoga Bu Tari suka.” Sofia menyerahkan kantong plastik satunya pada Bu Tari.

“Wah makasih ya, Mbak. Ngomong-ngomong ada urusan apa datang kesini?” tanya Bu Tari langsung. Seperti biasa, Bu Tari selalu berterus terang dengan ucapannya.

Belum sempat Sofia menjawab, Bu Lisa datang dengan nampan di tangan. Setelah menata minuman dan camilan yang dibawanya di atas meja, ia mempersilahkan Sofia dengan ramah.

“Mari ... Mbak Sofia diminum tehnya,” tawar Bu Lisa

Sofia segera mengambil cangkir di atas meja dan menyeruput sedikit teh yang ternyata masih terasa panas. Bu Lisa sudah duduk di samping Bu Tari sekarang. Lalu pembicaraan mengalir begitu saja antara mereka bertiga. Dari mereka berdua, Sofia jadi tahu beberapa kegiatan rutin yang diadakan di lingkungan. Seperti pengajian dan arisan yang rutin diadakan sebulan sekali di rumah anggota. Kebetulan pengajian bulan ini akan diadakan pada hari minggu besok di rumah Bu Tari.

“Besok minggu datang ya Mbak, di rumah Bu Tari. Acara dimulai jam sembilan pagi. Nanti pemenang akan ditentukan dengan dikocok. Nah pemenang arisan itu juga yang akan menjadi tuan rumah untuk arisan berikutnya. Nanti Mbak Sofia ikut saja agar bisa berkenalan dengan ibu-ibu warga sini,” jelas Bu Lisa dengan semangat.

“Iya, insyaallah aku nanti datang Bu,” jawab Sofia ramah.

“Oh iya. Sudah ke rumah Lidya belum?” tanya Bu Tari tiba-tiba.

“Belum, Bu. Rencananya setelah dari rumah Bu Tari baru ke rumah Mbak Lidya.”

“Hati-hati loh Mbak ke sana kalau pas ada suaminya. Tapi biasanya jam segini suaminya nggak ada di rumah sih. Biasanya habis magrib pulang, sampai rumah terus marah-marah dan bertengkar. Jadi ramailah rumah itu.”

“Memangnya kenapa kalau ada suaminya, Bu Tari?”

“Suaminya itu temperamental, suka marah. Kalau ada yang berkunjung ke rumah  bawaannya curiga terus. Apalagi kalau tamunya laki-laki, langsung cemburu. Dituduh ada main alias selingkuh sama istrinya, aneh pokoknya. Makanya sekarang orang-orang malas berhubungan dengan keluarga itu.”

“Sekarang?” tanya Sofia heran.

“Iya. Awalnya semua baik-baik saja. Terus setahun terakhir ini kalau nggak salah, setelah Pak Pram tidak bekerja dan usahanya bangkrut semua jadi kacau di keluarga itu.”

“Pak Pram?” tanya Sofia dengan menaikkah sebelah alis.

“Iya, Pak Pram itu nama suaminya Lidya. Dulu keluarga itu harmonis dan bahagia. Bahkan tidak pernah kelihatan pernah bertengkar sama sekali. Pak Pram malah suka membantu pekerjaan rumah Lidya. Coupe Goals di lingkungan sini pokoknya, tapi selama beberapa bulan terakhir ini mereka jadi sering bertengkar. Pokoknya sudah bukan rahasia umum lagi kalau keluarga itu suka ribut.” Kali ini Bu Lisa yang menjelaskan dengan semangat.

“Lebih kasihan lagi anak-anaknya, Azzam dan Azizah. Ya kan, Bu?” sahut Bu Tari yang ditimpali Bu Lisa dengan anggukan setuju.

“Azzam dan Azizah. Bukankah itu nama dua anak yang kutemui di pasar tadi?” batin Sofia dalam hati.

“Siapa itu, Bu?” tanya Sofia.

“Oh Azzam dan Azizah itu nama anaknya Mbak Lidya dan Pak Pram. Semenjak Pak Pram tidak bekerja sekarang jadi pengangguran. Terus sekarang kerja sebagai tukang ojek, biasanya sambil menunggu pesanan suka nongkrong nggak jelas gitu. Nah si Azzam dan Azizah ini harusnya kan masih sekolah, tapi malah disuruh mencari uang oleh ayahnya,” terang Bu Tari.

Deg.

Jantung Sofia berdebar kencang teringat dengan kedua anak yang ditemuinya di pasar tadi pagi.

“Benarkan kedua anak tadi adalah orang yang sama?” pikir Sofia dalam hati.

“Mencari uang, Bu?” tanya Sofia tak percaya.

“Iya. Mencari uang di jalanan, Mbak. Aku pernah ketemu mereka berdua berjualan minuman botol di sekitar pasar Waru, kadang juga meminta-minta dengan membawa gelas kosong. Kasihan sekali pokoknya. Anak sekecil itu harusnya itu bermain-main dengan teman seusianya,” jawab Bu Tari lagi.

“Bener, Bu Lisa. Kasihan sekali ya Azzam dan Azizah. Harusnya mereka sekolah sama teman-temannya. Eh malah dimanfaatkan sama orang tuanya buat mencari uang. Bukankah itu harusnya jadi tanggung jawab Pak Pram. Huuhh ... Gemas aku.” Bu Tari tampak kesal mengepalkan tangan kuat-kuat.

“Memangnya berapa usia kedua anak itu, Bu?” tanya Sofia lirih. Berharap dugaannya keliru.

“Berapa ya ... Kalau Azzam kayaknya sudah masuk SD, jadi ya sekitar enam atau tujuh tahunan. Nah kalau adiknya Azizah kayaknya masih umur tiga atau empat tahunan. Iya kan, Bu?” Bu Lisa menoleh pada Bu Tari meminta pendapatnya.

“Iya, sekitar umur segitu kayaknya.” Bu Tari menyetujui jawaban Bu Lisa.

Sofia terlihat melamun. Mengingat kedua anak yang ditemuinya di pasar waru tadi. Benarkah kedua anak itu adalah anak Lidya, yang tinggal di sebelahnya. Pantas saja, suara lelaki tadi terasa tidak asing di telinganya. Berarti dugaan yang sempat ditepisnya tadi benar.

Sebenarnya Sofia masih ingin bertanya lebih lanjut. Namun, dia mengurungkannya. Mengingat dia masih baru di sini dan belum mengenal Bu Lisa dan Bu Tari sepenuhnya. Dia takut bila salah berucap. Jadi dia menyimpan lagi semua pertanyaan yang terlintas dalam benaknya ke dalam hati.

“Biarlah, akan kucari tahu sendiri nanti,” pikir Sofia.

“Lah kok malah melamun, Mbak. Ayo, diminum lagi tehnya,” tegur Bu Lisa saat melihat Sofia melamun.

“Eh, iya, Bu. Aku baru ingat tadi rumahku belum dikunci. Kelupaan karena terburu-buru kesini tadi. Aku pamit dulu ya, Bu Tari, Bu Lisa. Kepikiran sama kunci rumah.” Sofia pamit dan segera berdiri setelah menghabiskan tehnya.

Bu Lisa dan Bu Tari hanya mengangguk saat Sofia berpamitan.

Setelah di luar rumah, Sofia segera mempercepat langkah agar cepat sampai di rumah. Diambilnya dua kantong brownis yang akan diberikan kepada Ranti dan Lidya. Setelah memastikan pintu dikunci Sofia segera berangkat, mengingat hari sudah cukup sore. Tak terasa sudah hampir dua jam dia di rumah Bu Lisa, mengobrol ngalor-ngidul tak ada ujungnya. Dia harus sudah pulang ke rumah sebelum magrib. Sebelum, Fuad suaminya pulang dari kantor.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Yanti
jdi ngak bisa buka
goodnovel comment avatar
Yanti
kanapa harus make koin ya..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status