“Sebenarnya ini baru terjadi beberapa bulan terakhir, Mas. Awalnya dia baik, sangat baik. Bahkan tidak segan membantuku mengerjakan pekerjaan rumah. Namun semua berubah setelah aku melahirkan Lea. Anakku yang ketiga.” Lidya mulai bercerita setelah tangisnya reda.
“Saat melahirkan Lea, aku terkena preeklampsi dan harus dirawat di rumah sakit selama dua bulan. Selama dirawat di rumah sakit Mas Pram selalu sabar menunggu dan merawatku. Bahkan dia mengabaikan semua pekerjaan dan menyerahkan tempat usaha kami untuk dikelola oleh orang kepercayaannya. Namun, ia dikhianati. Beberapa tempat usaha kami mulai mengalami kerugian sampai akhirnya bangkrut dan usaha terpaksa ditutup.” Lidya menarik nafas panjang, mengusap ujung hidungnya dan menatap Fuad tanpa berkedip.
“Hanya tinggal satu tempat yang tersisa setelah dipertahankan Mas Pram dengan usaha semaksimal mungkin. Namun, tempat itu akhirnya terpaksa harus ditutup juga karena modal kami yang tida
Sofia dan Fuad pulang berjalan kaki dalam diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Beberapa kali Sofia melirik Fuad yang berjalan di sampingnya. Tampaknya ia sedang memikirkan sesuatu dengan serius. Terlihat kerutan di keningnya saat ia berpikir serius.Sofia hafal dengan watak suaminya yang memilih diam saat sedang berpikir. Ia tidak mau mengganggu, ingin memberikan waktu pada Fuad yang masih terlihat kaget melihat calon istrinya dulu menjadi tetangga sebelah rumahnya. Ditambah lagi kondisinya cukup mengenaskan, dengan wajah penuh luka dan lebam akibat kekerasan yang dilakukan suaminya.Sesampainya di rumah Fuad masih terdiam selama beberapa saat. Namun, Sofia menunggu dengan sabar di sebelahnya sambil berpura-pura memainkan ponsel. Ia menunggu Fuad membahas tentang kejadian barusan.“Dek ...,” panggil Fuad pelan.“Iya. Ada apa, Mas?” Sofia meletakkan ponsel di atas meja.“Aku ingin bertanya padamu mengenai Lidya. Se
Pagi itu Lidya terbangun kesiangan karena tidak bisa tidur semalam. Saat terbangun, Pram sudah tidak ada di sebelahnya. Ia langsung berdiri dan keluar kamar setelah melihat Lea masih tidur pulas di atas kasur. Jam di dinding menunjuk pukul 06.30 pagi.Azzam dan Azizah sudah siap untuk berangkat ke sekolah dengan memakai seragam sekolah dan membawa tas masing-masing. Pram juga sudah terlihat rapi, bersiap untuk mengantar mereka berdua sekolah sebelum pergi mengojek.“Sayang ... maaf aku bangun kesiangan. Bagaimana dengan sarapannya?” ucap Lidya saat melihat Pram memakai jaket.“Nggak papa. Aku dan anak-anak akan membeli sarapan di jalan nanti. Tidurlah lagi kalau kamu masih mengantuk.” Pram sudah selesai bersiap-siap, “Azzam, Azizah. Ayo berangkat. Pamit dulu sama Mama.”Azzam dan Azizah berpamitan pada Lidya dengan mencium tangannya. Lalu berjalan keluar rumah mengikuti Pram yang akan mengantarkan mereka berangkat
“Aku harus menemui Lidya sekarang juga. Apakah ia tahu tentang masalah ini? Bisa saja ia dibohongi oleh suaminya selama ini. Apa yang akan dilakukannya setelah tahu nanti? Atau jangan-jangan ia sudah tahu sejak awal dan memang menyetujuinya. Kalau memang begitu berarti aku tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Yang penting aku sudah berusaha,” pikir Sofia sepanjang perjalanan.Begitu tiba, Sofia memarkir motor di depan pagar rumah Lidya. Ia segera berjalan masuk dan mengetuk pintu sembari mengucapkan salam cukup keras begitu di depan pintu. Setelah dua kali ketukan terdengar jawaban dari dalam rumah.“Mbak Sofia,” sapa Lidya begitu membuka pintu, “Mari masuk. Ada apa?”“Maaf Mbak, kalau aku mengganggu. Ada hal penting yang ingin kutanyakan,” ucap Sofia buru-buru. Rasanya sudah tidak sabar mengutarakan segala macam pertanyaan yang terus berputar dalam kepalanya sejak tadi.“Mari masuk dulu, Mbak. Kita bica
Setelah menidurkan Lea di kasur, Lidya berganti daster terlebih dulu sebelum pergi ke kamar Azzam dan Azizah. Kedua anak itu sedang duduk menonton televisi di kamarnya saat ia masuk. Keduanya sudah tidak memakai seragam sekolah, berganti dengan baju santai di rumah.Dipandanginya Azizah setelah duduk di dekatnya. Gadis kecil itu segera menyandarkan diri di tubuhnya saat menyadari kedatangannya. Lidya berganti memandang Azzam yang tampak fokus menatap layar televisi. Ditariknya nafas dalam untuk menenangkan diri, lalu tersenyum tipis untuk menutupi kegundahan hati.“Tumben hari ini kalian pulang cepat. Tadi di sekolah belajar apa saja?” tanya Lidya berbasa-basi.Azizah hanya terdiam dan menoleh pada kakaknya, Azzam.“Hari ini di sekolah ada rapat guru, Ma. Jadi kami dipulangkan lebih awal,” jawab Azzam sigap.“Tadi mama bertemu dengan Tante Sofia. Kalian tahu kan wanita yang baru pindah di samping rumah kita? Katanya ta
Setelah berhasil menenangkan diri dan menghapus jejak air mata di wajah, Lidya bergegas mendatangi Azzam dan Azizah. Kedua anak itu sedang sibuk menghitung uang yang mereka dapat sebelum dimasukkan ke saku masing-masing.“Azzam, Azizah ...,” panggil Lidya pelan.Azzam dan Azizah sangat kaget mendengar panggilan ibunya, langsung menyembunyikan gelas plastik dibalik punggung kecil mereka.“A-apa yang kalian lakukan di sini ... K-kalian tidak sekolah?” tanya Lidya dengan terbata-bata. Ia berusaha keras menahan air mata yang mendesak keluar. Matanya bahkan sudah berembun sekarang. Ia segera berpaling untuk mengusap sudut mata dengan ujung jari.“M-mama ...” desis Azzam. Matanya terbelalak dengan mulut terbuka selama beberapa detik.Lidya tersenyum lembut, lalu berjalan mendekat dan duduk di samping Azizah yang selonjor di tepi trotoar.“Zizah sedang apa di sini? Kenapa tidak sekolah?” tanya Lidya l
Tanpa menunggu lama, terdengar ucapan salam dan pintu di ketuk dari depan rumah Sofia. Ia segera berdiri dan membuka pintu untuk menyambut kedatangan Lidya. Wanita berpipi dekik itu terlihat menggendong Lea menggunakan daster yang warnanya mulai pudar.“Silakan masuk, Mbak,” sambut Sofia ramah.“Mbak, jelaskan padaku tentang idemu tadi,” ucap Lidya tak sabar begitu mereka berdua duduk di ruang tamu. Ia bahkan menolak saat Sofia menawarinya minum karena penasaran dan ingin mendengarkan penjelasannya segera.“Sebenarnya aku ingin memulai lagi usaha brownis, Mbak. Dulu aku sempat berjualan dan menerima pesanan brownis. Namun, terpaksa berhenti karena pindah rumah. Padahal usahaku mulai berkembang dan mulai banyak pelanggan waktu itu. Jadi aku berencana untuk mengajakmu bekerja sama untuk memulai lagi usaha brownis ini. Karena kamu sudah lama tinggal di lingkungan ini pasti sudah kenal dengan warga sekitar sini. Nanti kita rencanakan be
“Mbak ... Mbak Lidya,” panggil Sofia sambil menepuk bahu Lidya yang baru saja roboh di lantai. Diangkatnya kepala Lidya ke pangkuan lalu kembali memanggil namanya sambil menggoyangkan badannya pelan. “Mbak ... Mbak Lidya ... Mbak ....” Tetap tidak ada respons dari Lidya. Wanita berpipi dekik itu bergeming meskipun Sofia memanggilnya lebih keras kali ini. “Sepertinya dia pingsan, apa yang harus kulakukan sekarang?” gumam Sofia kebingungan. Akhirnya ia memutuskan untuk memindahkan Lidya ke tempat nyaman terlebih dulu. Dengan susah payah, Sofia memapah Lidya ke kamar dan merebahkannya di atas kasur sampai ia kehabisan nafas karena lelah. Dicobanya untuk menyadarkan Lidya lagi dengan menggoyangkan badan lebih keras sembari memanggil namanya, tapi tetap tidak ada respons. Akhirnya Sofia memutuskan untuk menghubungi Pram melalui ponsel Lidya yang diletakkan di atas kulkas. Namun tidak ada jawaban meskipun ia sudah meneleponnya berkali-kali.
Setelah melihat Fuad melangkah pergi, Pram segera memegang lengan Lidya dan menyeretnya masuk ke dalam. Dibantingnya pintu dengan kasar sehingga pintu kayu jati itu bergetar cukup keras dan menimbulkan suara yang berisik.“SIAPA LAKI-LAKI ITU? KENAPA DIA MEMEGANGMU TADI!” bentak Pram dengan nafas menderu.“Dia Mas Fuad, suami Mbak Sofia. Tetangga sebelah.” Lidya melepaskan lengannya dari cengkeraman kasar Pram, hingga menimbulkan bekas kemerahan di kulitnya yang kuning.“Fuad?” Pram mengernyitkan dahi, mencoba berpikir keras. Nama dan wajah itu seperti tidak asing baginya.“Dia mantan tunanganku dulu, yang kutinggalkan saat malam tunangan karena aku memilih kabur bersamamu,” kata Lidya pelan.“APA!” teriak Pram.Lidya berjingkat kaget mendengar Pram tiba-tiba berteriak padanya setelah terdiam cukup lama“Jadi selama ini kamu bekerja padanya. Bagus, memanfaatkan kesempat