Pria dengan tinggi badan yang ideal, gaya rambut biasa, bibir tipis, dengan hidung yang cukup mancung, mata yang cukup menarik, dan gigi yang rata.
Dia Raisi, kini berdiri di hadapan sang ayah. Martin memandang Raisi yang juga memandangnya. Tatapan yang masih dalam keadaan marah dan rasa tidak suka pada sang ayah membuat Martin langsung saja membuka pembicaraan.
Martin berdiri dan berjalan tepat di hadapan Raisi, Martin memandang Raisi yang kini tidak memandangnya. Martin menaruh tangannya di leher bagian belakang Raisi dan membuat Raisi menatapnya dengan tatapan yang sama yang diberikan Martin kepada Raisi.
Mata yang memiliki bentuk yang sama itu saling memandang, hanya saja mata Martin dibingkai kacamata.
"Apa maksud dari kata, 'tidak peduli siapa saingannya, tidak peduli apa resikonya, cinta tetaplah cinta, bukan hanya sekedar kata,' apa maksudnya?" ucap Martin, matanya masih memandang mata anak sulungnya itu. Mereka tak terlihat seperti ayah dan anak
Ibrahim terlihat sedang duduk dan menikmati kopi di salah satu kafe jalanan, dia saat itu duduk dekat jendela, matanya memandang keluar ke arah jalan. Sore yang membosankan dan melelahkan, suatu perbedaan, mengajar sebagai dosen pembimbing, kini ia tinggalkan dan berkerja di perusahaan Dailuna.Ibrahim kembali meneguk beberapa tegukan kopinya, dan matanya seketika membulat saat melihat wanita yang mampu menarik perhatiannya, masuk melalu pintu kafe, dan langsung berbicara dengan salah satu pelayan di sana lalu duduk di bangku bagian tengah, mata Ibrahim masih saja mengikutinya.Wanita itu yang tidak lain adalah Hatice, dia terlihat murung dan wajahnya seperti menampakkan kesedihan, Ibrahim yang masih menatap Hatice, matanya seketika membulat, dan terkejut saat Hatice balik memandangnya.Kini mereka saling berpandangan, Ibrahim memberi senyum, sedangkan Hatice hanya menatap polos dan berwajah datar. Namun hati mereka tiba-tiba berdetak kencang.Hatice yang
Fokus Andira tiba-tiba hilang saat dia mengingat Martin yang hanya mencium punggung tangannya saja, di benaknya terdengar suara Martin yang berkata, "Di sini dulu, yang lain nanti dulu," ucap Martin yang bermain di benak Andira.Saat dia masih mencuci piring makanan, busa sabun yang ada di tangannya semakin banyak, dan air kerang masih saja mengalir, Andria seperti kehilangan fokusnya.Lalu tiba-tiba saja seseorang mematikan kerangnnya dan berdiri di samping Andira, membuat Andira menolehkan pandangan pada Raisi yang sekarang berdiri di sampingnya.Melihat itu Andira terlihat membersihkan pakaiannya dan merapikan beberapa piring."Kamu melamun?" tanya Raisi, dia memandang wajah Andira yang terlihat lelah."Tidak Tuan," jawab Andira dengan senyum lemas menatap Raisi."Oh aku kira," ucap Raisi."Eh, Tuan Muda pulangnya agak cepat, kenapa?" tanya Andira.Raisi tersenyum menatap Andira, dia menghela nafas lalu berkata, "Karena aku
Martin menatap Raisi yang masih saja terlihat kesal dan marah. Martin merasa penasaran dan ingin tahu apa yang terjadi pada putra sulungnya itu. Kemudian Martin menatap Sarah dan anak-anak yang lainnya, yang saat itu terlihat biasa-biasa saja.Setelah makan malam, Martin memperhatikan semua orang dengan tingkah lakunya masing-masing, Raisi kembali ke kamarnya dengan wajah kesal dan marahnya. Sarah dan anak-anak menonton acara televisi. Dan Martin terlihat berjalan ke arah dapur dimana Andira berada.Martin menyelinap masuk ke dapur dan melihat Andira sedang lelah dengan piring kotor yang ada di sana."Andira!" panggil Martin yang sekali lagi mengagetkan Andira."Tuan Martin, Anda?" ucap Andira setelah melihat Martin berdiri di hadapannya."Kau sepertinya terlihat lelah, aku ingin menawarkan mu sesuatu," ucap Martin.Andira memandang Martin dengan wajah malas, di benaknya Martin pasti menawarkan hal yang aneh-aneh."Apa?" tanya Andira
Sarah masuk ke dalam kamarnya dan tak melihat Martin berada di sana. Sarah bahkan tak menemukan Martin berada di ruangannya. Sarah berusaha untuk tidak peduli dengan keberadaan Martin, dia berusaha untuk tidak memikirkan Martin dan berusaha menutup matanya.Sementara Raisi dia tidak bisa tertidur karena memikirkan penolakan Andira, Raisi menebak bahwa penolakan Andira terhadapnya itu ada kaitannya dengan ayahnya. Raisi berkali-kali menutup matanya namun hatinya resah memikirkan kenapa Andira sampai menolaknya.Raisi membangunkan badannya dan berjalan keluar dari kamarnya, dia berjalan menuju kamar Andira tapi kamar Andira terkunci rapat, Raisi berfikir bahwa Andira mungkin sudah tertidur sehingga dia mengunci kamar tidurnya.Raisi ingin mengetuk namun mengurungkan niatnya karena dia tahu bahwa semuanya akan sia-sia jika ada campur tangan ayahnya.Raisi kembali ke kamarnya namun kepalanya masih saja memikirkan Andira. Raisi memandang ke arah ponselnya dan
"Raisi," ucap Martin, dia berdiri dan berjalan pelan ke arah Raisi yang memandang Martin dengan tatapan nanar, semua orang yang ada di sana hanya terdiam, mata mereka semua tertuju pada Martin dan Raisi, ada pula yang membantu Raynaldi untuk berdiri.Mata Andira terlihat berkaca-kaca memandang Raisi, sedang Raisi dia perlahan memundurkan dirinya seakan tidak percaya, Arman dan Fatma pun memandang Raisi dengan tanda tanya, kemudian Fatma memandang ke arah Andira, lalu dia berkata di samping Raisi, "Gadis itu, gadis itu yang pernah menemani ayahmu saat kami bertemu," ucap Fatma, menunjuk ke arah Andira, Raisi semakin tidak percaya, dia langsung saja menatap ke arah, Andira dengan tatapan mata yang berkaca."Ayah kamu selingkuh Si?" tanya Arman tiba-tiba menambahkan dan menatap lalu menatap ke arah Andira, yang terlihat meneteskan air mata."Ini semua tidak seperti yang kau bayangkan Raisi," ucap Andira dan berjalan ke arah Raisi.Raisi menggeleng dan pergi
Pukul 7 pagi saat itu, terdengar suara pukulan dari luar mobil Martin, sekumpulan anak-anak yang berlari-lari, dimana beberapa diantara mereka memukul-mukul mobil Martin, anak-anak itu terlihat tak terurus, rupanya mereka tengah memulung sampah-sampah yang berserakan di lapangan tempat pekan raya terjadi.Mendengar suara ramai itu membuat Martin yang terlelap di atas mobilnya terbangun, dia menyadari bahwa semalaman dia tertidur di dalam mobil.Martin sesekali mengucek matanya, dan memakai kembali kacamata miliknya, dia melihat anak-anak dengan pakaian kusut dan tak terurus terlihat memulung sampah-sampah yang berserakan.Martin keluar dari mobilnya dan terlihat anak-anak itu memandang ke arahnya. Martin terlihat kebingungan, dan di kepalanya hanya ada Andira."Andira," ucapnya sendiri. Tiba-tiba salah satu anak yang berbaju kusut itu menghampiri Martin. Melihat itu Martin hanya memandang heran."Anda pengunjung pekan raya semalam?" tanya anak itu,
Setelah membawa ke rumah sakit dimana Andira dirawat langsung oleh dokter utama di sana yakni Hatice Dailuna. Martin langsung bergegas ke rumahnya. Dan akan memberi pelajaran untuk Raisi.Martin mengencangkan laju mobilnya tanpa peduli dengan lalu lintas jalan raya, mobil Martin masuk melalui gerbang kediaman Dailuna, tanpa memarkirkan mobilnya dengan baik dia keluar dari mobil dengan raut wajah yang terlihat marah. Pak Rustam yang saat itu membersikan taman terkejut mendengar suara pintu mobil Martin yang tertutup dengan sangat keras. Pak Rustam melihat Martin berjalan dengan wajahnya yang penuh dengan kemarahan.Martin yang saat itu penuh dengan rasa marah langsung saja mendorong pintu rumahnya dengan keras. Berjalan dengan lincah mengarah ke meja makan.Betapa terkejutnya Martin saat melihat keluarganya sedang melaksanakan sarapan pagi, tentu saja dia bingung, siapa yang akan memasak jika itu bukan Andira. Mata Martin memandang bingung dan keluarganya memanda
Ibrahim mencuci tangannya yang terlihat kotor, dan mulai bersiap untuk ke kantor, tapi sebelum itu dia harus pergi membawa anaknya pada wanita baya yang sering ia percayakan. Saat Ibrahim sampai pada di hadapan rumah wanita itu, seorang gadis berusia 13 tahun yang bernama Sabina langsung menghampirinya dengan senyum."Okm brahim udah datang Bu," ucap anak itu dan menggendong Cihan di pelukannya."Hati-hati ya," ucap Ibrahim."Jangan khawatir Om, Cihan aman bersamaku," ucap Sabina dengan senyum di bibirnya."Ibumu ada?" tanya Ibrahim lagi."Ada tuh di dalam," jawab Sabina.Ibrahim masuk ke dalam rumah sederhana itu dan bertemu dengan ibu Sabina."Hei Ibrahim," sambut ibu Sabina."Hai Bi, aku ingin menitip Cihan untuk beberapa hari di sini, aku harus melakukan sesuatu, Bibi juga pasti tahu apa yang harus aku lakukan," ujar Ibrahim."Bibi tahu, kau harus menyelesaikan apa yang telah kamu mulai, aku juga khawatir dengan Aira