Martin berdiri tepat di depan pintu kamar Andira. Dia mendengar isakan di dalam sana. "Aurora is the mericle of the broken me."Andira tentu saja bersedih. Akhir-akhir ini Raisi sering kali mengatakan yang tidak-tidak padanya. Apalagi Martin tahu, kalau Andira juga memiliki rasa terhadap putra sulungnya itu.
Karena malam sudah larut, anggota keluarga lain pasti sudah berada dalam kamarnya. Tertidur dan menikmati mimpi mereka. Martin dia perlahan meraih gagang pintu dan membukanya dengan sangat pelan.
Pintu kamar yang tak terkunci.
Martin berdiri tepat pada bingkai pintu. Dia melihat tubuh kecil itu duduk di atas ranjang dengan tangis di wajahnya.
“Apa aku mengganggu?” tanyanya. Dia masih berdiri tepat di tempatnya.
Andira mendongak ke arahnya. Dan mata basahnya menatap Martin yang prihatin terhadapnya.
“Anda tidak seharusnya di sini Tuan.”
“Ouh, kau benar, aku seharusnya
Dengan siapa aku akan ditakdirkan?Jangan sampai pada dia yang tak menginginkanku.Siapa yang mungkin akan tulus mencintaiku?Jangan sampai hanya karena wajah milikku.Aku muak dengan mereka yang memujikuSetelahnya mereka mengejekku. Memandangku rendah dan menjadikanku yang tidak penting.Suasana pagi yang sunyi. Hembusan angin pagi dirasakannya. Akhir pekan yang sepi. Tenang. Tak ada yang mengusik. Raisi menghindar, tak lagi muncul di hadapannya. Katanya. Dia sekarang tinggal di kondominium yang dibelikan Martin untuk anaknya. Sarah tentu saja sibuk dengan dirinya sendiri. Entah dimana. Randy dan Nadira mungkin memiliki ekstrakurikuler di sekolah.Andira diam di dalam kamar. Luka masih berada di keningnya. Dia terlihat meneteskan air mata. Apa dia menyesal? Ciuman pertamanya adalah milik seorang pria tua. Pria dewasa yang
Apa yang lebih indah dari kedua kelopak mata itu?“Apa impianmu?”Suara Martin serak. Kini dia duduk berdampingan dengan Martin Dailuna di sofa merah tengah taman. Andira menyadari bahwa saat ini dia terjebak dalam dua lingkar berbahaya. Martin Dailuna yang menginginkannya, dan Raisi Dailuna yang diinginkannya.“Aku tidak tahu.”Tatapannya berpaling tak menatap ke arah pria yang juga tak menatap ke arahnya. Mereka masing-masing menatap ke arah depan. Ke arah tanaman yang telah terpangkas indah.“Kau tidak mengimpikan apapun saat ini?”“Mungkin ada.”“Apa itu?”Tatapan Martin langsung menoleh pada gadis berwajah sedih yang tetap indah.“Pergi, pergi ke mana saja. Asal tidak berada di sini.”Suaranya lambat dan sedih. Dia dengan pelan membalas tatapan Martin yang berada di sampingnya. Mereka kini saling bertatap.“Kau
“Berapa yang kau minta?” Raisi bertanya pada gadis yang mulai mengenakan pakaian mininya.“Aku bukan pelacur!”Raisi tersenyum sinis.“Kau putra Martin Dailuna bukan?”“Apa itu penting?”“Tentu.”Pakaian mininya sudah lengkap di tubuhnya. Dia kini kembali berjalan ke arah Raisi yang masih bersandar di kepala tempat tidur. Separuh tubuhnya ditutupi selimut dan separuh yang lainnya tak tertutupi apa-apa. Raisi telanjang dada.Wanita muda itu menunduk lalu kemudian berkata, “Apa kau punya pacar?”“Apa pentingnya itu?”Wanita itu menyinggungkan senyum.“Setiap laki-laki yang bercinta denganku, pasti akan jatuh padaku. Namun tidak denganmu. Kau pasti memiliki seseorang di dalam sana.”Dia kembali berdiri tegak, terlihat angkuh dan tidak murah. Namun dia tanpa sadar sangat terlihat murah di mata Raisi.
Tangannya sibuk memencet-mencet gedget-nya. Dia terus menelpon seseorang, namun sama sekali tidak ada jawaban. Hatice baru saja mendapat kabar bahwa suaminya telah mendarat sejak semalam di Bandara. Namun saat ini suaminya belum saja pulang. Dia takut jika terjadi sesuatu pada sang suami.Sudah banyak kali dia menghubungi sang suami, namun dia sama sekali tak mendapat jawaban apa-apa.Sementara itu...Sekarang ini, Lutfi tengah asyik memandangi Sarah yang sudah selesai dengan makanannya. Sarah terlihat mengusap lembut bibirnya dari noda makanan dengan menggunakan tisu yang sudah tersedia di sana.“Enak bukan?”“Lumayan.”Lutfi juga sudah selesai dengan makanan miliknya, dan mereka bergegas pergi. Lutfi mengeluarkan kartu kredit dari dompetnya dan memberikan salah satu orang pelayan di sana.Tidak lama melakukan transaksi, mereka kembali masuk ke dalam mobil.“Kau ingin ke mana?” Lutfi bertany
Langkahnya tergesa-gesa, dia mengusap keringat dingin yang menetes di keningnya, dia membuka pintu kaca dan masuk ke area rumah. Keringatnya terasa di kulit putihnya. Entah apa yang terjadi jika Raisi menuju halaman belakang.“Oh di sana kau rupanya.”Pemuda tampan itu langsung berjalan ke Andira ketika Andira muncul dan berjalan ke kamarnya. Raisi berlari-lari kecil menuju Andira dan berdiri tepat pada hadapan gadis itu.“Boleh kita bicara?”Gadis itu menunduk dengan sedikit gemetar, kali ini, ayah dengan anak sama menakutkannya. Suasana ruangan yang sejuk dan tenang tak dapat membuat Andira merasa aman.“Andira...”“Iya Tuan Muda.” Dengan suara berat Andira menjawab.“Boleh kita bicara? Hanya sebentar.” Lembut terdengar. Andira mengangguk.“Kita ke belakang saja.”Mata Andira langsung mengarah pada Raisi, dia mendongak dan menatap mata kecil yang t
Seseorang terlihat membuka kotak surat. Dia mengambil semua surat yang berada di sana dan membawanya ke Tuan Besar.Martin terlihat membaca beberapa surat yang diberikan oleh Satpam rumahnya. Matanya terfokus pada satu surat yang bukan untuknya tapi untuk Andira Mirat.“Terima kasih Pak.”Satpam itu hanya mengangguk dengan senyum. Lalu pergi meninggalkan Martin yang berdiri di teras rumahnya.Dia menarik satu surat, dan membukanya. Dia membacanya dan matanya sedikit terbuka lebar dan bibirnya menyinggungkan senyum.“Kabar baik untuk Andira.”Dia berjalan masuk ke dalam rumah, berjalan ke arah kamar tidur Andira dan masuk ke dalamnya. Dia menaruh surat itu di atas meja dekat lemari dan matanya menemukan pulpen dan juga catatan kecil di sana. Lalu dia menulis sesuatu.*Kau akan bermain dan aku penontonnyaPermainan mu akan didengarDan aku adalah penikmatnyaJam tujuh pagi di hari Kamis. *
Sebuah tempat yang terlihat indah, tenang, dan sejuk, tidak banyak pengunjung, hanya beberapa. Langit menampakkan keceriaan dan bercahaya indah walau suhu masih terasa agak panas. Mata kecil indah Hatice menatap ke depan. Dia menyentuh bunga-bunga yang berada di taman itu.“Aku belum pernah ke sini,” sahut Hatice, dia menikmati suasana yang begitu indah di taman bunga yang indah. Bunga-bunga tumbuh di setiap tanah yang ada di sana. Banyak yang berpose, mungkin semua yang ada di sana saling berpasangan.“Ini pertama kalinya?” tanya Ibrahim yang berdiri di samping Hatice.“Iya.”Mata Hatice masih terlihat fokus terhadap bunga-bunga yang indah, berwarna-warni dengan macam-macam bunga. Sebuah tempat yang harum dengan ketenangan yang luar biasa, mungkin inilah yang dicari Hatice selama ini.“Tempat ini sudah lama ada, namun tidak begitu terkenal. Aku sering ke sini, kadang sendirian, kadang membawa Cihan kadang
Andira berjalan cepat masuk ke dalam rumah. Dia melangkah masuk dan melihat Martin yang baru saja keluar dari kamar milik Andira. Tubuh gadis itu diam di tempat. Lalu kemudian dengan cepat berlari. Dia lalu berkata kepada Martin, “Aku mengatakan segalanya pada Raisi.”Lalu dia bergegas masuk ke dalam kamar, menguncinya dari dalam dan matanya melihat kertas surat di atas meja.Sementara Martin, dia terpaku di tempatnya. Apa yang telah dilakukan Andira? Matanya membulat sempurna, dia melihat pintu rumah terbuka, Randy dan Nadira baru pulang. Mereka menyapa ayah mereka. Randy tentu saja baru pulang dari les musiknya sedang Nadira baru pulang dari les bahasa Prancis.Martin hanya memandang ke arah kedua anaknya, tanpa membalas sapaannya. Dia menerka apa yang akan terjadi. Kedua anaknya itu berlalu pergi, mereka tentu ke kamar masing-masing.Raisi datang membuka pintu, matanya menatap mata sang ayah yang memandang ke arahnya. Mereka saling bertatap