Raisi dan teman-temannya terlihat sedang asik nongkrong di salah satu kafe ternama, mereka sering berkunjung ke sana. Mereka sendiri duduk di kursi tamu yang terletak di lantai atas.
Salah seorang teman, dia menyalakan musik yang terdengar seperti alunan biola yang indah, itu mengundang perhatian Raisi. Dia mengingat Andira pernah membunyikan musik itu, dia pernah memainkan musik itu. Kini dia mendengarnya lagi. Raisi yang penasaran kini bergerak dan mendekat ke arah sang teman yang duduk tepat di sampingnya.
"Liat apa?"
"Video singkat. Kau tahu kan aku suka musik. Kebetulan aku nonton salah satu audisi kemarin. Dan ini yang paling indah. Bagus, namun dia tidak lolos."
"Tidak lolos?"
Raisi semakin penasaran, dia bergerak semakin mendekat dan mencondongkan wajahnya pada layar laptop yang ditonton oleh temannya itu. Dia mengenali wajahnya. Dia betul-betul mengenali wajah itu.
"Sepertinya aku mengenalnya."
"Apa yang kau lakukan?" Mata Martin membelalak. Dia menbungkuk dengan tangan di paha dan salah satunya menyentuh bibir yang berdarah. Dia mendongak menatap Raisi yang berdiri tepat di hadapannya."Apa hubunganmu dengan Andira?!" Suaranya besar dan dengan sangat keras, sangat-sangat keras."Aku akan membunuh mu!" Martin yang langsung berdiri dan menatap nanar mata sang anak.Karena terdengar suara bising, Ibrahim yang masih berada di luar juga membuka pintunya dari luar, dan melihat Martin yang mengangkat kera baju putranya. Dia menelan ludah saat melihat amarah di masing-masing mata."Dengar… Saya tidak…""Kenapa kau begitu berani padaku!?"Suara Martin membuat Ibrahim berhenti bicara, tangan Martin semakin kuat menarik kera bajunya, sedangkan Raisi tangannya tidak melawan dia hanya menatap dan membalas tatapan taja
Seorang gadis terlihat mengajari seorang remaja laki-laki di halaman belakang rumah. Dia menampilkan senyum indah dan mengajar dengan sepenuh hati. Andira, dia berdiri di samping Randy yang sedang mencoba bermain biola."Ini sangat susah." Randy mulai mengeluh."Tidak akan susah jika terbiasa. Aku juga dulu seperti itu Tuan Muda."Mendengar apa yang dikatakan Andira, itu membuat Randy merasa sedikit lega, dia masih terlihat menjepit biolanya di antara leher dan bahunya.Tangan Andira mulai menyentuh lembut jemari Randy dan mengarahkannya dalam bermain biola, dia tersenyum saat Randy mulai baik dalam menggunakannya, Randy juga ikut menampilkan senyumnya pada gadis itu."Nah kan, kau sudah bisa. Nanti juga akan terbiasa dan akan lebih muda."Randy mengangguk dan mulai menggesek-gesek lembut senar biola itu. "Begini lebih muda."Andira yang melihat kemajuan dari Randy membuatnya menghela nafas senang, dan mulai menghindar lalu duduk di a
Martin mengelus lembut bibirnya, dan matanya memandang ke bawah, dia merenung dan membayangkan apa yang mungkin terjadi. Apa yang mungkin akan terjadi. Dia terus berpikir, hingga seseorang menyentuk pintu."Jangan ganggu!" Martin saat mendengar ketukan itu. Namun pintu tetap terbuka, membuat Martin menghela nafas berat, dia menatap ke arah pintu dan melihat, istirnya yang melangkah masuk dan menutup pintunya. Martin merasa kesal, hatinya yang sudah sedari tadi panas kini semakin panas.Sarah berjalan masuk dan langsung duduk di kursi tamu di depan meja. Matanya terlihat terkejut melihat Martin dengan pinggir bibir yang pecah dan berdarah."Ada apa dengan bibirmu? Kau terluka?" Dia langsung berdiri dan mencondongkan wajahnya pada Martin, tangannya mencoba menyentuh bibir Martin, namun Martin terlanjur memundurkan wajahnya dan menghindar dari sentuhan Sarah. Dia merasa jijik dan tatapannya sangat-sangat benci. 
Suara besar mengagetkan Andira, dia langsung berdiri dari duduknya bersamaan dengan Randy yang juga terkejut. Pintu kaca itu terbuka dengan keras dan Raisi berdiri tepat di bingkai pintu. Dia berhenti di sana. Andira dan Randy memandang ke arah Raisi.Raisi menatap Andira, begitupun sebaliknya."Aku ingin bicara denganmu." Arah mata dan bicaranya menatap ke arah Andira. Dan Andira dia menoleh ke arah Randy yang juga menoleh ke arahnya. Randy paham dengan maksud Andira, dia beranjak pergi saja dari sana meninggalkan Raisi dan Andira.Setelah pergi dari sana, Raisi menutup pintu kaca itu dan berjalan ke arah Andira. Dia berjalan dan mendekat ke arah gadis yang dia idamkan itu. Mereka kini saling bertatap."Anda ingin bicara apa Tuan Muda?" Andira bertanya, tatapannya tulus menatap Raisi dan suaranya lembut dan juga pelan."Kau mengikuti audisi?" Suara
Tatapan antara Sarah dan Martin beradu, mereka saling bertatap tidak suka. Penolakan Martin mampu membuat Sarah kehilangan kesabarannya dan wajah Sarah yang menjengkelkan membuat Martin ingin sekali mengamuk, dia tanpa sadar telah mengepalkan tangannya. Mengingat apa yang dilakukan Sarah pada adiknya, Hatice. Bagiamana mungkin menjadi selingkuhan seorang suami dari wanita yang telah baik bahkan sangat baik padamu."Pergilah dari sini, aku sangat tidak ingin membahas tentang Raynaldi mu itu!" Martin kini menyandarkan tubuhnya pada kursi kebesarannya dan tangannya berada di atas meja, tatapannya tajam menatap Sarah, bibirnya tipisnya tertutup dan sedikit memonyongkan."Kenapa lebih memilih orang lain kebanding kerabat?" Sarah bertanya lagi, dia juga menyandarkan tubuhnya pada punggung kursinya dan juga menatap tajam mata Martin."Aku hanya memiliki sedikit kerabat, Raynaldi bukanlah kerabat ku."Sekali lagi, ucapan Martin Dailuna men
Matanya memandang keluar pintu, dia sejak tadi sudah melihat dan menguping apa yang seharusnya dia tidak lihat, namun masih kurang memahami maksudnya. Randy dia tidak langsung pergi, dia berhenti dan mengintip. Dia berusaha untuk mendengar namun dia sama sekali tidak terlalu bisa mendengar apa yang dikatakan Andira dan Raisi di luar sana. Namun dia mendengar kata "Lari."Matanya membulat saat mengetahui maksud lari. "Lari Bersamaku." Randy yang berjarak cukup jauh, dan berada di dinding kaca, menengok keluar itu masih dapat mendengar. Dia menelan ludah beberapa kali. "Apa mereka ingin kawin lari?" Randy bertanya-tanya.Sementara itu, Andira dan Raisi masih saling berhadapan di sana. Namun Andira cukup kaget dengan apa yang dikatakan Raisi."Tidak mungkin. Aku tidak bisa.""Kenapa?" Mata Raisi tulus, tangannya kembali menyentuh wajah Andira."Tuan Mud
Martin terlihat mengetuk pintu seseorang, oh ya, itu pintu rumah adiknya. Tak lama kemudian pintu terbuka dari dalam. Martin menampilkan senyum pada pria yang membuka pintu itu."Kak Martin, hei, lama tak berjumpa, mari…" Dia menyambut begitu ramah. Lutfi dengan senyum munafiknya, dibalas dengan senyum menyeringai oleh Martin. Tampak sangat aneh di mata Lutfi."Hati! Kak Martin datang!"Martin melangkah masuk ke dalam, dia melihat luasnya ruangan utama, bersih dan putih, sangat modern. Dia menoleh ke arah Lutfi dan kembali menampilkan senyum pada adik iparnya itu."Mari Kak, duduk dulu." Lutfi mengarahkan Martin untuk duduk."Aku hanya sebentar, aku hanya ingin bicara sebentar.""Tapi sebaiknya, Kakak duduk dulu kan?"Mendengarnya, Martin lebih baik duduk saja daripada terus mendengar Lutfi
Ibrahim terlihat merenung, dia memandang putranya yang tertidur pulas di atas ranjang. Dia memikirkan tentang Martin yang mengundangnya untuk makan malam di rumahnya. Apa yang mungkin di rencanakan pria ini? Itu mungkin yang sedang dipikirkan Ibrahim.Dia ingin menghubungi Hatice namun dia enggang karena itu hanya akan semakin membebani pikiran di antara mereka. Ibrahim takut jika menganggu."Mimpi indahlah putraku. Karena jika kau terbangun, dan kau tumbuh, kau akan kesulitan untuk tetap bermimpi." Ibrahim dan kemudian mengecup kening Cihan yang tertidur. Dia berdiri dan keluar dari kamar kecil sang anak. Dia kemudian masuk ke kamarnya sendiri dan memilih untuk tidak memikirkan apapun, di hanya ingin tidur. Akhir-akhir ini dia sangat jarang bermimpi, apalagi bermimpi indah.Sementara Martin...Dia kehilangan senyumnya, dia saat ini mendengarkan musik modern melalui speaker musik di mobilnya. Baru kali ini ria membunyikan musik modern, b