Martin terlihat mengetuk pintu seseorang, oh ya, itu pintu rumah adiknya. Tak lama kemudian pintu terbuka dari dalam. Martin menampilkan senyum pada pria yang membuka pintu itu.
"Kak Martin, hei, lama tak berjumpa, mari…" Dia menyambut begitu ramah. Lutfi dengan senyum munafiknya, dibalas dengan senyum menyeringai oleh Martin. Tampak sangat aneh di mata Lutfi.
"Hati! Kak Martin datang!"
Martin melangkah masuk ke dalam, dia melihat luasnya ruangan utama, bersih dan putih, sangat modern. Dia menoleh ke arah Lutfi dan kembali menampilkan senyum pada adik iparnya itu.
"Mari Kak, duduk dulu." Lutfi mengarahkan Martin untuk duduk.
"Aku hanya sebentar, aku hanya ingin bicara sebentar."
"Tapi sebaiknya, Kakak duduk dulu kan?"
Mendengarnya, Martin lebih baik duduk saja daripada terus mendengar Lutfi
Ibrahim terlihat merenung, dia memandang putranya yang tertidur pulas di atas ranjang. Dia memikirkan tentang Martin yang mengundangnya untuk makan malam di rumahnya. Apa yang mungkin di rencanakan pria ini? Itu mungkin yang sedang dipikirkan Ibrahim.Dia ingin menghubungi Hatice namun dia enggang karena itu hanya akan semakin membebani pikiran di antara mereka. Ibrahim takut jika menganggu."Mimpi indahlah putraku. Karena jika kau terbangun, dan kau tumbuh, kau akan kesulitan untuk tetap bermimpi." Ibrahim dan kemudian mengecup kening Cihan yang tertidur. Dia berdiri dan keluar dari kamar kecil sang anak. Dia kemudian masuk ke kamarnya sendiri dan memilih untuk tidak memikirkan apapun, di hanya ingin tidur. Akhir-akhir ini dia sangat jarang bermimpi, apalagi bermimpi indah.Sementara Martin...Dia kehilangan senyumnya, dia saat ini mendengarkan musik modern melalui speaker musik di mobilnya. Baru kali ini ria membunyikan musik modern, b
"Andira! Apa kau melihat Randy?" Suara yang membangunkan lamunan antara Martin dan Andira di pintu masuk. Dengan cepat Andira menoleh ke belakang, Sarah sudah berdiri di belakangnya namun dengan jarak yang tidak dekat.Martin yang dibelakang Andira kini menaikkan tangan kanannya di atas bahu kanan Andira, dia meremas bahu itu, Sarah melihatnya, Andira merasakan remasan tangan yang lembut pada bahunya, kali ini dia betul-betul gugup."Minggirlah, aku ingin lewat."Andira menggeser tubuhnya ke samping kiri dan masuklah Martin ke dalam sana, melihat Sarah yang berdiri. Martin menurunkan tangannya."Aku tidak melihatnya Nyonya, sudah sejak siang tadi." Andira yang tangannya saling bergenggam dan menunduk. Martin yang melihat kegugupan Andira langsung berk
Keluarga Dailuna terlihat lengkap, Andira juga sudah selesai menyiapkan makan malam. Martin seperti tidak nafsu dengan makanannya, dia hanya memandang makanan tanpa selera, setiap yang ada di sana memandang ke arahnya.Sebelum Andira pergi dari sana, dia sempat menoleh pada Martin hunga sesaat kemudian berjalan pergi dan menyiapkan makanan untuk dirinya sendiri.Tatapan takut dan menunduk terlihat pada raut wajah Randy, Nadira terlihat memainkan ponselnya sambil memakan sarapannya, Sarah sesekali memperhatikan Martin dan Raisi dia hanya menatap tidak suka pad ayahnya."Apa kau tidak akan memakan makanan mu Mart?" tanya Sarah. Mendengarnya Martin menelan ludah dan mengalihkan pandangannya pada Sarah. "Aku tidak selera.""Kenapa begitu? Ada yang kau pikirkan?" Sarah bertanya lagi. Nadira yang tadinya fokus dengan ponselnya juga mulai memperhatikan ayah dan ibunya. "Sepertinya akan ada perang lagi." Nadira dengan suara kecil, semua or
Dengan langkah pelan Andira mendaki tangga dan akhirnya langkahnya sampai tepat di hadapan pintu ruangan kerja Martin. Dia mengetuk sebelum masuk."Tidka terkunci." Suara dari dalam pintu dan membuat Andir langsung membuka pintunya dengan pelan, dia sangat hati-hati karena ditangannya terdapat nampang berisikan makanan dari Tuan besarnya.Setelah berada di dalam ruangan, dengan pelan juga dia menutup pintunya. Dan berjalan dengan langkah yang lebih hati-hati menuju meja makan Si Tuan Besar yang terlihat kaku dan memandang dengan tajam. Andira tahu, pasti jika berwajah begitu maka Martin sedang tidak dalam perasaan yang baik-baik saja.Dengan pelan Andira menurunkan nampannya dan dengan pelan pula dia menaruh nampang itu. "Makanan Anda Tuan." Andira dengan nada suara yang lembut tak lupa memberi senyum."Randy melihat mu tadi." Martin yang langsung membuat Andira merasaka
Pagi tiba, pintu terbuka dari luar dan masuklah Andira ke dalam ruangan itu, dia melihat dan mendengar musik yang masih berbunyi, dengan pelan dia mematikan bunyi musiknya dan dengan lembut mulai membangunkan Martin."Tuan. Anda harus bangun, sarapan pagi sudah siap." Dia sambil menepuk lembut wajah Martin. Mata itu perlahan terbuka, mata lelah yang masih ditempeli kacamata."Anda bahkan tidak melepas kacamata Anda." Andira yang membantu Martin untuk terbangun dan duduk lebih tegak."Aku tidak tertidur."Andira yang membersihkan meja dari tumpukan buku yang dijadikan banyak untuk kepala Martin kini terdiam sejanak. "Kenapa tidak tidur?""Aku tidak bisa mengeluarkan mu bahkan hanya sedetik dalam benakku." Jawaban itu lemah namun membuat Andira menelan ludahnya dan kembali menyusun rapi tumpukan bukunya lalu kembali membatalkannya pada rak buku."Anda seharusnya tidur Tuan. Tidak baik jika tidak."
"Ada apa denganmu?" Nadira bertanya, dia mengunjungi kelas adiknya hanya karena bosan di kelasnya. Saat bertemu dengan Randy dia sudah melihat Randy yang terlihat selalu merenung, teman-temannya pun mengatakan bahwa Randy sudah sejak pagi seperti itu. Karena itulah Nadira mengajak adiknya untuk keluar kelas dan pergi saja ke kantin, namun sama saja wajah dan sikapnya masih berbeda."Kau ingin makan apa?" Nadira bertanya lagi. Namun Randy masih tidak menjawab. Karena sikap dingin dan diamnya, Nadira menyentuh kening adiknya itu, sama sekali tidak terasa panas. "Lama-lama kau seperti Papa, nggak bisa bicara," ucapnya sambil terkekeh."Kau tahu, Kak Raisi dan Andira pacaran.""Apa?" Matanya membulat dan menganga."Aku tidak seharusnya memberi tahu Papa.""Kau memberitahu Papa?"Perbincangan mereka kini lebih serius."Aku memberitahunya, bagaimana kalau dia menghukum Kak Raisi? Dan juga meng
"Tuan Muda, kenapa pulang lebih awal?" tanya si Satpam."Aku tidak enak badan Pak," jawabnya pelan dan lemah. Pak Mamat yang juga berada di sana melihat orang yang harus dijemputnya ternyata sudah pulang."Kenapa tidak telpon saya Tuan Muda, kan saya bisa jemput." Pak Mamat menyahut."Jemput Kak Nadira saja sebentar Pak. Aku masuk ya Pak."Mereka berdua mengangguk, namun mata Randy tersangkut pada mobil ayahnya yang sudah siap namun sudah jam sebelas siang tapi belum berangkat. Dia menoleh dan bertanya lagi, "Papa belum pergi?""Belum Tuan Muda, aku sudah siapkan mobilnya sejak tadi tapi dia belum keluar rumah," jawab Pak Mamat dan hanya dibalas anggukan serta senyum oleh Randy.Randy kembali berbalik dan berjalan ke depan, menyapa Pak Rana yang si tukang kebun yang tua sedang merapikan bunga-bunga. Dia masuk ke dalam rumah dan kembali mengunci rumah itu. Rumah yang selaku terkunci. Dia berjalan masuk dan
Mereka bertiga menganga tipis, matanya membulat sesekali menelan ludah. Andira terpaku, dia hanya memeluk tubuhnya dan tak memandang lagi ke arah Randy, dia memandangi Martin yang juga terpaku di tempatnya.Martin yang baru tersadar kini turun dari meja dan buru-buru meraih pakaian yang terdapat di lantai dia melemparnya pada Andira untuk segera menutup dirinya. Sedangkan Martin dia mengenakan celana kain miliknya dengan sangat buru-buru dan Randy dia terpaku di tempatnya dan hanya menganga tipis tanpa bergerak sedikit pun."Randy, Nak." Dia melangkah cepat ke arah pintu dan berusaha untuk menenangkan Randy yang gemetar di bingkai pintu, namun sebelum Martin sampai di hadapan Randy, anak itu sudah berlari dengan kencang menyusuri lorong. Martin mengejarnya, takut jika anaknya itu melapor atau mengatakan apa yang dilihatnya pada siapapun."Randy! Berhenti!"Ma