Mereka bertiga menganga tipis, matanya membulat sesekali menelan ludah. Andira terpaku, dia hanya memeluk tubuhnya dan tak memandang lagi ke arah Randy, dia memandangi Martin yang juga terpaku di tempatnya.
Martin yang baru tersadar kini turun dari meja dan buru-buru meraih pakaian yang terdapat di lantai dia melemparnya pada Andira untuk segera menutup dirinya. Sedangkan Martin dia mengenakan celana kain miliknya dengan sangat buru-buru dan Randy dia terpaku di tempatnya dan hanya menganga tipis tanpa bergerak sedikit pun.
"Randy, Nak." Dia melangkah cepat ke arah pintu dan berusaha untuk menenangkan Randy yang gemetar di bingkai pintu, namun sebelum Martin sampai di hadapan Randy, anak itu sudah berlari dengan kencang menyusuri lorong. Martin mengejarnya, takut jika anaknya itu melapor atau mengatakan apa yang dilihatnya pada siapapun.
"Randy! Berhenti!"
Ma
Andira yang masih berada di ruangan Martin Dailuna dengan sangat lemas dia mengenakan pakaiannya, dia menyentuh paha dan kemaluan miliknya yang berdarah. Bibirnya gemetar dan dia mulai menangis tubuhnya sangat gemetar. Dia duduk di atas lantai bersandar pada dinding meja. Dia memeluk tubuhnya dan terus menangis, dia terisak, dan terus terisak. Ada perasaan menyesal dalam dirinya, dia sangat menyesal berada di rumah itu. Dia juga menyesal telah membuka hati pada Martin Dailuna. Air matanya terus mengalir membasahi pipi-pipi cantiknya. Puas menangis, dia menghapus air matanya dengan sangat kasar, lalu berdiri, pakaiannya sudah lengkap pada tubuhnya, dan mulai membersihkan meja yang ternodai darah, serta lantai juga. Dia mengumpulkan pakaian Martin, dan keluar dari tempat itu. Saat berada di bingkai pintu, dia menatap masuk ke dalam ruangan dengan mata basah miliknya. Dia dengan pelan menutup pintunya dan berjalan turun dengan air mata yang terus menetes. Saat menuruni tangga dia mene
"Ha? Papa mengatakan itu hanya untuk memanas-manasi ku bukan?" ucap Raisi berusaha untuk menahan emosi dan kekesalannya. Martin yang masih memandang ke arah Raisi hanya tersenyum, dia mengangguk-angguk pelan. "Kini kau bisa menahan emosimu, anak pintar." Sambil menepuk-nepuk punggung Raisi. "Jangan menyentuhku idiot." Raisi dengan sangat kesal dan berapi-api tanpa menatap ayahnya. Martin memilih untuk diam saja dan tersenyum tipis. Hampir saja dia membuat masalah dengan mulut brengseknya. Untungnya Raisi menganggap itu hanya perkataan yang tidak penting. Hatice sendiri menenangkan Sarah dan duduk di kursi tunggu. "Kapan aku bisa melihatnya?" tanya Sarah saat berhasil duduk di samping Hatice. "Setelah aku melihatnya!" Martin yang tiba-tiba menyahut. Memuat Raisi, Hatice dan Sarah menoleh ke arahnya. "Aku yang akan melihatnya, pertama. Sebelum kalian, ketika dia sadar." "Kau?… Sejak kapan kau peduli pada anakmu, ha?" Mata Sarah membulat sempurna. Kesal dengan apa yang dikatakan san
"Kau lama sekali di dalam!" Sarah yang langsung berkata kesal pada suaminya. Dia melepas tangan Hatice dan masuk ke dalam kamarnya mengabaikan orang-orang yang ada di sana. Martin tidak membalas, dia hanya memandang Andira dan juga Nadira yang tiba-tiba datang."Apa yang dilakukan Andira di sini?" tanya Martin dan mendekat ke arah putrinya. "Non Nadira yang…""Aku tidak bertanya padamu. Aku bertanya pada putriku." Andira langsung diam dan menunduk, nada suara yang dingin dan terkesan mengejek membuat Andira yang sejak tadi sudah menangis kembali berkaca-kaca matanya. "Ouh Andira, aku menyuruhnya untuk ikut denganku ke sini, lagi pula dia sejak tadi terus menangis, aku pikir dia cemas terhadap Randy, jadi aku ajak saja," jelas Nadira. Hatuce memandang ke arah Andira yang terus menunduk, dia memperhatikan mata yang terlihat bengkak itu. Dan Martin yang mendengar apa yang dikatakan anak tengahnya itu dia langsung memandang ke arah Andira yang terlihat terus menunduk. "Aku lapar. Kau
Air matanya masih saja mengalir, bahkan saat dia sudah bersama Martin. Mereka berdua sudah berada di atas mobil. Pak Mamat sendiri yang menjadi sopir dan Martin berada di belakang bersama Andira yang masih terisak. Pak Mamat yang menjadi sopir mereka hanya diam dan tak bicara apa-apa, melihat Tuannya juga diam, dan yang harus dia lakukan juga hanyalah diam. Martin memandang keluar jendela dan mengabaikan suara tangis Andira yang sedikit mengganggu. Namun suara tangis dan isakannya juga sangat-sangat menjengkelkan. "Sudahlah, menangis lah jika sampai di kamarmu. Aih… Bahkan istriku saja tidak menangis seperti itu," ucap Martin tanpa memandang ke arah Andira. Andira mulai berhenti meneteskan air mata namun suara isakan darinya masih terdengar jelas. "Aku… Aku melihat… Darahnya, aku terus mengingat darah itu." Andira, dia berkata dengan terbata-bata dan kembali menangis. Pak Mamat yang berada di depan merasa prihatin namun apa yang dilakukan Andira tidaklah baik, apalagi di hadapan T
* Martin yang berjalan ke arah pintu dengan tubuh lemas dsn berusaha untuk tetap kuat. Ini semua adalah kesalahannya. Dia menyadarinya itu. Cinta yang dia inginkan adalah cinta yang akan menjatuhkannya ke dalam api. Dia membuka pintu yang sudah rusak itu, karena melihat pintunya yang rusak sesegera dia menelpon seorang tukang untuk memperbaikinya. Lalau dia masuk ke dalam rumah. Dia mengarah ke kamar Andira yang hanya tertutup setengah. Raisi sudah ada di sana, dia bercakap dengan Andira. "Raisi menunggunya di dalam kamar?" tanya Martin sendiri dengan suara kecil. Dia membukanya lebar, pintu itu dan melihat Andira dan Raisi menoleh ke arahnya. "Apa yang kau lakukan di kamar seorang pembantu?" tanya Martin, tatapannya langsung mengarah pada Raisi. "Kenapa Papa menguping di depan pintu kamar seorang pembantu?" Raisi bertanya balik, dan berdiri dari duduknya. "Saya ingin bertemu dengan Andira. Saya lapar, saya ingin dimasakkan sesuatu," jawab Martin dengan santai namun terdengar teg
Ibrahim sudah mendapat kabar bahwa tidak akan ada makan malam di rumah Tuan Besar Dailuna, karena terjadi kecalakaan di sana. Ibrahim masih sangat penasaran kenapa Martin mengajaknya untuk makan malam. Karena rasa penasarannya dia menghubungi seseorang di rumah itu. Tentu saja mantan anak didiknya di kampus. Raisi.Namun Raisi sama sekali tidak mengangkat panggilannya, membuat Ibrahim merasa kesal."Apa kau tahu dimana anak Tuan Dialuna dirawat?" Ibrahim bertanya pada Fainah, sekretaris pribadi Martin."Seperti biasa, di rumah sakit adiknya. Hatice Hospital Dailuna," jawabnya dengan santai.Dia mengangguk-angguk, dan berkata lagi, "Aku ingin meminta izin, apa boleh? Aku ingin menjenguk anak Pak Martin…"Belum sempat mengatakan semuanya, Fainah terlihat memandang Ibrahim dengan kesal. Sudah sering kali dia meminta izin dan menggantinya dengan kerja lembur."Tenang saja, aku akan lembur lagi, aku akan kembali kemari sebentar okey," ucap Ibrahim saat dia menyadari tatapan tajam Fainah."
Martin dan Raisi saat ini tengah sarapan. Dan Martin sendiri terlihat dengan wajah kesalnya. Andira meninggalkan mereka setelah menyiapkan makanan, dia malah berkirim pesan dengan seseorang."Dia tega sekali," sahut Raisi, namun tidak dihiraukan oleh Martin. Martin Dailuna sendiri asik dengan makanan yang yang dikunyahnya."Apa yang Papa akan lakukan? Jika Mama berselingkuh?"Pertanyaan yang membuat Martin berhenti mengunyah dan langsung menelan makanannya dengan dua tegukan air. Dia menghela nafas dan berkata, "Dua sudah lakukan," jawabnya dan melanjutkan kembali sarapannya.Jawaban ayahnya membuat Raisi berpikir sejanak dan memandang ke arah ayahnya."Mama selingkuh?" Matanya menatap tajam sang ayah."Dia lebih cepat dariku." Martin menjawab diiringi dengan menolehnya dia ke arah Raisi.Raisi tidak percaya dan hanya terkekeh kecil."Tidak mungkin Mama seperti itu," ucapnya, tangannya meraih gelas berisikan air dan langsung meneguknya."Tidak usah percaya. Perceraian kami sebentar la
Pak Mamat melangkah ke arah pintu rumah Martin Dailuna, dan pintu itu sama sekali tidak terkunci. Raisi keluar dengan buru-buru dan hanya membanting pintu tanpa menguncinya. Karena itulah Pak Mamat dengan mudah langsung membuka pintu rumah itu.Dia sesekali menatap ke arah belakang, dimana Pak Rustam dan Pak Kader melihat ke arahnya, tangan Pak Rustam terlihat melambai dan memberi isyarat untuk masuk.Pak Mamat melangkah masuk dengan pelan tanpa menutup pintu rumah itu, dia membiarkan pintunya agar tetap terbuka. Kini dia berjalan dengan cepat. Dia mendengar suara di area dalam ruang makan. Untungnya rumah besar ini memiliki beberapa tiang yang berukuran besar dan tinggi, sehingga bisa membuat siapapun bersembunyi dan tak terlihat jika berada di balik tiang dinding itu.Pak Mamat kini menempel pada tiang dinding yang berdekatan dengan ruang makan. Dia mengintip ke arah Martin yang sedang lahap memakan makanannya. Lalu mata Pak Mamat mulai membulat saat dia melihat Andira keluar dari r