Air matanya masih saja mengalir, bahkan saat dia sudah bersama Martin. Mereka berdua sudah berada di atas mobil. Pak Mamat sendiri yang menjadi sopir dan Martin berada di belakang bersama Andira yang masih terisak. Pak Mamat yang menjadi sopir mereka hanya diam dan tak bicara apa-apa, melihat Tuannya juga diam, dan yang harus dia lakukan juga hanyalah diam. Martin memandang keluar jendela dan mengabaikan suara tangis Andira yang sedikit mengganggu. Namun suara tangis dan isakannya juga sangat-sangat menjengkelkan. "Sudahlah, menangis lah jika sampai di kamarmu. Aih… Bahkan istriku saja tidak menangis seperti itu," ucap Martin tanpa memandang ke arah Andira. Andira mulai berhenti meneteskan air mata namun suara isakan darinya masih terdengar jelas. "Aku… Aku melihat… Darahnya, aku terus mengingat darah itu." Andira, dia berkata dengan terbata-bata dan kembali menangis. Pak Mamat yang berada di depan merasa prihatin namun apa yang dilakukan Andira tidaklah baik, apalagi di hadapan T
* Martin yang berjalan ke arah pintu dengan tubuh lemas dsn berusaha untuk tetap kuat. Ini semua adalah kesalahannya. Dia menyadarinya itu. Cinta yang dia inginkan adalah cinta yang akan menjatuhkannya ke dalam api. Dia membuka pintu yang sudah rusak itu, karena melihat pintunya yang rusak sesegera dia menelpon seorang tukang untuk memperbaikinya. Lalau dia masuk ke dalam rumah. Dia mengarah ke kamar Andira yang hanya tertutup setengah. Raisi sudah ada di sana, dia bercakap dengan Andira. "Raisi menunggunya di dalam kamar?" tanya Martin sendiri dengan suara kecil. Dia membukanya lebar, pintu itu dan melihat Andira dan Raisi menoleh ke arahnya. "Apa yang kau lakukan di kamar seorang pembantu?" tanya Martin, tatapannya langsung mengarah pada Raisi. "Kenapa Papa menguping di depan pintu kamar seorang pembantu?" Raisi bertanya balik, dan berdiri dari duduknya. "Saya ingin bertemu dengan Andira. Saya lapar, saya ingin dimasakkan sesuatu," jawab Martin dengan santai namun terdengar teg
Ibrahim sudah mendapat kabar bahwa tidak akan ada makan malam di rumah Tuan Besar Dailuna, karena terjadi kecalakaan di sana. Ibrahim masih sangat penasaran kenapa Martin mengajaknya untuk makan malam. Karena rasa penasarannya dia menghubungi seseorang di rumah itu. Tentu saja mantan anak didiknya di kampus. Raisi.Namun Raisi sama sekali tidak mengangkat panggilannya, membuat Ibrahim merasa kesal."Apa kau tahu dimana anak Tuan Dialuna dirawat?" Ibrahim bertanya pada Fainah, sekretaris pribadi Martin."Seperti biasa, di rumah sakit adiknya. Hatice Hospital Dailuna," jawabnya dengan santai.Dia mengangguk-angguk, dan berkata lagi, "Aku ingin meminta izin, apa boleh? Aku ingin menjenguk anak Pak Martin…"Belum sempat mengatakan semuanya, Fainah terlihat memandang Ibrahim dengan kesal. Sudah sering kali dia meminta izin dan menggantinya dengan kerja lembur."Tenang saja, aku akan lembur lagi, aku akan kembali kemari sebentar okey," ucap Ibrahim saat dia menyadari tatapan tajam Fainah."
Martin dan Raisi saat ini tengah sarapan. Dan Martin sendiri terlihat dengan wajah kesalnya. Andira meninggalkan mereka setelah menyiapkan makanan, dia malah berkirim pesan dengan seseorang."Dia tega sekali," sahut Raisi, namun tidak dihiraukan oleh Martin. Martin Dailuna sendiri asik dengan makanan yang yang dikunyahnya."Apa yang Papa akan lakukan? Jika Mama berselingkuh?"Pertanyaan yang membuat Martin berhenti mengunyah dan langsung menelan makanannya dengan dua tegukan air. Dia menghela nafas dan berkata, "Dua sudah lakukan," jawabnya dan melanjutkan kembali sarapannya.Jawaban ayahnya membuat Raisi berpikir sejanak dan memandang ke arah ayahnya."Mama selingkuh?" Matanya menatap tajam sang ayah."Dia lebih cepat dariku." Martin menjawab diiringi dengan menolehnya dia ke arah Raisi.Raisi tidak percaya dan hanya terkekeh kecil."Tidak mungkin Mama seperti itu," ucapnya, tangannya meraih gelas berisikan air dan langsung meneguknya."Tidak usah percaya. Perceraian kami sebentar la
Pak Mamat melangkah ke arah pintu rumah Martin Dailuna, dan pintu itu sama sekali tidak terkunci. Raisi keluar dengan buru-buru dan hanya membanting pintu tanpa menguncinya. Karena itulah Pak Mamat dengan mudah langsung membuka pintu rumah itu.Dia sesekali menatap ke arah belakang, dimana Pak Rustam dan Pak Kader melihat ke arahnya, tangan Pak Rustam terlihat melambai dan memberi isyarat untuk masuk.Pak Mamat melangkah masuk dengan pelan tanpa menutup pintu rumah itu, dia membiarkan pintunya agar tetap terbuka. Kini dia berjalan dengan cepat. Dia mendengar suara di area dalam ruang makan. Untungnya rumah besar ini memiliki beberapa tiang yang berukuran besar dan tinggi, sehingga bisa membuat siapapun bersembunyi dan tak terlihat jika berada di balik tiang dinding itu.Pak Mamat kini menempel pada tiang dinding yang berdekatan dengan ruang makan. Dia mengintip ke arah Martin yang sedang lahap memakan makanannya. Lalu mata Pak Mamat mulai membulat saat dia melihat Andira keluar dari r
Beberapa saat kemudian, saat Andira keluar dari dapur dan Martin masih duduk di tempatnya dimana meja masih terlihat beberapa sisa makanan, Andira kembali melap dan membersihkan mejanya dengan alat lap.Martin terlihat memijat-mijat keningnya, perasaannya sangat bimbang, sangat-sangat bimbang.Saat selesai melap Andira kembali duduk di kursi dan ikut larut dalam kebimbangan."Apa yang akan Tuan lakukan jika aku pergi?" tanya Andira tiba-tiba."Kau tidak akan pergi."Andira kembali diam, dia melihat Martin yang masih terlihat sangat-sangat lelah. Tentu saja, dia baru saja melihat putranya terjatuh dari tangga. Atau mungkin putranya akan melalui hari-hari dengan kebencian terhadap ayah dan juga Andira."Aku akan ke kamarku." Andira dan berdiri dari duduknya. Martin tidak berniat menahannya dan akan membiarkan Andira berlalu. Namun nyatanya tangannya menahan pergelangan tangan Andira."Duduk."Andira pun kembali duduk."Tetaplah bersamaku."Sudah jelas apa yang dilihat Pak Mamat, sangat-
Sebuah pesan didapatkan oleh Ibrahim, begini pesannya, "Dia ingin mengumumkan perceraian dengan Sarah." Setelah membacanya Ibrahim langsung menyadari bahwa selain mengumumkan perceraian, Martin juga ingin memberitahu tentang perselingkuhan dirinya dengan Hatice. Dia menelan ludah saat menyadari hal itu. Saat ini, dia tengah duduk di hadapan Hatice, mereka menunggu makanan yang mereka pesan untuk tiba. Dia mematikan daya ponselnya dan menaruhnya di atas meja. Dia memandang ke arah Hatice yang menatapnya dengan senyum. Dia membalas senyum itu begitu tulus. Ibrahim menopang dagunya dan menatap ke arah Hatice lalu berkata, "Aku ingin bertanya sesuatu padamu.""Silakan." Hatice yang ikut menopang dagunya menatap Ibrahim. "Bagaimana jika kita kabur bersama." Hatice tercengang sejenak lalu terkekeh. Dia menjawab, "Kau becanda bukan?""Tidak. Aku betul-betul tidak bercanda. Aku pikir Martin tidak suka denganku. Kau tidak berniat untuk cerai?" Hatice menganga tipis mendengar Ibrahim yang s
Masih berada di meja makan Dailuna. Andira dan Martin masih sedang bercakap dan memandang. "Anda belum mandi bukan? Sebaiknya mandi dulu." Andira yang sudah berniat untuk pergi. "Kau ingin mandi bersamaku?" Martin yang menyeringai menatap Andira. "Aku sudah mandi.""Kau bisa mandi lagi. Mandilah bersamaku."Martin mengajak sekali lagi. Andira berpikir lagi, dia bimbang, ingin menolak, untuk hari ini dia sudah sangat lelah, walau dia juga begitu menikmati momen pertamnya. "Tuan Martin, pinggangku masih sakit."Martin tersenyum dan menyentuh lembut pipi Andira. "Hanya mandi, temani aku." Andira berpikir sejenak lalu berkata, "Baiklah."Martin dan Andira kini berdiri dari duduknya, Martin berjalan di depan. Martin berniat untuk mandi di kamarnya namun Andira berkata, "Di kamarku saja," ucapnya sambil menahan lengan Martin. Martin pun menoleh dan tersenyum, dia mengangguk dan melanjutkan jalannya. Saat Martin berjalan jauh ke depan, Andira lalu meraih ponselnya dan mengetikkan pesa