Setelah mengatakan itu, Andira berjalan keluar dapur, sementara Hatice, dia tercengang. Jika mereka saling menyukai, itu tandanya, sudah terjadi sesuatu di antara mereka. Mungkin itu alasan pasti kenapa Martin ingin bercerai, karena Andira juga sudah menyukainya. Itu yang dipikirkan Hatice. Andira sendiri berjalan keluar, saat akan membuka pintu Martin terlihat turun dari tangga dengan baju tidur yang melekat pada tubuhnya. Andira menyapanya dengan senyum dan Martin dengan lincah menghampirinya. "Roti isi?" "Aku selalu membawakan ini untuk mereka." "Tidak ada untukku?" "Anda bisa buat sendiri di dalam." Martin mengernyit. "Berani sekali nyuruh-nyuruh majikan." Andira hanya tersenyum jengkel. Merkea terdiam, hening sejenak, Martin memijat leher bagian belakangnya dan memandang Andira yang terus memalingkan pandangannya. "Baiklah, bawakan mereka makanan itu." Martin dan membantu Andira membuka pintunya. "Eh tunggu." Martin menahan Andira. Martin ingin memberitahu soal Pak Mam
Martin yang masih dengan pakaian tidurnya berjalan masuk ke dalam area rumah, dia berniat membuat teh kopi sendiri untuk dirinya, namun saat akan ke dapur dia bertemu dengan Hatice yang diam kaku. Melihat adiknya diam tanpa menyapa Martin berniat menyapanya terlebih dahulu. Dia berdiri tepat di hadapan adiknya yang diam kaku. "Pagi, Hati." sapanya dengan menatap mata kecewa Hatice. Adiknya itu tidak menjawab, dan Martin menunggu jawaban, karena tak dijawab, Martin berkata lagi, "Kau baik-baik saja?" Kedua tangannya berada di bahu Hatice. Mendengar sang Kakak dan melihatnya masih berdiri di hadapannya, membuat Hatice merasa kesal dan jengkel. Dia mengangkat kepalanya menatap Martin lalu-- Plak! Dia ditampar, tangan kanan Hatice menampar pipi kiri Martin Dailuna. Wajah Martin sendiri menatap lantai dan tangan kanannya menyentuh lembut pipinya. Dia kembali menatap Hatice dengan tatapan heran dan mulut yang menganga tipis. "Apa yang kau lakukan?" tanya Martin dengan tatapan yang begit
Andira akan segera ke rumah ibunya, Pak Mamat sendiri yang akan antar, Martin melihat kepergian gadis itu di teras rumahnya. Andira sama sekali tidak melambai, padahal Martin mengharapkan lambaian tangan dari Andira. Martin sendiri akan segera ke kantornya. Dia sudah lama tidak masuk, namun sebelum ke kantor dia menemui putranya dulu. Dia bersiap dan segera berangkat ke rumah sakit, dalam perjalanan dia mendengarkan musik dari speaker mobil, musik yang tidak terlalu keras suaranya dan begitu lambat. Martin menikmati musik dan perjalanannya, dia juga menikmati imajinasinya. Bibirnya melengkungkan senyum saat mengingat apa yang dia lalui dengan Andira. Awalnya dialah yang agresif namun pada akhirnya, takdir berpihak padanya. Andira adalah keinginan Martin yang terwujud. Perasaan Martin penuh bunga, ibaratkan suatu tempat, hatinya kini menjadi taman bunga. Dia terus tersenyum, dia berusaha mengabaikan masalahnya, dalam benaknya dia menolak mengingat hal yang buruk, dia hanya ingin baha
Setelah mengantar Nadira, Hatice langsung pergi namun bukan ke rumah sakit, Hatice pergi ke suatu tempat. Dia mengirimkan pesan pada seseorang, siapa lagi kalau bukan kekasih gelapnya. "Aku akan segera tiba."Pesan itu terkirim dan Hatice langsung mematikan ponselnya dan semakin melajukan laju mobilnya. Dia sampai alamat dimana rumah-rumah di sana dipenuhi orang-orang, di teras rumah banyak sekali warga, tidak seperti sebelum Hatice datang. Beberapa orang memandangi mobilnya dan terlihat penasaran saat melihat Hatice keluar dari rumah itu. Hatice mengetuk pintunya dan terbukalah dari dalam. Hatice tersenyum saat melihat Ibrahim berdiri di hadapannya. "Masuklah." Dengan langkah pelan Hatice masuk ke dalam rumah itu. Ibrahim menutup pintunya, dia menguncinya dari dalam. Mereka saling memandang dan akhirnya Hatice memeluk Ibrahim, mereka saling berpeluk. "Sejak semalam aku sudah ingin bertemu denganmu." "Sekarang kau sudah bertemu dengan ku." Mereka berlepas peluk, kedua tangan Ib
Mobil Pak Mamat akhirnya sampai di hadapan rumah sederhana Bi Ana. Namun Pak Mamat kedua matanya menyipit saat melihat sesuatu yang dia kenali. Dia mencondongkan wajahnya ke depan dan melihat mobil yang dikenalinya. "Bukankah itu mobil Nyonya Hatice?" Pak Mamat dan membuat Andira juga ikut mencondongkan wajahnya, dia menelan ludah dan mulai menyadari sesuatu. "Plat nomornya sama?""Sama persis Neng." "Apa yang dilakukannya di sini?" Andira yang masih terlihat heran. Dia mengernyit namun dia tetap harus turun dari mobil. Dalam perjalanan dia membeli banyak hal untuk ibu dan adiknya. Dia meminta Pak Mamat untuk masuk dan bertamu di rumah Bi Ana namun Pak Mamat menolak dan hanya akan menunggu di mobil. Andira keluar dari mobil dan berjalan ke arah pintu. Dia mengetuk dan tak lama dibukakan pintu dari dalam. "Kakak!" Adiknya langsung memeluk Andira. Mereka berdua saling memeluk. Mereka masuk ke dalam rumah. "Bu, Kak Andira datang!"Mereka berjalan ke arah kamar, dimana ibu dan seor
Martin sendiri mengunjungi alamat yang diberikan Fainah padanya, itu karena dia ingin mencari tahu tentang adiknya. Setelah sampai dia melihat mobil putih Hatice yang terparkir beberapa jarak dari rumah sederhana di sana. "Itu mungkin rumah Ibrahim," monoloognya. Dia memantau dari dalam mobilnya, kapan kiranya Hatice akan keluar. Dia juga ingin tahu kapan dia mengunjungi tempat itu. Namum mungkin sudah lama dia tak berkunjung jadi lupa dengan alamatnya.Karena kesal hanya menunggu, Martin menghubungi nomor Hatice, namun Hatice sama sekali tak bisa dihubungi. Martin yang kesal, tentu saja kesal memilih untuk keluar dari mobil. Dia bertanya pada orang di sana dan begini jawabannya, "Wanita itu memang sering datang ke rumahnya. Mereka sudah sejak jam sepuluh pagi berada di dalam rumah. Tapi sekarang belum keluar-keluar." "Ibrahim kadang menjadi sangat supel namun kadang juga menjadi sangat dingin, dia gampang berubah sikap.""Iya Ibrahim punya anak, dan anaknya selalu dititipkan, hari i
Andira menatap keluar jendela, dia memikirkan sesuatu. Dia memikirkan apa yang dilakukan Hatice di rumah Ibrahim? Apa mereka juga saling menyukai? Apa yang terjadi? Ini bukanlah urusannya, namun dia merasa pemasaran akan hal itu. Saat asik merasakan hembusan angin dari luar jendela yang terbuka, tiba-tiba pesan masuk ke dalam ponselnya. Pesan dari Martin. "Datanglah lebih cepat, aku ingin bicara." Andira hanya membacanya tanpa membalas pesannya. Dia mematikan kembali ponselnya dan hanya menatap keluar jendela. Kepalanya sudah banyak dipusingkan banyak hal. "Kita langsung pulang atau mau singgah ke tempat lain Neng?" tanya Pak Mamat. "Langsung pulang saja Pak." Andira menjawab singkat, dan Pak Mamat hanya mengangguk. Laju mobilnya tidak begitu cepat, dan juga tidak lambat, sehingga hembusan angin yang menerpa wajah Andira begitu lembut dan terasa nikmat. "Aku mendapatkan apapun yang kuinginkan, termasuk dirimu, Andira." Ucapan Martin yang tiba-tiba muncul dibenaknya. "Dia betu
Martin tahu semuanya. Makan malam akhirnya tiba. Kaki Sarah melangkah turun dari tangga dengan perasaan cemas, jemarinya gemetar. Martin tidak mengatakan apa-apa pada Sarah setelahnya. Sarah hanya menganga dan langsung pergi dari sana. Malam tiba, Hatice dan suaminya datang. Saat melihat Sarah, Hatice langsung berlari kecil dan memeluk kakak iparnya."Kenapa memelukku? Bukankah kita bertemu di rumah sakit?" Sarah yang berusaha agar tetap tenang. Lutfi yang berada di belakang Hatice terlihat menatap Sarah dengan senyum. Walau Sarah tidak melihatnya. "Aku hanya senang kau sudah bisa kembali ke rumahmu, bersama Randy," jawab Hatice, dan mereka melepas peluk. Lalu bel rumah berbunyi kembali, Andira dengan cepat berjalan ke arah pintu, melewati Sarah dan yang lainnya. Hatice memandanginya sejenak dengan tatapan tidak suka. Sarah lalu mengajak mereka berjalan ke arah meja makan. Mereka saling bergandengan, Sarah dan Hatice. Namun perasaan Sarah begitu gundah sangat-sangat gundah. "Aku t