"Dimana perawatku?" Randy bertanya pada Andira yang baru saja tiba dengan nampan makanan di tangannya. Sembari menaruh nampan makanan itu, Andira menjawab, "Tuan Martin mengatakan bahwa aku yang harus merawat Tuan Muda, jadi aku di sini," jelasnya dengan pelan dan lembut. "Kau?" Mata Randy melotot menatap Andira. "Iya Tuan." Randy menghela nafas panjang, dia kesal namun perutnya sudah sangat lapar dan sejak tadi badannya terasa remuk. "Aku akan menyuapi mu Tuan Muda," ucap Andira lagi. "Tidak usah, aku sendiri yang akan melakukannya, tinggal siapkan obat ku, dan makananku, lalu kau bisa tinggalkan aku," ucapnya ketus. "Aku tidak bisa, aku harus mengawasi Tuan Muda." "Pergilah!" Suaranya meninggi. Andira terhentak mundur setelah mendengar suara kasar Randy. Andira berusaha menenangkan perasaannya dan berdiri dengan tegak lalu berkata lagi, "Baiklah, Tuan Muda tahu caranya meminum obat dan makan sendiri. Aku akan pergi."Andira berjalan pergi, dia keluar dari kamar Randy dengan
Pagi berlalu, siang berlalu, sore berlalu, dan akhirnya malam tiba. Makan malam juga selesai, Raisi tidak pulang entah kesibukan apa yang membuatnya tidak pulang. Nadira juga langsung ke kamarnya dan asik dengan dirinya sendiri, Andira juga sudah membawakan makanan pada Randy yang berwajah masam. "Datanglah ke ruanganku," ucap Martin setelah makan malam selesai. Dia mengatakannya pada Andira yang baru selesai membersihkan meja makan. Andira juga ingin berbicara pada Martin. Andira berjalan di belakang Martin dengan hati yang berdebar, hingga akhirnya mereka sampai di ruangan Martin Dailuna. Saat sampai Martin langsung menutup rapat-rapat pintunya. "Aku ingin bicara," ucap Andira sesaat saya Martin mengunci pintunya. "Oh ya?" Martin mendekat, dia berjalan maju ke depan Andira. Tangannya gemetar dan berkata, "Aku rasa Nyonya Sarah mengetahuinya," ucapnya. Kening Martin mengernyit. "Mengetahui apa?" "Kita." Martin terhentak dan langsung terkekeh. "Kenapa jika tahu?" Tangan Mar
Sarah menolak perceraian, bukan karena dia masih mencintai Martin atau ingin menguras harta Martin, toh dia telah jatuh cinta pada Lutfi dan dia juga masih terbilang cukup kaya untuk hidup. Dia hanya ingin mempertahankan pernikahannya karena dia tahu betapa tidak menyenangkannya hidup dengan orang tua yang bercerai. Dia sangat menyayangi anak-anaknya, namun dia juga tidak ingin melepas Martin begitu saja, dia telah menderita dengan pernikahannya, maka Martin juga harus menderita dengan pernikahan mereka.Hatice juga sudah resmi bercerai dengan Lutfi dan kini Hatice menetap di rumah Martin. Dia juga merasa bebas karena tidak lagi merasa terkekang atau harus bersembunyi untuk bertemu dengan Ibrahim.Namun ada masalah, Hatice tidak ingin Andira tetap berada di rumah itu."Tidak boleh!" Martin membesarkan suaranya, dia berdiri dari duduknya."Aku tidak akan melepas Andira begitu saja hanya karena kau tidak nyaman Hati! Dia akan tetap berada di rumah kita!""Sampai kapan?" Hatice ikut berd
Martin menerobos masuk ke dalam pintu ruangan kerja Sarah dimana saat itu Sarah sedang dalam pembicaraan dengan seseorang di balik ponsel. Sarah sontak kaget dan langsung mematikan ponselnya, dia menaruhnya dengan cepat di atas meja. "Apa kau gila! Kau hampir saja membunuhku karena serangan jantung!" Sarah dengan suara yang meninggi. Martin tak menghiraukan dia langsung menutup pintu itu dan menguncinya dari dalam. "Apa kau macam-macam denganku? Ha!" Suara Martin tidak kalah besar. Dia mendekat ke depan Sarah dan telunjuknya menunjuk-nunjuk wajah Sarah. "Apa maksudmu?" Mata Sarah membulat berani menatap Martin. Sedangkan Martin dia semakin mendekat dan tangannya mencengkram lengan Sarah. "Aku tahu kau yang memasang kamera tersembunyi di ruanganku bukan? Ha?! Lalu kau menyuruh seseorang untuk menelpon ku dan mengancam ku! Kau pikir ini menyenangkan?"Mendengar ucapan Martin, Sarah kini sadar bukan hanya dia yang dihubungi oleh pria misterius. "Aku sama sekali tidak mengerti apa y
Hari persidangan, Martin dan pengacaranya terlihat duduk berdampingan begitupun dengan Sarah bersama pengacaranya. Hatice tidak ingin mendukung siapapun, dia lebih memilih untuk tidak ikut dalam persidangannya. Tidak ada yang datang selain Martin dan Sarah. Hakim terlihat duduk di kursi kebesarannya dengan palu ketuk terletak di hadapannya. Semuanya berjalan lancar hingga Sarah mengeluarkan buktinya, bahwa bukan hanya dia yang melakukan perselingkuhan tapi Martin juga melakukannya. Jika perceraian terjadi maka Martin harus membayar kompensasi dan biaya tunjangan, bukan hanya untuk Sarah saja tapi untuk anak-anak yang akan diasuh oleh Sarah. Martin terhentak diam setelah hakim memutuskan bahwa Martin harus membayar kompensasi juga tunjangan hidup. Hak asuh anak belum ditentukan. Di sini Martin lah yang bersalah, dan Sarah, dia menerima perceraiannya. "Sidang hak asuh akan dilakukan bulan depan, dan untuk saat ini, anak-anak harus bersamaku, aku akan menjemput mereka, dan aku harap
Martin terlihat panik, dia mondar-mandir di kamar tidurnya dengan ponsel di tangannya. Dia terus menghubungi Hatice namun Hatice tidak mengangkat ponsel Martin. "Ini sudah tengah malam, tapi dia belum pulang." Martin terus menghubungi yang bisa dia hubungi. "Apa Dokter Hatice masih di rumah sakit?" tanyanya, dia memandang keluar jendela kalau-kalau melihat mobil Hatice masuk melalui gerbang, namun tidak ada tanda-tanda mobil aku masuk. "Dokter "Hatice sejak tadi sudah pergi, Tuan," jawab seseorang di balik telpon. "Sejak jam berapa?""Sejak sore, dia sudah pulang Tuan," jawabnya lagi. "Baiklah." Martin mematikan hubungan ponselnya dan menelpon Lutfi. "Apa Hatice bersamamu?" tanya langsung tanpa adanya basa-basi. "Kenapa bertanya pada mantan suaminya?" Jawaban yang tidak ingin didengar oleh Martin, namun dia sudah mendapatkan jawaban dari perkataan itu. Lalu dia menghubungi Ibrahim. "Apa Hati sedang bersama mu?" tanya nya langsung tanpa adanya basa-basi. "Iya, dia sedang be
"Kenapa kau melakukannya? Apa hubungan mu sebenarnya dengan ayahku Ha!?" Raisi yang saat itu tanpa busana sehelai pun sedang menindih tubuh Andira dan mencekik leher putih itu dengan begitu kasar di atas kasur. Andira hanya menangis berusaha bernapas karena sesak. Dia berharap Martin segera tiba, hadapannya saat itu adalah Martin. "Kau tidak menjawab ku?" Mata Raisi nanar, dia melepaskan tangannya dari leher Andira dan membuat gadis itu lebih bisa bernapas. "Kau, kau mencintai ayahku?" Raisi dengan posisi masih menindih separuh tubuh Andira, dan mulai melepas pakaian Andira dengan sangat kasar, dia merobek-robek pakaian itu dan karena tidak senang melihat Andira yang menangis terisak, Raisi yang penuh kemarahan, kecemburuan dan kebenciannya pada Andira langsung saja menampar gadis itu begitu keras, bukan hanya sekali tapi sebanyak tiga kali yang menyebabkan luka di wajah Andira. Gadis itu menjerit sebisanya, namun Raisi tidak memedulikan itu, dia dipenuhi rasa kecemburuan sempu
"Kau bercinta dengannya?" tanya Martin saat berada di dalam mobil bersama Hatice. "Untuk apa pertanyaan itu?" tanya Hatice, berbalik. "Hanya memastikan." Mata Martin fokus ke depan jalan raya. "Ha? Apa kau juga akan bertanya pada anak dan istrimu tentang bercinta?" Hatice menoleh dan menatap Martin dengan tatapan kesal. Karena pertanyaan yang mengesalkan dan mata yang menatap tidak suka, Martin memilih untuk diam dan tidak lagi berbicara sampai mereka tiba di rumah besar Dailuna. Mereka akhirnya sampai, Hatice turun dari mobil dan membanting pintu mobil begitu keras, suaranya jelas terdengar, sangat kasar. Hatice berjalan masuk ke rumah dengan sangat-sangat kesal, dia mengabaikan suara apapun, termasuk suara jeritan Andira. Sementara Martin, dia memilih untuk tetap berada di dalam sana. Berada dalam mobil, dan merenungkan sesuatu. Dia menatap kosong ke depan, ke arah ruangan yang penuh dengan mobil mewah yang kadang tak berguna. Dan beberapa saat kemudian, saat mengingat Andir