Martin menerobos masuk ke dalam pintu ruangan kerja Sarah dimana saat itu Sarah sedang dalam pembicaraan dengan seseorang di balik ponsel. Sarah sontak kaget dan langsung mematikan ponselnya, dia menaruhnya dengan cepat di atas meja. "Apa kau gila! Kau hampir saja membunuhku karena serangan jantung!" Sarah dengan suara yang meninggi. Martin tak menghiraukan dia langsung menutup pintu itu dan menguncinya dari dalam. "Apa kau macam-macam denganku? Ha!" Suara Martin tidak kalah besar. Dia mendekat ke depan Sarah dan telunjuknya menunjuk-nunjuk wajah Sarah. "Apa maksudmu?" Mata Sarah membulat berani menatap Martin. Sedangkan Martin dia semakin mendekat dan tangannya mencengkram lengan Sarah. "Aku tahu kau yang memasang kamera tersembunyi di ruanganku bukan? Ha?! Lalu kau menyuruh seseorang untuk menelpon ku dan mengancam ku! Kau pikir ini menyenangkan?"Mendengar ucapan Martin, Sarah kini sadar bukan hanya dia yang dihubungi oleh pria misterius. "Aku sama sekali tidak mengerti apa y
Hari persidangan, Martin dan pengacaranya terlihat duduk berdampingan begitupun dengan Sarah bersama pengacaranya. Hatice tidak ingin mendukung siapapun, dia lebih memilih untuk tidak ikut dalam persidangannya. Tidak ada yang datang selain Martin dan Sarah. Hakim terlihat duduk di kursi kebesarannya dengan palu ketuk terletak di hadapannya. Semuanya berjalan lancar hingga Sarah mengeluarkan buktinya, bahwa bukan hanya dia yang melakukan perselingkuhan tapi Martin juga melakukannya. Jika perceraian terjadi maka Martin harus membayar kompensasi dan biaya tunjangan, bukan hanya untuk Sarah saja tapi untuk anak-anak yang akan diasuh oleh Sarah. Martin terhentak diam setelah hakim memutuskan bahwa Martin harus membayar kompensasi juga tunjangan hidup. Hak asuh anak belum ditentukan. Di sini Martin lah yang bersalah, dan Sarah, dia menerima perceraiannya. "Sidang hak asuh akan dilakukan bulan depan, dan untuk saat ini, anak-anak harus bersamaku, aku akan menjemput mereka, dan aku harap
Martin terlihat panik, dia mondar-mandir di kamar tidurnya dengan ponsel di tangannya. Dia terus menghubungi Hatice namun Hatice tidak mengangkat ponsel Martin. "Ini sudah tengah malam, tapi dia belum pulang." Martin terus menghubungi yang bisa dia hubungi. "Apa Dokter Hatice masih di rumah sakit?" tanyanya, dia memandang keluar jendela kalau-kalau melihat mobil Hatice masuk melalui gerbang, namun tidak ada tanda-tanda mobil aku masuk. "Dokter "Hatice sejak tadi sudah pergi, Tuan," jawab seseorang di balik telpon. "Sejak jam berapa?""Sejak sore, dia sudah pulang Tuan," jawabnya lagi. "Baiklah." Martin mematikan hubungan ponselnya dan menelpon Lutfi. "Apa Hatice bersamamu?" tanya langsung tanpa adanya basa-basi. "Kenapa bertanya pada mantan suaminya?" Jawaban yang tidak ingin didengar oleh Martin, namun dia sudah mendapatkan jawaban dari perkataan itu. Lalu dia menghubungi Ibrahim. "Apa Hati sedang bersama mu?" tanya nya langsung tanpa adanya basa-basi. "Iya, dia sedang be
"Kenapa kau melakukannya? Apa hubungan mu sebenarnya dengan ayahku Ha!?" Raisi yang saat itu tanpa busana sehelai pun sedang menindih tubuh Andira dan mencekik leher putih itu dengan begitu kasar di atas kasur. Andira hanya menangis berusaha bernapas karena sesak. Dia berharap Martin segera tiba, hadapannya saat itu adalah Martin. "Kau tidak menjawab ku?" Mata Raisi nanar, dia melepaskan tangannya dari leher Andira dan membuat gadis itu lebih bisa bernapas. "Kau, kau mencintai ayahku?" Raisi dengan posisi masih menindih separuh tubuh Andira, dan mulai melepas pakaian Andira dengan sangat kasar, dia merobek-robek pakaian itu dan karena tidak senang melihat Andira yang menangis terisak, Raisi yang penuh kemarahan, kecemburuan dan kebenciannya pada Andira langsung saja menampar gadis itu begitu keras, bukan hanya sekali tapi sebanyak tiga kali yang menyebabkan luka di wajah Andira. Gadis itu menjerit sebisanya, namun Raisi tidak memedulikan itu, dia dipenuhi rasa kecemburuan sempu
"Kau bercinta dengannya?" tanya Martin saat berada di dalam mobil bersama Hatice. "Untuk apa pertanyaan itu?" tanya Hatice, berbalik. "Hanya memastikan." Mata Martin fokus ke depan jalan raya. "Ha? Apa kau juga akan bertanya pada anak dan istrimu tentang bercinta?" Hatice menoleh dan menatap Martin dengan tatapan kesal. Karena pertanyaan yang mengesalkan dan mata yang menatap tidak suka, Martin memilih untuk diam dan tidak lagi berbicara sampai mereka tiba di rumah besar Dailuna. Mereka akhirnya sampai, Hatice turun dari mobil dan membanting pintu mobil begitu keras, suaranya jelas terdengar, sangat kasar. Hatice berjalan masuk ke rumah dengan sangat-sangat kesal, dia mengabaikan suara apapun, termasuk suara jeritan Andira. Sementara Martin, dia memilih untuk tetap berada di dalam sana. Berada dalam mobil, dan merenungkan sesuatu. Dia menatap kosong ke depan, ke arah ruangan yang penuh dengan mobil mewah yang kadang tak berguna. Dan beberapa saat kemudian, saat mengingat Andir
Martin berdiri kaku menatap putranya yang tak berbusana itu, dia sama sekali tak menoleh ke arah Andira, gadis itu hanya menyelimuti tubuhnya dan menolak menatap kedua pria yang bersitegang karena dirinya itu. "Kau akan menyeret ku? Karena jalang seperti dia?" Raisi sambil menunjuk ke arah Andira. Hal itu tidak menunjukkan bahwa dirinya berani di mata Martin, melainkan pengecut yang keras kepala. Martin melipat bibirnya dan menelan ludahnya, dia menatap Raisi dengan mata berkaca-kaca pada Raisi Dailuna. Dengan mengangguk-angguk pelan, Martin maju ke hadapan Raisi, dan dengan cepat menampar dengan keras anaknya itu. "Gunakan pakaian mu bajingan!" Suara Martin yang kembali meninggi. Raisi tidak terima, dia kembali menatap ayahnya, dan menggegeleng-geleng tidak jelas. "Aku tidak mau, Tuan Dailuna!"Plak!Sekali lagi, Martin menyerang putranya itu. Dan dengan cukup keras, Martin menjambak rambut Raisi dan menyeretnya. Raisi terjatuh dan teruduk, namun Martin dengan kemarahannya menyere
"Tunggu, tunggu di sini, aku akan kembali," jawabnya dengan senyum yang mekar. "Tidak apa-apa, okey, kau akan baik-baik saja, aku akan segera kembali." Dan berdiri lah Martin, dan memungut pakaian Raisi yang terletak di lantai, lalu dia keluar dari kamar itu dan masih melihat Raisi berdiri di tempatnya. Martin berhenti sejenak dan berkata, "Pergilah, jangan sakiti dia." Setelah itu dia menjatuhkan pakaian Raisi tepat di hadapan anaknya itu. Dan Martin pergi melalui Raisi. Perkataan Martin membuat Raisi merasa tersakiti, rasanya Raisi adalah pengecut dan pecundang yang luar biasa. Dia baru saja memukuli seorang gadis, wanita. Matanya berkaca-kaca dan jiwanya menyadari bahwa apa yang telah dia lakukan adalah sebuah kesalahan. "Apa yang telah aku lakukan?" Suaranya terdengar menyesal. Hatinya teriris mengingat bagaimana Andira menjerit dan menangis, bagaimana gadis itu menatapnya dengan penuh rasa takut. Apa Andira pantas mendapatkannya? Dia jatuh ke lantai dengan berlutut. Hatinya g
Rumah besar yang sepi, bahkan petugas di rumah itu terlihat seperti sia-sia, tukang kebun terlihat bosan karena tak tahu ingin mengerjakan apa, pak satpam yang hanya duduk dan meminum kopi, serta supir pribadi yang tidak mengantar siapapun. Andira memantau pekerja itu melalui jendela. Ketiga pekerja yang tak sibuk, mereka hanya asik tertawa dan berbincang. Andira juga hanya sendiri di rumah itu, Raisi meninggalkan rumah, Hatice pergi bekerja dan Martin pun sama. Dia hanya sendiri di rumah yang begitu besar, dan bingung ingin melakukan apa. Sedangkan Martin, di kantornya, kolega-kolega bisnisnya mendatanginya, mereka membicarakan tentang hubungan pernikahan Martin yang telah kandas. Teman-teman lama serta kerabat keluarga Dailuna juga mempertanyakan tentang pernikahan yang kandas itu. "Kenapa bisa bercerai?""Apa yang mungkin menjadi penyebabnya?""Kau tahu? Kau adalah keturunan Dailuna pertama yang mengalami perceraian.""Ayahmu pasti kecewa terhadap mu!""Keluargamu hancur Martin