Martin terlihat masih berada di dalam ruangannya, menunggu Andira kembali menghubunginya, dia diam dan hanya memandangi ponsel miliknya, dan akhirnya, ponselnya berdering. Dengan sigap dan begitu lincah Martin meraih ponsel miliknya. "Iya Andira?""Andira?" Suara laki-laki, ternyata Rami. Martin menjauhkan ponselnya dari telinganya dan menatap layar ponsel yang tercantum nama Rami. "Kau rupanya." Martin saat kembali mendekatkan ponsel miliknya di telinga. "Andira, gadis pembantu mu itu?" tanya Rani sekali lagi. "Apa pentingnya bagimu, sekarang katakan kabar apa yang kau bawa?" "Oh ya, aku mendapatkan informasi dari media-media yang mengabarkan mu, yang memberitakan tentangmu itu, rupanya ada dua sumber yang memberitahu para media, yang pertama adik iparmu, maksudku mantan adik iparmu, dan yang kedua, tanpa nama, aku tidak bisa melacaknya, sepertinya ada yang membenci mu selain mantan istri mu dan juga adiknya," jelas Rami di balik ponsel. Martin yang mendengar penjelasan Rami m
"Andira apa kau berada di dalam sana? Andira aku hanya ingin meminta maaf, tolong maafkan aku atas apa yang aku lakukan kemarin, kau bisa memaafkan ku?" Suara itu, ucapan itu membuat Andira merasakan getaran sempurna pada sekujur tubuhnya. Dia mengingat bagaimana Raisi memperlakukannya, bagaimana Raisi Dailuna begitu kejam padanya. Dia masih merasakan luka pada tubuhnya dan luka dalam hatinya, Andira masih mengingat betul sentuhan kasar dari Raisi Dailuna. Andira tidak menjawab, dia hanya berdiri kaku, dengan ujung jemari tang bergetar sempurna. Dulu, dia menganggap Raisi adalah pemuda yang lebih baik dari ayahnya, yakni Martin Dailuna, namun sekarang, Raisi jauh lebih berbahaya dari Martin Dailuna. Oh ya, Martin sama sekali tidak berbahaya. "Andira, tolong maafkan aku," ucap Raisi sekali lagi, dengan ketukan pelan dan lembut, suara lembut dan manis didengar, namun begitu mengerikan untuk didengar oleh Andira. "Aku tidak akan membuka pintunya, Anda boleh pergi Tuan Muda!" Suara
Setelah beberapa saat kemudian, dan akhirnya Andira merasa tenang karena tak mendengar tanda-tanda keberadaan Raisi. Akhirnya Andira merasa berani kembali untuk membuka pintu kamarnya. Dengan pelan dia membukanya dan betapa terkejutnya dia saat melihat seseorang berdiri tepat di hadapannya, namun bukan Raisi melainkan orang lain dengan topeng yang menutupi wajahnya. Mulut Andira ditutupi dengan kain yang berisikan obat bius, dan langsung saja gadis itu, tak sadarkan diri. Pria itu membawa Andira keluar dari rumah besar Martin Dailuna dengan melalui pintu belakang rumah yang sedikit dirahasiakan, hanya Martin dan keluarga sebelumnya yang tahu, bahkan Raisi juga tidak tahu. Dengan cepat dan sigap, orang berperawakan pria tinggi itu melewati lorong panjang ke belakang dan menggendong tubuh Andira, sampai di luar kita hanya akan melihat padan rumput yang luas dan terlihat mobil tua di sana. Andira langsung dimasukkan ke dalam mobil itu. Dan sebelum pergi, pria misterius itu menaruh se
Martin mengangguk dan dibantu merapikan setelan miliknya, hingga dia betul-betul terlihat tampan untuk pria sesuainya. Rambutnya tersisir rapi dan wajah yang begitu bersih dengan mata coklat yang bercahaya. Dia berterimakasih lalai membayar dan pergi dari sana. Berbicara tentang penampilan Martin Dailuna, dia begitu memesona untuk pria seusia dirinya, mungkin belum terbilang sangat tampan, namun pakaian serta penampilannya yang mewah membuatnya jauh lebih menawan dari sebelumnya. Tentu, dia pria yang kaya dan sedang jatuh cinta. Saat Martin pergi, terlihat pemuda itu memandang ke arah televisi yang ada di ruangan kerjanya, dia melihat siaran TV yang menayangkan tentang Martin Dailuna. Dia mengernyitkan keningnya dan matanya menyipit mencoba menerka apa betul pria yang berada di telivisi benar adalah pria yang tadi dia layani? Dia melihat berita yang tidak baik tentang Martin Dailuna. "MARTIN DAILUNA BERCERAI DENGAN ISTRINYA DIKARENAKAN PERSELINGKUHANNYA DENGAN GADIS YANG LEBIH MU
Martin terdiam dengan surat dan bunga yang terjatuh, dia diam lemas dan kedua matanya membulat, nafasnya agak sesak, namun dia berhasil mengatur kembali nafas miliknya. Setelah berhasil mengatur nafasnya, dia kemudian dengan lincah dan buru-buru keluar dari kamar itu, mendaki tangga dan masuk ke ruangannya, dia membuka sebuah brangkas yang tersembunyi dan mengambil sebuah senjata di sana. Pistol hitam dengan ukuran normal langsung dia selipkan pada mulut celananya. Dia lalu berlari dengan begitu lincahnya menuruni tangga dan keluar dari istananya, menancap gas mobilnya dan meninggalkan istana Dailuna. Terlihat dia begitu panik, kita bisa melihat pada wajah dan matanya, kepanikan yang luar biasa. Martin Dailuna, kedua tangan yang menyetir itu terlihat bergetar, nafasnya kembali tak teratur, terlalu cepat hingga membuatnya kesulitan bernafas. Dengan tiba-tiba dia menghentikan mobilnya dan meminggirkannya. Dia menunduk ketakutan, apa yang terjadi? Siapa yang mungkin melakukan ini pad
"Kau kah itu? Kau kah yang mencurinya? Ha!? Katakan! Dimana Andira keparat!"Martin dengan suara keras dan berteriak. "Aku lupa mengatakan bahwa kau tidak seharusnya membawa seorang polisi!" Suaranya juga lantang dibalik ponsel. Mendengar perkataan lawan bicaranya di balik ponsel miliknya, Martin langsung menoleh dan melihat ke belakang, dia melihat polisi muda itu bersembunyi diantara malam dan semak. "Sial! Aku tidak menyuruhnya, dia adalah polisi lalu lintas, dia bukan siapa-siapa!" "Oh ya? Kau bisa buktikan? Dengan... Menembaknya di kepala?" "Sial!""Tuan Dailuna, kau inginkan Andira bukan?" Suara dingin dibalik ponsel itu membuat Martin seketika berlutut di pasir-pasir pantai. "Apa yang kau inginkan dariku? Ha! Siapa kau?!" "Siapa aku? Aku adalah orang yang patah hati karena mu, kau... Kau membunuh Mia ku! Dan saat ini, aku hanya ingin... Aku hanya ingin kau menderita, Tuan... Tuan Dailuna, jemput lah jasad kekasih muda mu ini!"Mata Martin langsung membulat dan berkaca-kaca
"Aku menemukannya! Aku menemukannya!" teriak pemuda itu dengan tubuh Andira di dekapannya. Martin muncul dari dalam air dan memalingkan pandangannya pada pemuda dan Andira. Dia berjalan lincah menerobos air laut dan anak-anak ombak. Mereka lalu berjalan ke pinggir pantai, dan meletakkan tubuh Andira dengan kaki dan tangan terikat, mata yang tertutup, dan tubuh yang tak berdaya, tubuh itu kini diletakkan di atas pasir pantai dan dinginnya malam. "Andira, Andira..., Bertahanlah." Martin sambil menepuk-nepuk pipi Andira dan mencoba mengecek denyut leher Andira. Hatinya cukup lega saat menemukan denyut nadi Andira. "Kita harus ke rumah sakit!" Martin dan langsung mengangkat tubuh Andira namun polisi muda itu menahannya dan berkata, "Tunggu, kita tidak punya waktu untuk membawanya ke rumah sakit." Dia lalu setengah jongkok di sebrang Martin dan di samping tubuh tak berdaya Andira. "Kita harus mengeluarkan air yang masuk ke dalam tubuhnya," ucapnya dengan lincah, dan memandang Martin se
Hingga akhirnya mereka sampai di rumah sakit, dan Andira langsung mendapatkan perawatan tercepat di rumah sakit itu, rupanya Hatice belum pulang dan dia sendiri yang akan merawat Andira. "Apa yang terjadi?" tanya Hatice, berjalan dengan tergesa-gesa di samping Martin yang juga tergesa-gesa mengejar Andira di depan. "Aku tidak akan menjelaskannya di sini, cukup selamatkan dia!" Martin dan berhenti tepat di hadapan pintu UGD. "Tunggulah di sini, atau pulanglah, beristirahat, aku akan mengurus semua ini Kak," ucap Hatice dan menahan Martin untuk tetap berjalan masuk ke dalam UGD. "Pulang? Kau ingin aku pulang sementara Andira berada di sini?" Martin merasa tersinggung. "Bukan begitu, tapi itu semua terserah Kakak, aku hanya mengatakan apa yang seharusnya saya katakan!" Lalu Hatice masuk ke dalam ruang UGD dan menangani pasiennya. Martin terlihat begitu panik hingga seseorang datang padanya, oh ya, polisi muda itu sejak tadi membuntutinya. Dia membawa segelas kopi untuk Martin dan