Hingga akhirnya mereka sampai di rumah sakit, dan Andira langsung mendapatkan perawatan tercepat di rumah sakit itu, rupanya Hatice belum pulang dan dia sendiri yang akan merawat Andira. "Apa yang terjadi?" tanya Hatice, berjalan dengan tergesa-gesa di samping Martin yang juga tergesa-gesa mengejar Andira di depan. "Aku tidak akan menjelaskannya di sini, cukup selamatkan dia!" Martin dan berhenti tepat di hadapan pintu UGD. "Tunggulah di sini, atau pulanglah, beristirahat, aku akan mengurus semua ini Kak," ucap Hatice dan menahan Martin untuk tetap berjalan masuk ke dalam UGD. "Pulang? Kau ingin aku pulang sementara Andira berada di sini?" Martin merasa tersinggung. "Bukan begitu, tapi itu semua terserah Kakak, aku hanya mengatakan apa yang seharusnya saya katakan!" Lalu Hatice masuk ke dalam ruang UGD dan menangani pasiennya. Martin terlihat begitu panik hingga seseorang datang padanya, oh ya, polisi muda itu sejak tadi membuntutinya. Dia membawa segelas kopi untuk Martin dan
Martin duduk berhadapan dengan polisi muda bernama Syarif. Dia mentraktirnya makan malam di tempat makan berdekatan dengan rumah sakit. Mereka memakan makanan yang tersaji di atas meja. Martin terlihat begitu khusyuk saat memakan makanannya sementara Syarif dia terlihat hanya memandang Martin dengan tatapan heran, atau entahlah, dia hanya menatap Martin dengan kedua kelopak mata yang terlihat bimbang tanpa menyentuh makanan yang disajikan di atas meja. Martin tak membalas tatapan Syarif dia juga tidak memedulikan tatapan itu. Dia terus fokus dengan mengisi perutnya sendiri. Dia berusaha untuk lupa dengan apa yang terjadi sebenarnya, untuk sementara nanti dia pikirkan, saatnya untuk makan. "Gadis muda itu kekasihmu?" sahutnya tiba-tiba, Syarif terlihat masih menatap Martin dengan tatapan kedua matanya yang menunggu jawaban. Martin juga terlihat berhenti menyuap makanannya, dia menaruh sendok dan garpunya di dalam mangkuk. "Apa kau berpikir dia kekasihku?" Martin bertanya balik, dan k
"Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada gadis itu," ucap Hatice dan duduk di sofa berdekatan dengan Ibrahim. "Gadis itu? Siapa maksudmu gadis itu?" tanya Ibrahim sambil meraih ceret yang berisikan teh hangat dan menuangkannya pada gelas Hatice. "Andira, terjadi sesuatu padanya, dia basah kuyup, kakakku juga, dan seorang pemuda yang bersama kakakku," ucapnya lagi, membuat Ibrahim sedikit penasaran. "Pemuda?""Iya, seorang pemuda yang berseragam seorang polisi. Entahlah, tapi itu cukup mengganggu pikiranku." Hatice, sambil meraih segelas teh yang berada di atas meja. "Kenapa tidak bertanya saja pada Martin, kau bisa mendapatkan jawaban darinya.""Hmm, tentu. Tapi aku rasa dia tidak akan berkata jujur, aku juga malas bicara dengannya," jawab Hatice, dia menaruh gelasnya kembali ke atas meja dan menyandarkan kepalanya pada bahu Ibrahim, dimana mereka masing-masing bersandar di pada punggung sofa. "Berbicara soal pembantu muda yang cantik itu, apa Martin...,""Cantik?" T
Raisi pulang ke rumahnya dalam kondisi sedikit mabuk, dia melihat rumah yang terang tanpa penghuni. Dia melihat rumahnya yang begitu sepi. Dia berpikir bahwa orang di rumah sudah tidur, namun tidur begitu cepat? Tidak, ada sesuatu yang ganjal, dan pintu kamar Andira seperti sedang terbuka, memang terbuka. "Dimana Andira?" Raisi saat membuka pintu dengan pelan, dan melihat ponsel milik Andira yang terjatuh dan pecah. Setelah melihat kamar Andira, dia langsung mendaki tangga dan naik ke kamar ayahnya, dan di sana juga tidak ada siapa-siapa. Dan di kamar Hatice, ya Hatice juga tidak sedang berada di rumah. "Apa yang terjadi? Apa ayahku kencang buta dengan Andira?" Raisi yang bertanya sendiri. Karena tak tahu harus bagaimana, dia menghubungi Martin namun ponselnya tidak bisa dihubungi. Seperti yang kita ketahui, ponsel Martin terjatuh di dalam air laut, bukan? Karena tidak mendapat jawaban dari ayahnya dia berusaha menghubungi Hatice namun Hati sedang asik bercinta dengan Ibrahim. Ti
-----------------------------------------Hal yang aku lupakan pada diriku adalah, bahwa aku tua. Tapi hal yang tidak aku lupakan pula adalah bahwa aku kaya.-----------------------------------------"Kita akan segera pulang," bisik Martin di telinga Andira saat pagi telah tiba. Martin terbangun begitu pagi, dia tidur nyenyak sesaat, lalu terbangun saat merasakan sentuhan matahari yang menembus masuk melalui jendela kaca yang sedikit terbuka. Pakaiannya masih basah kuyup sebelum dia tertidur semalam, dia belum menggantinya, mungkin mengeringkannya bersama tubuhnya sejenak namun dia tidak tidak menggantinya, dia tidak memperdulikannya. Saat ini, Martin duduk di samping Andira, samping ranjang Andira dan mulai menggenggam tangan Andira sesaat saat Andira mulai perlahan membuka mata indahnya. Gadis itu kini terbangun dan menyandarkan tubuhnya di kepala tempat tidur dan menatap Martin yang juga menatap ke arahnya. Mereka saling bertatap dan tersenyum hingga Martin membuka suaranya dan
Raisi masih kebingungan, apa yang sebenarnya terjadi? Dia bahkan tidak tidur memikirkan apa yang terjadi. Dia terus menghubungi semua orang yang dia kenapa dan mengenal Andira termasuk ibunya. Namun Sarah dia sama sekali tidak peduli dengan apa yang terjadi pada Martin dan Andira, karena dia sibuk bersama Lutfi, dia sibuk berpacaran dan bermesraan, sama seperti Hatice. "Aku tidak peduli! Kau jangan pedulikan gadis itu! Kalau bisa jangan pernah menyebutnya, aku sangat membencinya! Kau jangan mendekatinya, Mama sangat ingin menghancurkan gadis itu! Kau hancurkan dia demi ibu!" Itulah yang dikatakan Sarah saat dihubungi oleh putra sulungnya, namun bukannya mendapatkan jawaban yang diinginkan Sarah, Raisi malah menjawab, "Mama tidak seharusnya mengatakan itu! Aku sudah sangat bersalah padanya! Karena Mama aku menyiksa Andira, bahkan hingga dia betul-betul membenciku." Jawaban Raisi pada Sarah dan hubungan pembicaraan pun berakhir. Saat ini, Raisi Dailuna tengah duduk dengan lemas di sof
Setelah melihat apa yang telah dilihatnya, Raisi berjalan menyusuri tempat itu dan menemukan jalan keluar, ke sebuah jalan normal, yang ternyata keluar menembus jalan raya. Setelah itu Raisi berjalan keluar dan mengabaikan apa yang dilihatnya untuk sementara, namun dia masih merasakan rasa penasaran terhadap gadis lain, Mirat? Siapa dia? Kenapa begitu mirip dengan Andira. Kini Raisi kembali masuk ke ruang rumahnya yang luas dan mendengar suara pintu yang mulai terbuka, oh ya, Hatice baru saja kembali. "Tante Hati!" Raisi memanggil dan membuat Hatice berhenti dari jalannya. "Iya?" "Dari mana saja? Kenapa papa dan Andira tidak berada di rumah?" tanyanya, "Dan kenapa Tante juga tak berada di sini semalam?" "Oh soal itu? Aku berada di rumah sakit, aku juga sibuk akhir-akhir ini. Andira dan papa mu juga berada di rumah sakit.""Rumah sakit?" "Terjadi sesuatu pada Andira," kata Hatice lagi. Raisi terdiam dan tak lagi berbicara. Hatice melanjutkan jalannya dan mendaki tangga untuk naik
Raisi menatap mobil ayahnya yang baru saja keluar dari area rumah sakit, namun dia mengabaikannya dan langsung saja memasukkan mobilnya ke area parkir dan dia sendiri bergegas masuk ke dalam gedung rumah sakit, dan bertanya dimana Andira menginap. Dia membuka pintu kamarnya dan melihat Andira menatap keluar jendela. Dan Andira yang merasakan kehadiran seseorang langsung menoleh ke arahnya. Kelopak matanya membulat melihat Raisi. "Kau tidak usah takut." Raisi dan dengan pelan membuka pintu ruang kamar itu. Andira menganga dan hanya diam, dia mencengkeram selimut dan menatap Raisi dengan tatapan yang penuh dengan rasa tidak senang atau mungkin kebencian. "Aku meminta maaf sekali lagi Andira." Andira tidak menjawab, hanya diam dan kesal. Sementara Raisi dia semakin mendekat dan duduk di tempat Martin duduk tadi. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Raisi. "Kau yang melakukannya bukan?" tanya Andira membingungkan bagi Raisi. Raisi sendiri mengernyitkan keningnya dan bingung. "Ap