-----------------------------------------Hal yang aku lupakan pada diriku adalah, bahwa aku tua. Tapi hal yang tidak aku lupakan pula adalah bahwa aku kaya.-----------------------------------------"Kita akan segera pulang," bisik Martin di telinga Andira saat pagi telah tiba. Martin terbangun begitu pagi, dia tidur nyenyak sesaat, lalu terbangun saat merasakan sentuhan matahari yang menembus masuk melalui jendela kaca yang sedikit terbuka. Pakaiannya masih basah kuyup sebelum dia tertidur semalam, dia belum menggantinya, mungkin mengeringkannya bersama tubuhnya sejenak namun dia tidak tidak menggantinya, dia tidak memperdulikannya. Saat ini, Martin duduk di samping Andira, samping ranjang Andira dan mulai menggenggam tangan Andira sesaat saat Andira mulai perlahan membuka mata indahnya. Gadis itu kini terbangun dan menyandarkan tubuhnya di kepala tempat tidur dan menatap Martin yang juga menatap ke arahnya. Mereka saling bertatap dan tersenyum hingga Martin membuka suaranya dan
Raisi masih kebingungan, apa yang sebenarnya terjadi? Dia bahkan tidak tidur memikirkan apa yang terjadi. Dia terus menghubungi semua orang yang dia kenapa dan mengenal Andira termasuk ibunya. Namun Sarah dia sama sekali tidak peduli dengan apa yang terjadi pada Martin dan Andira, karena dia sibuk bersama Lutfi, dia sibuk berpacaran dan bermesraan, sama seperti Hatice. "Aku tidak peduli! Kau jangan pedulikan gadis itu! Kalau bisa jangan pernah menyebutnya, aku sangat membencinya! Kau jangan mendekatinya, Mama sangat ingin menghancurkan gadis itu! Kau hancurkan dia demi ibu!" Itulah yang dikatakan Sarah saat dihubungi oleh putra sulungnya, namun bukannya mendapatkan jawaban yang diinginkan Sarah, Raisi malah menjawab, "Mama tidak seharusnya mengatakan itu! Aku sudah sangat bersalah padanya! Karena Mama aku menyiksa Andira, bahkan hingga dia betul-betul membenciku." Jawaban Raisi pada Sarah dan hubungan pembicaraan pun berakhir. Saat ini, Raisi Dailuna tengah duduk dengan lemas di sof
Setelah melihat apa yang telah dilihatnya, Raisi berjalan menyusuri tempat itu dan menemukan jalan keluar, ke sebuah jalan normal, yang ternyata keluar menembus jalan raya. Setelah itu Raisi berjalan keluar dan mengabaikan apa yang dilihatnya untuk sementara, namun dia masih merasakan rasa penasaran terhadap gadis lain, Mirat? Siapa dia? Kenapa begitu mirip dengan Andira. Kini Raisi kembali masuk ke ruang rumahnya yang luas dan mendengar suara pintu yang mulai terbuka, oh ya, Hatice baru saja kembali. "Tante Hati!" Raisi memanggil dan membuat Hatice berhenti dari jalannya. "Iya?" "Dari mana saja? Kenapa papa dan Andira tidak berada di rumah?" tanyanya, "Dan kenapa Tante juga tak berada di sini semalam?" "Oh soal itu? Aku berada di rumah sakit, aku juga sibuk akhir-akhir ini. Andira dan papa mu juga berada di rumah sakit.""Rumah sakit?" "Terjadi sesuatu pada Andira," kata Hatice lagi. Raisi terdiam dan tak lagi berbicara. Hatice melanjutkan jalannya dan mendaki tangga untuk naik
Raisi menatap mobil ayahnya yang baru saja keluar dari area rumah sakit, namun dia mengabaikannya dan langsung saja memasukkan mobilnya ke area parkir dan dia sendiri bergegas masuk ke dalam gedung rumah sakit, dan bertanya dimana Andira menginap. Dia membuka pintu kamarnya dan melihat Andira menatap keluar jendela. Dan Andira yang merasakan kehadiran seseorang langsung menoleh ke arahnya. Kelopak matanya membulat melihat Raisi. "Kau tidak usah takut." Raisi dan dengan pelan membuka pintu ruang kamar itu. Andira menganga dan hanya diam, dia mencengkeram selimut dan menatap Raisi dengan tatapan yang penuh dengan rasa tidak senang atau mungkin kebencian. "Aku meminta maaf sekali lagi Andira." Andira tidak menjawab, hanya diam dan kesal. Sementara Raisi dia semakin mendekat dan duduk di tempat Martin duduk tadi. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Raisi. "Kau yang melakukannya bukan?" tanya Andira membingungkan bagi Raisi. Raisi sendiri mengernyitkan keningnya dan bingung. "Ap
Setelah membawa ibu dan adik Andira ke rumah sakit, Martin bergegas ke kantornya dan memberitahu Fainah bahwa dia tidak akan berada di kantor sepanjang hari. Dia hanya menengok beberapa berkas penting dan menyapa beberapa karyawannya, setelah itu pergi dan bertemu Rami. Mereka berjanji akan bertemu saat jam makan siang, tentu mereka bertemu di restoran yang menampilkan kesederhanaan namun menyajikan makanan mewah. Mereka terlihat duduk berhadapan dengan meja yang memisahkan mereka. Mereka berdua memesan beberapa makanan yang bisa mengenyangkan perut mereka. "Baiklah katakan tentang media yang kau maksud." Martin, duduk dengan tegas menatap Rami yang terlihat begitu rapi. "Apa kau tidak mandi?" tanya Rami tiba-tiba membuat Martin seketika tersinggung lalu terlihat mengendus lengan juga kemejanya. "Kau tidak bau, hanya saja pakaian dan rambut mu terlihat begitu kusut," kata Rami lagi, membuat Martin berhenti mengendus. "Oh, ya..., Memang aku belum mandi," jawabnya sedikit ragu. "
Syarif terlihat bimbang karena tidak menemukan apa-apa di pantai itu, dia mungkin melihat seseorang yang mencurigakan dan bahkan berbicara dengan orang yang mencurigakan itu, namun dia sama sekali tidak mengejarnya atau juga memperdulikannya, oh sial! Itu yang selalu dikatakan Syarif terus menerus, dan saatnya bertemu Martin, namun dengan apa? Dia tidak tahu bagaimana dia menghubungi Martin. Atau mungkin dia datang saja ke perusahaan Martin Dailuna, tentu, dia akan ke perusahaan Dailuna bagaimana tidak. Semua orang tahu perusahaan itu. Dia bergegas dengan motornya dan langsung saja menuju ke perusahaan besar Dailuna. Dan betapa kecewanya dia saat dia tidak menemukan Martin di sana. "Apa? Dia tidak berada di sini?" Syarif saat dia sampai dan bertanya pada resepsionis, seorang wanita tinggi dengan wajah yang menawan. "Iya Pak, Tuan Dailuna akhir-akhir ini tengah disibukkan beberapa hal, sehingga dia tidak sempat untuk ke kantor sepanjang hari ini," jawab resepsionis cantik itu. "Oh,
Terlihat Syarif menunggu di kursi tunggu bersebrangan dengan kamar Andira yang pintunya tertutup. Kadang Syarif juga menatap masuk ke dalam kaca melihat-lihat gadis, ibu dan adiknya. Dia mondar-mandir di lorong rumah sakit, memainkan kadang ponselnya, mendengus kesal, dan terlihat kantuk. Di dalam sana, di dalam ruangan kamar rumah sakit dimana Andira dirawat, dia dan ibunya berbincang-bincang dan kadang menatap keluar, sebuah kaca yang menembus keluar ruangan itu. Andira dan ibunya bertanya-tanya siapa pria yang kadang menengok masuk ke dalam ruang kamar. "Kau mengenalnya?" tanya Bi Ana. "Tidak, aku belum pernah melihatnya." Andira, walau dia melihatnya sekilas saat di pantai, dia tidak bisa mengenalinya sekarang, karena penglihatannya saat di pantai buram dan samar-samar. "Apa benar kau terjatuh di tangga?" tanya ibunya, Martin telah berbohong dan Andira juga berbohong. Admiral mengangguk menatap sang ibu. "Itu tidak seperti jatuh di tangga, wajah Kakak seperti telah dipukuli
Martin terlihat masuk ke ruang sekolah dan bertanya pada salah seorang guru yang bertugas di ruang tata usaha dimana ruangan itu adalah ruangan paling terbuka dan terdekat di area masuk ke dalam gerbang kedua. "Aku ingin bertemu dengan Nadira juga Randy, aku ayahnya," ucap Martin pada salah seorang guru muda yang saat itu tengah sibuk, dan karena dia mengenali pria yang sedang berbicara dengannya maka dia kesampingkan kesibukannya dan langsung melayani Martin dengan bantuannya. "Oh iya Pak, saya kenal dengan Anda, baiklah, Bapak tinggal tunggu di sini aku akan memanggil mereka," ucapnya dengan lembut. Martin mengangguk lalu berkata lagi, "Suruh mereka untuk membawa tas mereka, kami akan pulang lebih awal," ucap Martin lagi. Dan dibalas anggukan oleh guru muda itu. Martin lalu duduk di ruang tunggu, beberapa orang memandangnya dan beberapa orang bergunjing tenaganya. Namun saat melihat Martin mereka menyapa dengan sangat sopan dan ramah, dan Martin kadang mendengar gunjingan mereka