"Apa yang terjadi pada mereka?" tanya Martin, nada suaranya panik dan matanya sedikit membulat. "Mereka menghilang, dan sebentar lagi petugas kepolisian akan datang kemari, Sarah istri Anda melaporkan bahwa Anda lah yang telah menculik mereka." 'menculuk.' Kata yang keluar dari mulut Syarif membuat Martin kemudian paham bahwa saat ini, mereka terlalu jauh melakukannya pada Martin, melibatkan anak-anak Martin adalah hal yang sudah kelewatan dan saat ini, Sarah sudah melaporkannya ke polisi. "Aku yakin, Tuan, bahwa yang menculik anak-anak Anda adalah orang yang sama yang telah menculik adik Anda," ujar Syarif lagi, Martin terlihat lemas, dia terjatuh ke atas sofa dan nafasnya tidak terlalu baik. Syarif langsung membungkuk dan bertanya, "Anda baik-baik saja, Tuan?" Mata Martin menatap ke arah Syarif seakan berkata, pertanyaan macam apa itu? Tentu saja Martin sedang tidak baik-baik saja. Lalu seketika bel rumah kembali berbunyi dan Martin juga Syarif menoleh ke arah pintu. "Mungkin
Saat malam menyelimut, dan suasana dingin tak dapat dielakkan, Randy yang terjatuh dalam kegelapan hanya dapat menangis dan terisak, ponselnya juga tak dapat dia aktifkan, matanya mulai bengkak karena terus menangis ketakutan, dia memikirkan hal-hal aneh yang mungkin bisa menyakitinya dan sangat mengerikan, hantu-hantu atau makhluk goib, hewan-hewan buas yang mengerikan, atau penjahat yang akan kembali dan menyakitinya. Dia memikirkan ayah dan ibunya, memikirkan saudari perempuannya, apa yang mungkin penjahat itu lakukan pada Nadira. Apakah menyandra mereka dan menyiksanya atau melakukan hal yang lebih menakutkan dari hal yang dipikirkan Randy. Dia berada di atas rumput bersandarkan batang pohon, berharap bahwa memang tempat bersandarnya adalah batang pohon. Randy memeluk tubuhnya yang kecil, hingga terlelap dan jatuh pingsan. * "Bagaimana mereka bisa menemukanmu?" tanya Hatice, dia mengelus lembut rambut dan pipi yang menangis itu. Nadira terus meneteskan air mata hingga matanya
"Bukan aku yang melakukannya Sarah!" Martin membentak, Sarah datang ke rumah besar Dailuna di pagi hari. Dia mengamuk dan terlihat berantakan setelah mendapat kabar dari polisi bahwa bukan Martin yang melakukannya. "Kau berbohong bukan?! Kau berbohong! Kau yang menyembunyikan anak-anak kita! Katakan Martin, katakan bahwa kau yang melakukannya!" Sarah menjerit dan mulai cemas. Awalnya dia tidak begitu cemas karena dia menganggap bahwa Martin yang melakukannya, dan itu tidak perlu dikhawatirkan. Namun karena pengakuan Martin bahwa dirinya bukan pelaku penculikan anaknya, maka Sarah mulai merasa panik. "Lalu siapa yang melakukannya!? Ha?" Sarah berdiri di hadapan Martin, dia terlihat berantakan dan untuk pertama kalinya di kepala Sarah, dia tidak memikirkan tentang bisnis dan pekerjaannya. "Aku akan mencari tahu, kau tenangkan dirimu," ucap Martin, dia menyentuh kedua lengan Sarah, dan berharap mantan istrinya itu bisa tenang. "Kau ingin mencarinya? Kau ingin mencari anak kita? Baga
Ponsel Raisi berdering, pagi yang cukup cerah untuknya, saat terbangun, dia sudah melihat Lizzia berbaring memeluk tubuhnya. Dia meraih ponselnya di atas laci samping tempat tidur. Dia melihat, ibunya yang menelpon. "Ada apa Ma? Kenapa terdengar panik?" Suara Raisi tenang, hingga Lizzia membuka matanya dan melihat Raisi sedang berbicara melewati ponsel. Dia membangkitkan tubuhnya dan bagai ulat nakal menempelkan bibirnya pada tubuh bagian bawah Raisi, Lizzia mengeluarkan lidahnya dan menjilatinya. "Aku sedang melakukan... Arghh, Lizi jangan lakukan itu... Ma aku matikan ya..." Raisi lalu mematikan ponselnya dengan cepat dan memandang aksi nakal Lizzia di pagi hari. Dia menyeringai dengan mulut terbuka dan membiarkan Lizzia melakukan nakal yang memang selalu disukai oleh setiap pria. "Arghhh... Astaga... Kau melakukannya dengan baik..." Dia menyandarkan tubuhnya di kepala tempat tidur, menutup matanya, dan dia tak lagi merasakan sentuhan Lizzia dari alat sensitif miliknya. Dia me
Mata Randy terbuka, dan syukurlah, dia masih hidup, cahaya menembus masuk ke dalam matanya, dan perutnya terasa begitu lapar, perut kecilnya berbunyi-bunyi, dan kepalanya terasa sangat pusing. Dia merasakan matanya terasa perih, saat dia bercermin, dia sudah melihat kedua matanya begitu bengkak. Dia terbangun, duduk dan menenangkan diri, bersandar menatap ke arah langit, merasakan cahaya pagi. "Aku harus bagaimana sekarang?" dia bertanya-tanya. Lalu karena tak ingin berlama-lama, dia bangkit dari duduknya dan berjalan mengitari hutan, berharap dia mendapatkan jalan keluar ke jalan raya. Dia berjalan lambat dan berusaha untuk tetap berjalan, bernapas dan kalau bisa dia harus berlari kecil. "Tetaplah bernapas, tetaplah bernapas Randy," monolognya, dia berjalan, walau rasanya dia sudah tidak bisa menahan rasa sakitnya, bibirnya kering, dan kepalanya semakin pusing. Hingga dia menemukan sesuatu, entah berhalusinasi atau sedang bermimpi, dia menemukan sebuah rumah kayu tersembunyi di da
"Apa maksudmu? Apa maksudmu dia sedang ke pusat kota?" tanya Ibrahim saat tiba di rumah yang terletak di tengah hutan. Dia menggendong putranya dan berbicara dengan Sabina yang sedang memberi makan istri dari Pak Andi. "Ya, dia mengantar Randy ke kota, katanya Randy tersesat," jawab Nadira dengan balasan jujur dan masih fokus menyuapi wanita tua yang tak berbicara dan hanya menatap kosong ke depan. Mata Ibrahim nanar mendengarnya dan bertanya lagi, "Apa mereka sudah lama pergi?""Cukup lama, buktinya makanan nenek sudah mau habis," jawab Sabina. Ibrahim diam dan berpikir, dia bernapas cepat dan menelan ludah, dia mengembalikan Cihan pada kereta bayi dan sambil bersiap untuk pergi dia berkata lagi, "Aku akan pergi, dan kau, jaga nenek baik-baik ya." "Iya Om." Segera Ibrahim berjalan lincah keluar dari rumah kayu yang cukup luas dan enak dipandang itu, dia menancapkan laju mobilnya dan dia berharap agar Pak Andi sudah tidak terlalu jauh. "Sialan! Dasar Tua!" Dia memukul-mukul seti
Mata Martin menatap Andira yang berada di ujung tangga, di atas sana dia menatap gadis itu berdiri menampilkan mata indahnya yang mungkin sedang cemburu. Dengan cepat-cepat Martin mulai melepas pelukan Sarah namun Sarah tetap mengeratkan pelukannya dan berkata, "Aku selalu merindukanmu Mart." Pelukan erat Sarah malah membuat Martin merasa tidak nyaman dan dengan kasar dia melepasnya. "Aku tidak merindukanmu Sarah!" ucapnya dengan suara keras, dia sengaja mengatakan dengan cukup keras karena dia ingin Andira mendengarnya. Gadi itu melangkah turun melalui tangga saat dia mendengar suara deringan telpon yang berjarak tidak jauh dari ujung tangga bagian bawah. Sarah yang tadinya menatap Martin dengan kecewa kini menoleh ke arah gadis yang berjalan itu, seketika hatinya begitu panas melihat gadis pembantunya berjalan dengan bebasnya. Martin juga hanya diam menatap Andira yang kini mengangkat gagang telepon. "Iya?... Randy?" matanya membulat, menganga, begitupun dengan Martin yang mendeng
"Aku hanya ingin kau berhati-hati, Nak." Pak Andi menatap Martin dengan lekat-lekat dan penuh kecemasan, mereka berada di bagian belakang halaman rumah. "Apa Anda mengenal orang ini?" tanya Martin. "Aku tidak bisa mengatakannya, aku tidak bisa menyebut namanya, tapi dia sangat-sangat membencimu.""Tapi mengapa? Mengapa Anda tidak bisa mengatakan padaku? Dan apa alasannya dia membenciku." Martin terlihat mengernyit, kedua alisnya terangkat dan wajahnya penuh rasa penasaran. "Aku hanya tidak bisa Martin. Dan... Kenapa dia membencimu? Kau telah mengambil sesuatu yang berharga darinya. Aku hanya ingin mengatakan itu, aku tidak bisa mengatakan apapun lagi. Dia terlaku kuat dan terlalu mengancam, aku tidak tahu dimana anak dan adikmu di sekap Martin, hanya saja, kau adalah target utamanya, dan ini adalah permainannya, membuatmu menderita adalah tujuannya." Pak Andi menepuk pundak kanan Martin. Dimana Martin hanya diam. Dia diam dan terpaku tak bisa lagi berkata apa-apa. "Sebaiknya aku p