Mata Randy terbuka, dan syukurlah, dia masih hidup, cahaya menembus masuk ke dalam matanya, dan perutnya terasa begitu lapar, perut kecilnya berbunyi-bunyi, dan kepalanya terasa sangat pusing. Dia merasakan matanya terasa perih, saat dia bercermin, dia sudah melihat kedua matanya begitu bengkak. Dia terbangun, duduk dan menenangkan diri, bersandar menatap ke arah langit, merasakan cahaya pagi. "Aku harus bagaimana sekarang?" dia bertanya-tanya. Lalu karena tak ingin berlama-lama, dia bangkit dari duduknya dan berjalan mengitari hutan, berharap dia mendapatkan jalan keluar ke jalan raya. Dia berjalan lambat dan berusaha untuk tetap berjalan, bernapas dan kalau bisa dia harus berlari kecil. "Tetaplah bernapas, tetaplah bernapas Randy," monolognya, dia berjalan, walau rasanya dia sudah tidak bisa menahan rasa sakitnya, bibirnya kering, dan kepalanya semakin pusing. Hingga dia menemukan sesuatu, entah berhalusinasi atau sedang bermimpi, dia menemukan sebuah rumah kayu tersembunyi di da
"Apa maksudmu? Apa maksudmu dia sedang ke pusat kota?" tanya Ibrahim saat tiba di rumah yang terletak di tengah hutan. Dia menggendong putranya dan berbicara dengan Sabina yang sedang memberi makan istri dari Pak Andi. "Ya, dia mengantar Randy ke kota, katanya Randy tersesat," jawab Nadira dengan balasan jujur dan masih fokus menyuapi wanita tua yang tak berbicara dan hanya menatap kosong ke depan. Mata Ibrahim nanar mendengarnya dan bertanya lagi, "Apa mereka sudah lama pergi?""Cukup lama, buktinya makanan nenek sudah mau habis," jawab Sabina. Ibrahim diam dan berpikir, dia bernapas cepat dan menelan ludah, dia mengembalikan Cihan pada kereta bayi dan sambil bersiap untuk pergi dia berkata lagi, "Aku akan pergi, dan kau, jaga nenek baik-baik ya." "Iya Om." Segera Ibrahim berjalan lincah keluar dari rumah kayu yang cukup luas dan enak dipandang itu, dia menancapkan laju mobilnya dan dia berharap agar Pak Andi sudah tidak terlalu jauh. "Sialan! Dasar Tua!" Dia memukul-mukul seti
Mata Martin menatap Andira yang berada di ujung tangga, di atas sana dia menatap gadis itu berdiri menampilkan mata indahnya yang mungkin sedang cemburu. Dengan cepat-cepat Martin mulai melepas pelukan Sarah namun Sarah tetap mengeratkan pelukannya dan berkata, "Aku selalu merindukanmu Mart." Pelukan erat Sarah malah membuat Martin merasa tidak nyaman dan dengan kasar dia melepasnya. "Aku tidak merindukanmu Sarah!" ucapnya dengan suara keras, dia sengaja mengatakan dengan cukup keras karena dia ingin Andira mendengarnya. Gadi itu melangkah turun melalui tangga saat dia mendengar suara deringan telpon yang berjarak tidak jauh dari ujung tangga bagian bawah. Sarah yang tadinya menatap Martin dengan kecewa kini menoleh ke arah gadis yang berjalan itu, seketika hatinya begitu panas melihat gadis pembantunya berjalan dengan bebasnya. Martin juga hanya diam menatap Andira yang kini mengangkat gagang telepon. "Iya?... Randy?" matanya membulat, menganga, begitupun dengan Martin yang mendeng
"Aku hanya ingin kau berhati-hati, Nak." Pak Andi menatap Martin dengan lekat-lekat dan penuh kecemasan, mereka berada di bagian belakang halaman rumah. "Apa Anda mengenal orang ini?" tanya Martin. "Aku tidak bisa mengatakannya, aku tidak bisa menyebut namanya, tapi dia sangat-sangat membencimu.""Tapi mengapa? Mengapa Anda tidak bisa mengatakan padaku? Dan apa alasannya dia membenciku." Martin terlihat mengernyit, kedua alisnya terangkat dan wajahnya penuh rasa penasaran. "Aku hanya tidak bisa Martin. Dan... Kenapa dia membencimu? Kau telah mengambil sesuatu yang berharga darinya. Aku hanya ingin mengatakan itu, aku tidak bisa mengatakan apapun lagi. Dia terlaku kuat dan terlalu mengancam, aku tidak tahu dimana anak dan adikmu di sekap Martin, hanya saja, kau adalah target utamanya, dan ini adalah permainannya, membuatmu menderita adalah tujuannya." Pak Andi menepuk pundak kanan Martin. Dimana Martin hanya diam. Dia diam dan terpaku tak bisa lagi berkata apa-apa. "Sebaiknya aku p
Pak Andi terlihat menjalankan mobilnya dengan fokus tatapannya ke depan, dia tahu bahwa jika Ibrahim mengetahui apa yang telah dia lakukan maka pasti, Ibrahim akan melakukan hal buruk pada pria tua ini. Dan saat dia membelokkan mobilnya masuk ke dalam hutan, dan di tengah-tengah, dia melihat mobil hitam sudah berada di sana. Tentu saja Pak Andi tak dapat lewat, karena padatnya pohon dia tak dapat membelokkan mobilnya begitu saja. Saat berhenti, maka keluarlah Ibrahim dari mobil hitam miliknya. Dia berjalan ke arah Pak Andi yang sudah terlihat tak baik perasaannya. "Dimana bocah itu?" tanya Ibrahim. "Siapa?""Bocah Dailuna, dimana dia?" tanya Ibrahim lagi, nada suara berat, langkah yang semakin dekat dan tatapan tajam pada pria tua beruban ini. "Aku tidak paham dengan apa yang kau katakan, Nak." "Jangan panggil aku 'Nak!' Pak Tua!'' Tatapan Ibrahim begitu tajam, dan Pak Andi memundurkan tubuhnya hingga terbentur ringan dengan mobil. Pria tua ini beberapa kali menelan ludah. "Aku
Matanya buram saat mulai terbuka, kepalanya agak pusing dan kepalanya mulai terangkat, dia memandang ke depan dan masih kabur-kabur. Tangannya terasa sakit, ya tentu, kedua tangannya terikat ke belakang. Dia merasakan suhu dingin pada tubuhnya dan menyadari bahwa pakaiannya sudah terlepas, tinggal celana dalam yang dikenakannya. Keningnya juga berdarah, dan saat matanya terbuka sempurna, tatapannya menatap ke depan, dan tak lagi buram, dia melihat Nigel berdiri tegak di hadapannya. "Halo keponakan." Nigel, dia melipat tangannya di depan dada dan berdiri tegak tepat di hadapan Raisi. "Bagaimana keadaanmu? Tidak ada masalah?" tanyanya, dia terlihat berwajah malas dan tidak suka. "Paman Nigel? Kenapa kau melakukan ini padaku?" tanya Raisi dengan nada pelan yang lemah. "Well... Aku tidak melakukan ini karenamu, tapi aku menunggu ayahmu untuk datang menjadi pahlawanmu," ucap Nigel. "Aku juga tidak akan menyiksamu, jika kau memberitahuku, tentang bisnis ilegal yang pernah dijalankan oleh
"Kita harus bagaimana?" tanya Rami yang berada di samping Martin yang menunduk di dalam ruangan apartemen Raisi. "Entahlah, sebelum ini aku hanya merencanakan tentang liburan," ucapnya dengan sedih. "Liburan? Kau memikirkan liburan saat ini?""Aku begitu penat saat kasus tentangku melunjak di sosial media. Aku rasa aku akan pergi sendirian, namun Andira datang dan esoknya, Hatice menghilang, lalu anak-anakku, dan di sinilah aku," ujar Martin, nada bicaranya begitu sedih, dia menunduk dan tak tahu harus melakukan apa-apa, tubuhnya lemas dan kini hanya duduk di ujung ranjang milik Raisi. Rami ikut duduk di sampingnya. "Aku tidak tahu apa masalahmu Mart, dan apa aku bisa membantumu, namun ini terlalu rumit, sangat rumit jika kita tidak melibatkan polisi," balas Rami. "Polisi tidak akan bisa berbuat apa-apa. Lagi pula, mereka sudah mencari, Sarah sudah melaporkannya, apalagi yang bisa aku lakukan?""Itu tidak cukup jika kau tidak melaporkan Nigel!""Nigel memiliki adikku dan anak-anak
"Semua ini tidak ada kaitannya dengan mantan suamiku, kalian tidak perlu cemas atas apa yang akan kami lalui, dengan doa dan dukungan serta bantuan para polisi, kami akan menemukan anak kami segera," ujar Sarah di depan kamera. Martin tidak mengizinkan Sarah untuk memberitahu media bahwa Randy sudah ditemukan, dia hanya menyuruh Sarah untuk berbicara dengan jurnalis tentang perkembangan pencarian. "Apa Anda mencurigai seseorang? Atau adakah petunjuk akan hilangnya anak Anda?" tanya salah seorang jurnalis wanita. "Aku tidak tahu harus mencurigai siapa, selama ini kami tidak memiliki seorang musuh, kami juga tidak dihubungi oleh seorang untuk meminta jaminan, kami sama sekali tak memiliki petunjuk selain jejak-jejak yang sering dilalui anak-anak kami ketika pulang sekolah. Mungkin hanya itu yang bisa saya jawab," jelasnya, berniat masuk ke dalam mobilnya. "Apa pembantu Anda masih berhubungan dengan Tuan Martin Dailuna?" Sarah menolak menjawab dan masuk ke dalam mobil, dia menutupnya