Nigel terlihat begitu kesal saat dia beberapa kali menghubungi nomor Lizzia namun tidak dapat dia hubungi, dia juga kini mengunjungi tempat-tempat yang sering dikunjungi gadis itu. Dan saat dia tidak menemukannya, dia terus saja memukul-mukul setir mobilnya. "Aku betul-betul akan membunuhnya jika aku menemukannya!" Dia kini mengarahkan mobilnya pulang ke rumahnya, dia mengamuk di sana, memarahi para pelayan yang tak bersalah. Dan setelah puas memarahi para pelayan yang tak bersalah karena menuduh salah satu dari mereka menyembunyikan Lizzia, kini Nigel bergegas ke rumah ayahnya. Ryan Dailuna yang tengah menikmati masa pensiunannya di rumah sederhana yang nyaman. "Apa ayah yang menyembunyikan Lizzi?" Mata Nigel nanar menatap sang ayah. "Kenapa aku harus menyembunyikan pelacur mu?" Si tua Ryan membalas tatapan Nigel yang sama tajamnya. "Dengar! Kau pernah sekali menyembunyikan dia, kenapa sekarang aku harus berpikir bahwa bukan kau yang melakukannya!" Dia mengangkat kera baju pria
FlashbackRemaja laki-laki itu memandang kedatangan sang kakak yang baru saja keluar dari sebuah mobil hitam mewah yang dikendarai seorang pria yang tak dikenali sang adik. Mia terlihat keluar dengan wajah datar dan pucat. "Darimana saja?" tanyanya, sang kakak berwajah masam dan kecut saat mendengar pertanyaan itu. "Darimana saja? Ibu sejak tadi menanyakan Kakak," katanya lagi. "Bukan urusan kamu!" Suaranya tegas dan membentak. "Apa itu Martin? Dia tidak terlihat seperti Martin," sahutnya lagi berjalan di belakang Mia. "Apa urusanmu dengan itu?!" Mia sekali lagi membentak dan berhenti memelototi adiknya. "Tentu saja ada urusanku denganku, kau kakakku, dan ibu cemas karenamu!" Suara si adik juga menbesar, sama besarnya dengan suara sang kakak. "Kau tidak perlu cemas, sekarang aku sudah pulang! Lihat! Aku sudah pulang!" Mia semakin membentak, sepertinya suasana hatinya telah memburuk. "Tapi kau harus menghubungi kami dulu bahwa kau lambat pulang, Nak." Suara seorang laki-laki de
Dan di sini Mia, dia terlihat masih menunggu di sekitar dapur sampai adiknya keluar dari kamar mandi, hingga adiknya betul-betul keluar dari kamar mandi, dengan handuk yang menutupi sebagian tubuhnya. "Aku kira kau akan menginap di dalam sana!" Suaranya masih besar, dan Mia kemudian melangkah masuk ke dalam kamar mandi, membanting pintunya dan menyalakan keran air dimana dalam bak mandi, adiknya sudah menghabiskan airnya. Mia mengunci pintunya rapat-rapat dan mulai melepaskan pakaiannya dengan pelan, hingga seluruh tubuhnya terlihat begitu jelas, dia berdiri dan terlihat memikirkan sesuatu, dalam benaknya berkecamuk sesuatu yang sangat menyakitkan baginya. Dan beberapa saat kemudian, dia mengeluarkan sesuatu dari saku celana yang tadi dia kenakan. Sebuah benda kecil yang terlihat seperti test pack. Dia menelan ludah beberapa kali lalu menggunakan alat itu pada dirinya, dia menutup matanya lalu kemudian mengeluarkannya pada alat miliknya, dia melihatnya dan betapa leganya dia saat m
Present Andira masih memeluk erat tubuh Martin, dia mengabaikan gadis lain yang berada di samping Martin. Tangan Martin tak membalas pelukan itu hingga Andira dengan pelan melepas pelukannya. Dia hanya tersenyum dan tak mengatakan apa-apa, Martin yang melihat itu terlihat bingung, dia berpikir bahwa ada yang salah, mungkin terjadi sesuatu? "Ada apa?" tanya Martin. "Aku hanya merindukanmu," balas Andira. "Ini baru setengah hari, Andira." Martin yang kemudian melangkah mundur dari Andira dan berjalan masuk ke dalam rumah, melalui Andira dan juga gadis yang dibawanya. Sementara Andira yang mendengar itu hanya diam dan kini menatap ke arah gadis yang dibawa Martin. Lizzia, dia juga menatap Andira dan hanya bisa diam, setelah itu dia pun ikut masuk ke dalam rumah, melihat hal demikian, Andira mengernyitkan keningnya, dan bertanya-tanya, siapa gadis ini?Dia menelan ludah merasa sedikit malu karena Martin mengabaikannya, dia kemudian berbalik dan masuk ke dalam rumah dimana Martin terli
Martin menuruni tangga dan berjalan ke arah kamar pembantu yang berdekatan dengan dapur juga meja makan. Martin melangkah ke sana dan meraih gagang pintu, saat dia mencoba membukanya gagang pintu itu tak dapat dibuka, Andira ternyata menguncinya dari dalam. "Andira! Andira buka pintunya!" Suara Martin agak keras namun tidak seperti membentak. Martin juga mengetuk dan mulai memukul-mukul pintu kamar Andira yang tak terbuka. "Andira, Andira buka pintunya, ada apa denganmu?!" Suaranya semakin membesar. Dan beberapa saat kemudian saat Martin sudah sangat kesal karena tak dibukakan pintu akhirnya, pintu kamar itu terbuka, dan Andira berdiri di belakang bingkai pintu. Martin menatap gadis yang terlihat kesal dan menampakkan raut wajah datar. Melihat wajah yang datar itu Martin menyentuh lengannya dan mendorongnya masuk dan dengan cepat Martin menutup pintunya dan menguncinya dari dalam. "Ada apa dengan Anda Tuan? Kenapa selalu berubah, kadang baik, kadang lembut, kadang menjadi seperti
Mendengar setiap kata yang dilontarkan Andira membuat Martin Dailuna menjadi lebih lemah, selama ini dia berpikir bahwa Andira melakukan semua hal itu, tidur dengan Martin, bersikap lembut dan selalu tersenyum pada Martin adalah bukti cinta Andira. Namun semua itu hanya keterpaksaan semata. Martin terjatuh dan terduduk di atas lantai bersandarkan pintu, sementara Andira berada di hadapannya. Berdiri di hadapan Martin Dailuna yang juga mengalirkan air mata yang sama. "Apa itu yang Anda ingin dengar? Tuan Martin?" tanya Andira, yang terlihat masih berdiri di hadapan Martin yang terduduk. "Kau tidak mendengarkan apa yang aku katakan?" Martin dengan mata yang basah mendongak menatap Andira. "Apa yang Anda katakan?""Aku menyuruhmu untuk diam." Mendengar itu, Andira dengan air mata kini melingkarkan senyum di bibirnya dan berkata lagi, "Terlalu menyakitkan bukan? Mendengar suatu kebenaran?" Martin menggeleng, dia menelan ludah dan tak berkutik dari duduknya. Dia memijat pelipisnya da
Sekarang Ibrahim menginjak pedal gas mobilnya dan menuju kembali ke rumahnya, saat berada di rumahnya, pada teras rumah itu, dia melihat tiga pria dengan badan kekar dimana pria yang paling mengerikan kelihatannya berbicara dengan Sabina. Dia bahkan meraih tangan Sabina yang masih kecil, mengelusnya lembut, Sabina sendiri terlihat malu-malu. Melihat hal demikian dengan cepat Ibrahim keluar dari mobilnya. "Sabina!" Ibrahim melangkah dengan cepat dan setibanya di teras rumahnya dia langsung menarik Sabina ke belakangnya. "Apa yang kau lakukan di sini! Masuklah ke dalam!" Suaranya membesar. Sabina terlihat kesal dan dengan sifat penurut, Sabina masuk ke dalam rumah. Terlihat Nigel duduk dinding teras yang memang dikhususkan untuk duduk. "Apa yang kau lakukan padanya?" tanya Ibrahim kesal. "Aku tidak melakukan apa-apa, Ibrahim, apa yang bisa aku lakukan pada gadis kecil seperti dia?" balas Nigel. "Lain kali jika kau datang kemari jangan berani menyentuh bahkan sehelai rambut milikny
"Aku ingin bertemu dengan Ibrahim, aku mohon, biarkan aku bertemu dengannya," ujar Hatice saat seseorang membawakan makanan untuknya juga Nadira. Dia berlutut dan mendongak menatap pria kekar dan menyeramkan itu. Mata Hatice berkaca-kaca, wajahnya menampilkan kesedihan. Dia juga kadang menatap ke arah Nadira yang meringkuk berbaring di lantai, Nadira yang matanya telah bengkak karena tak berhenti menangis bahkan mental gadis ini hampir saja hancur karena apa yang dipertontonkan padanya, juga betapa pengapnya ruangan yang mereka tempati. "Ibrahim tidak berada di sini, dia akan datang besok, kalian makan saja makanan kalian dan dengarkan apa yang kami katakan. Setidaknya itu membuat kalian bisa bertahan hidup," ujar pria kekar yang berwajah sangar namun bersuara tenang, dia lalu keluar dari ruangan pengap itu meninggalkan Hatice juga Nadira yang masih saja menangis. Hatice terlihat begitu hancur, dia tak kuasa menahan air nata untuk keluar dari kelopak mata indahnya. Dan beberapa saa