Sekarang Ibrahim menginjak pedal gas mobilnya dan menuju kembali ke rumahnya, saat berada di rumahnya, pada teras rumah itu, dia melihat tiga pria dengan badan kekar dimana pria yang paling mengerikan kelihatannya berbicara dengan Sabina. Dia bahkan meraih tangan Sabina yang masih kecil, mengelusnya lembut, Sabina sendiri terlihat malu-malu. Melihat hal demikian dengan cepat Ibrahim keluar dari mobilnya. "Sabina!" Ibrahim melangkah dengan cepat dan setibanya di teras rumahnya dia langsung menarik Sabina ke belakangnya. "Apa yang kau lakukan di sini! Masuklah ke dalam!" Suaranya membesar. Sabina terlihat kesal dan dengan sifat penurut, Sabina masuk ke dalam rumah. Terlihat Nigel duduk dinding teras yang memang dikhususkan untuk duduk. "Apa yang kau lakukan padanya?" tanya Ibrahim kesal. "Aku tidak melakukan apa-apa, Ibrahim, apa yang bisa aku lakukan pada gadis kecil seperti dia?" balas Nigel. "Lain kali jika kau datang kemari jangan berani menyentuh bahkan sehelai rambut milikny
"Aku ingin bertemu dengan Ibrahim, aku mohon, biarkan aku bertemu dengannya," ujar Hatice saat seseorang membawakan makanan untuknya juga Nadira. Dia berlutut dan mendongak menatap pria kekar dan menyeramkan itu. Mata Hatice berkaca-kaca, wajahnya menampilkan kesedihan. Dia juga kadang menatap ke arah Nadira yang meringkuk berbaring di lantai, Nadira yang matanya telah bengkak karena tak berhenti menangis bahkan mental gadis ini hampir saja hancur karena apa yang dipertontonkan padanya, juga betapa pengapnya ruangan yang mereka tempati. "Ibrahim tidak berada di sini, dia akan datang besok, kalian makan saja makanan kalian dan dengarkan apa yang kami katakan. Setidaknya itu membuat kalian bisa bertahan hidup," ujar pria kekar yang berwajah sangar namun bersuara tenang, dia lalu keluar dari ruangan pengap itu meninggalkan Hatice juga Nadira yang masih saja menangis. Hatice terlihat begitu hancur, dia tak kuasa menahan air nata untuk keluar dari kelopak mata indahnya. Dan beberapa saa
Sementara di sini, Raisi yabg terbaring dengan tangan terikat dan kursi yang berada di belakang tubuhnya. Saat dia membuka matanya dengan pelan karena sempat jatuh pingsan, dia mendengar sebuah suara yang dikenalinya, suara yang membentak dan menangis dengan begitu besar, walau samar-samar namun Raisi mengenali betul suara ini. Kedua kelopak mata Raisi semakin membesar saat dia kembali mendengar suara tangsi itu. Namun dia sama sekali tak dapat bergerak karena tangannya masih terikat di belakang punggungnya serta kaki yang juga masih terikat. "Nadira? Itu Nadira?" monolognya sendiri, suaranya seperti cemas bercampur dengan rasa terkejut. Dia menggeser-geser tubuhnya di lantai, seperti seekor ulat yang kecil. Raisi juga menggerak-gerakkan tali yang mengikat tangannya, berusaha untuk terlepas dari ikatan tali itu. Walau sakit dia tetap memaksa agar tali itu bisa terlepas. Rasa perih di pergelangan tangannya mampu membuat Raisi meneteskan air mata. Ini seperti saat lidah seorang yang
Saat bibir Martin jatuh pada bibir Andira, dan dengan menikmati bibir itu, Martin berusaha untuk melupakan kebohongan Andira. Dan Andira sendiri, dia membalas lumatan bibir Martin dan juga berusaha untuk tetap berpura-pura dan ikut menikmati lumatan bibir Martin. Kedua tangan Andira mengalung pada leher Martin dan kaki kirinya terangkat hingga terikat pada tubuh Martin. Martin sedikit mendorong tubuh Andira untuk bersandar di dinding, lalu mengangkat kedua kaki indah Andira untuk mengikatkannya pada punggung Martin. Mereka melepas hubungan bibir mereka, mengambil nafas cukup dan saling memandang. "Apa di sini juga ada kamera?" Andira mengangguk, tak berkata apa-apa dia kembali agresif dan melumat bibir Martin. Sesuatu mengeras di balik celana panjang Martin. Saat mereka kembali melepas hubungan bibir itu, Martin menurunkan kaki Andira, dia menatap Andira dalam diam, membiarkan batang yang mengeras itu tetap mengeras, dia hanya menatap kelopak mata Andira yang dimana mereka saling m
Berita tentang kematian Pak Andi sudah tersebar di mana-mana. Mata Sabina yang melihat itu langsung membulat, dia melihatnya di dalam tv nasional yang sudah tersebar di saluran tv nasional. Dia menelan ludah dan langsung membangunkan Ibrahim dari tidurnya. Dia mengetuk pintu kamar Ibrahim yang sama sekali tak terkunci. Karena tak mendapatkan jawaban Sabina langsung masuk ke dalam kamar Ibrahim dimana di sana, dia masih tertidur dan berbalut selimut. "Paman Ibrahim! Paman!" Sabina sambil menggerak-gerakkan tubuh Ibrahim yang terlelap. Terlihat kecemasan pada wajah polos Sabina. "Paman!" Dia kemudian membesarkan suaranya dan memukul wajah Ibrahim yang akhirnya terbangun. Dengan mata yang masih sayup-sayup Ibrahim terbangun. Mata yang masih menyipit itu menatap Sabina. "Ada apa?" Dengan suara lemah Ibrahim menjawab. "Kakek, kakek Andi...." Sabina tak kuasa, dia mengeluarkan air matanya dan menangis di hadapan Ibrahim. Mendengarnya Ibrahim kemudian terbangun dan sedikit terkejut atau p
Andira terlihat bangun dari tidurnya dan segera memandikan tubuhnya yang terasa gerah dan lelah. Raut wajah dia datar dan hanya menikmati guyuran air yang jatuh dari lubang-lubang shower. Dan setelah membersihkan tubuhnya dia mengenakan pakaian dengan model yang sering dipakainya, baju sayak yang menutupi hingga di atas lutut dengan motif bunga-bunga kecil yang dimana belahan dada sedikit terlihat. Saat menatap tubuhnya di dalam cermin besar di samping lemari dan tempat tidur, terdengar pintu kamarnya diketuk oleh seseorang. Andira membalikkan tubuhnya dan melangkah ke arah pintu dan dengan pelan dia membukanya, melihat Lizzia berdiri di hadapan pintu. "Iya?""Aku dengar bahwa beberapa sudut di rumah ini terdapat cctv, benar?" tanyanya, matanya terlihat tatapan cemas. "Iya." Andira menjawab pelan dan lemah. "Apa aku bisa tahu dimana saja?""Di kamarku, di kamar Martin, di dapur, ruang kerja Martin, hanya itu, kenapa?" "Berarti di sini...""Kau tidak akan terlihat, hanya bagian
Mata Martin membulat melihat dokumen yang menunjukkan foto dan tentang kasus kematian Pak Andi. Martin geleng-geleng kepala dengan kata suara kecil yang berkata, "Tidak mungkin, ini tidak mungkin terjadi," katanya, berulang-ulang meluhat dokumennya. Andira sendiri diperintahkan oleh Martin untuk kembali ke meja makan dan bertemu dengan Lizzia. "Ada apa?" tanya Lizzia saat melihat Andira tiba di meja makan. "Sesuatu terjadi, ini menyangkut tentang hilangnya anak-anak Martin," jawab Andira dan langsung duduk di kursinya, dia menunduk dan merenung, memikirkan sesuatu di benaknya. Sementara Martin sendiri masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya, doa orang petugas kepolisian berada di depannya, duduk di atas sofa rumahnya, memberi kabar tentang kematian seseorang yang baik padanya. "Kenapa Anda tidak mengatakan bahwa anak Anda, Randy Dailuna telah ditemukan?" tanya Syarif kepada Martin yang dimana Martin langsung menatap Syarif. "Untuk menjauhi media," jawab Martin. "Kami sempat
Sementara Andira di sini, dia masih berdiri dan berpikir untuk menghubungi Ibrahim. Dia masuk ke dalam kamarnya, dan mengunci pintu kamarnya dari dalam. Dia mengubungi Ibrahim dengan sangat tergesa-gesa. "Halo." "Ada apa Andira?" tanya Ibrahim dalam panggilannya. "Apa yang kau lakukan pad pria tua itu? Aku yakin kau yang melakukannya bukan?" Suara Andira berbisik-bisik, takut nanti Lizzia menguping. Walau tidak masuk akal jika Lizzia mendengarnya, toh Lizzia sedang mencuci piring di dapur dan mulai sedikit merasa aman di rumah bak istana tanpa pelayan itu. Kembali pada Andira tang masih merasa cemas dan tergesa-gesa."Apa pedulimu pada pria tua yang tak berguna itu. Dan ya kenapa kau mematikan sambungan kamera tersembunyi di dalam dapur rumah Dailuna, juga... Kau tidak memberitahuku bahwa Randy sudah pulang ke rumahnya! Kenapa denganmu Andira!" Suara Ibrahim membentak. "Apalagi yang kau inginkan dariku Ibrahim! Aku sudah melakukan semuanya untukmu!""Itu tidak cukup untuk menghan