Keempat anggota keluarga Lady Rose itu duduk berhadap-hadapan; kedua remaja di satu sisi, Lady Rose dan Orion di sisi lainnya. Sebuah kursi telah tersedia dan ditarikkan seorang pelayan bagi Maharani di ujung meja kayu mewah persegi panjang yang sebenarnya bisa digunakan 10 orang itu. Ia merasa canggung, bukan karena harus duduk di posisi yang strategis itu, melainkan karena ia bersebelahan langsung dengan Lady Rose dan Leon. Grace dan Orion si pemuda misterius berada pada sisi terjauh.
"Selamat malam dan selamat datang di perjamuan makan malam istimewa Keluarga Delucas, khusus untuk menyambut tamu agung kita, guru bahasa kita yang datang jauh-jauh dari Evernesia, Nona Maharani Cempaka!" sambut Lady Rose yang berdandan glamor dan bergaun klasik bagai seorang ratu. Sangat kontras dengan Maharani, pancaran auranya begitu kuat, membuat gadis itu sempat minder. Lipstik marun, pipi ber-blush on tegas pada bagian tulang pipinya yang tinggi menjadikannya mirip ikon-ikon kecantikan tahun sembilan belas delapan puluh atau sembilan puluhan.
"Alangkah cantiknya Anda, Nona Cempaka!" seru Leon dengan suara tinggi, mencairkan kekakuan. Remaja itu tampaknya mulai mengagumi guru barunya yang hanya berusia beberapa tahun lebih tua, apalagi dengan wajah Everasia yang cenderung imut dan awet muda. Melihat kekonyolan kakaknya, Grace tertawa lepas cekikikan, namun Leon segera menyikut gadis itu sambil menambahkan, "Dik, bersopan santunlah sedikit. Uh, maafkan pujianku tadi, Nona, tapi memang benar, di sini selama bertahun-tahun kami sangat jarang menerima tamu dari Benua Everiental yang begitu jauh dan eksotis. Ingin sekali bisa ke sana suatu hari nanti! Oh ya, pujianku tulus, bukan untuk mendapat nilai bagus dari Anda! Kami berdua siap mulai giat belajar mulai besok pagi!"
"Ayo, selamat menikmati, silakan! Grace, pimpinlah doa makan, lalu kita bisa mulai menikmati santapan-santapan lezat sepuasnya!" Lady Rose kembali mengambil alih pusat perhatian.
Grace mengucapkan doa yang panjang dan khusuk, tampaknya sudah hafal sekali, sepertinya keluarga Everopa ini termasuk taat beribadat. Semuanya dengan khidmat mengucap syukur sebelum membuka mata dan mulai bersiap-siap menikmati santap malam.
Aneka peralatan makan perak tampil bersih berkilau mulai dari beberapa macam sendok, garpu hingga serbet makan yang wajib diletakkan di pangkuan masing-masing. Lilin-lilin tinggi menyala di chandelier dan aneka bunga potong segar menghias meja makan. Tentu saja hidangan berporsi besar-besar yang disediakan sangat menggugah selera. Mulai dari aneka pembuka berupa sup dan salad, hidangan utama daging steak tebal disertai kentang tumbuk, sampai penutup berupa puding karamel dan buah-buahan segar disajikan lengkap dengan penataan kelas satu. Maharani merasa kagok, di Evernesia ia terbiasa makan dengan peralatan seadanya, duduk selonjoran di lantai atau sambil menonton televisi. Di sini, sepertinya ia harus mulai belajar table manner dan etika ala keluarga bangsawan Everopa!
Orion di kejauhan sesekali seperti berusaha berkomunikasi dengannya. Sangat dimaklumi, wajar jika ia berusaha untuk ramah terhadap tamu atau anggota keluarga baru mereka yang akan tinggal bersama-sama dalam satu kompleks besar milik pribadi untuk bertahun-tahun ke depan! Namun selalu ada tembok berpenghalang di antara Orion dan Maharani, tak peduli seberapa pemuda misterius itu mencoba untuk bicara. Lady Rose selalu bercanda dan menyuapi pemuda itu seperti kekasih yang sedang jatuh cinta. Orion tak terlalu menanggapi, hanya tersenyum saja tanpa membalas kemesraan itu.
'Jangan-jangan...' Maharani berusaha keras menduga-duga ada hubungan apa di antara mereka, sesuatu yang bahkan Lady Rose belum ungkapkan. Ia hanya bisa menduga-duga. 'Tak mungkin ia ayah kandung Leon dan Grace. Ia pasti...'
"Nona Maharani! Kami belum lama ini resmi menikah dan sangat berbahagia, iya 'kan, Orionku Sayang?" Lady Rose ternyata tahu apa yang ingin ditanyakan guru muda yang bertanya-tanya itu, "Masih pengantin baru! Suamiku, si brengsek ayah kandung Leon dan Grace, pergi meninggalkanku demi seorang wanita lain di Evemerika! Lihat, dipikirnya aku akan mendendam dan mati merana dalam kesedihan di sini? Aku bisa memperoleh siapapun yang kuinginkan! Bukankah begitu, Orion?" digigitnya sebuah ceri merah merona, seakan-akan menyindir atau meledek Maharani yang masih berstatus lajang.
"Oh, ya, tentu saja, Dear Lady Rose!" gugup Orion, berusaha untuk terlihat menyetujui apa yang istrinya katakan.
Terlihat jelas, hanya Lady Rose yang dominan dalam hubungan ini. Maharani merasa tertusuk, entah perasaan apa yang ia rasakan saat ini.
'Cemburukah aku? Ah, tidak, tidak, tidak! Hanya hal yang sangat wajar, karena memang hingga usia dua puluh empat tahun aku belum pernah punya pasangan! Beberapa teman pria di Evernesia mengajak kencan dan jalan-jalan, tak pernah kulayani! Aku tak pernah ingin berpacaran dengan siapapun hingga saat ini! Tapi, mengapa Orion...'
Makan malam perdana itu berlangsung begitu meriah sekaligus terasa begitu kaku bagi Maharani. Ia merasa kelaparan, semestinya bisa menikmati semua hidangan yang tersaji mewah di hadapannya ini, sebuah kesempatan yang sangat langka baginya. Terbiasa hidup mandiri dan sederhana di kost kecil murahnya di Evernesia, di ibu kota nan padat bernama Viabata, Maharani sering hanya bisa makan ala kadarnya di warung tradisional pinggir jalan, berlauk nasi putih, telur, sayur, tempe dan tahu. Namun kini di hadapannya tersaji segala jenis makanan mewah yang ia hanya pernah lihat di film-film bernuansa kerajaan. Semuanya dalam porsi yang lebih dari yang bisa mereka makan, seolah-olah mereka sedang berpesta. "Silakan, Nona Cempaka. Kami masih memiliki banyak sekali makanan. Jangan ragu-ragu, bila tidak enak, silakan beritahukan kepada kami agar koki kami bisa memperbaiki mutunya!" Grace Delucas, si bungsu, mencoba untuk memecah kekakuan. "Ya, tentu saja, terima kasih, Nona Delucas!
"Oh, ha-ha-hai, selamat malam, Tuan Delucas," Maharani tergagap menyadari sosok yang tetiba hadir di belakangnya dan kini berdampingan dengannya. Pemuda Everopa itu mengenakan stelan jas semi formal yang tampak elegan namun nyaman dikenakan. Sangat pantas di tubuhnya yang langsing, tinggi, ideal dan atletis. Rambutnya cokelat sedikit gondrong hampir menyentuh bahu. Maharani tampak agak mungil di sisinya. Pemuda itu bertumpu pada pagar beranda, menatap lawan bicaranya dengan pandangan hangat. 'Tidak terkesan genit apalagi penuh nafsu, hanya ramah atau bersahabat. Atau mungkin lebih dari itu?' Demikian sempat terlintas di benak Maharani. "Akhirnya kita bisa bertemu berdua saja, Nona Maharani. Jangan memanggilku Tuan Delucas. Sebenarnya aku bukan tuan besar dalam keluarga ini. Panggil saja aku dengan nama kecilku, Orion." Suara pemuda itu begitu merdu didengar, senyumnya juga begitu manis, bibir lembut berpadu deretan gigi putih bersih terawat. Hidungnya
"A-a-apa yang Tuan Orion, eh, kamu katakan kepadaku?" Maharani memastikan bahwa ia tidak salah dengar. Ajakan Orion Delucas itu membuatnya gugup, terlebih karena tidak ada orang lain di lobi itu. "Aku tidak main-main, jalan setapak menuju paviliunmu cukup jauh dari mansion ini, perlu waktu minimal sepuluh menit untuk mencapainya, apalagi udara sangat dingin dan hujan mulai deras. Terima saja tawaranku." "Ta-ta-pi nanti Lady Rose Delucas tidak akan senang apabila..." Orion mendekat, sepertinya tubuhnya yang tinggi akan merapat lebih dekat apabila Rani tidak mundur selangkah karena masih merasa begitu segan. "Istriku, uh, mengapa aku sebut begitu walau memang kenyataannya, tak akan bisa membantah karena ini memang darurat! Tenang saja, yang penting malam ini kau sehat dan siap mengajar besok dalam kondisi prima! Mari, ikuti aku dan segeralah beristirahat. Di dalam lemari kamar tamu nanti ada banyak gaun tidur bersih dan baru khusus untuk tamu, kau bisa memilih dan mengenakannya!" Or
Sebenarnya Maharani tak ingin melihat dan mendengar semua itu. Tak ayal ia terlanjur mengetahuinya, tak bisa lagi menahan-nahan rasa penasarannya. Seumur umur ia belum pernah menonton satu pun film dewasa, bahkan sinetron dan Drama Khoreya-Everiental saja tak pernah sempat disaksikannya. Namun adegan tak terduga yang tersaji dan tak sengaja diketahuinya telah membuat insting terpendamnya membara. 'Orion, I don't know why, but honestly, I want you too!' Sementara sebuah perasaan lain berkecamuk dalam hatinya, antara kesal, marah, dan... 'Cemburu? ah, tidak, tidak, tidak! Aku bukan tipe gadis cemburuan, apalagi kepada suami orang lain, itu sebuah hal terlarang, aku hanya ingin...' Maharani menggigit bibir, tak tahu harus berkata apa dalam hatinya mengenai istilah yang satu itu. Lady Rose terengah-engah, ia sangat ingin agar suaminya itu memulai saja permainan intim mereka, tak hanya sekadar menyentuh, meremas atau membelai. "
Orion masih berdiri sendirian di beranda itu. Ia masih teringat benar pada kejadian beberapa saat yang lalu.Lady Rosemary kerap menggodanya. Sebagai istrinya yang 'sah', tentu saja wanita itu tak bersalah jika berusaha menggoda dan memikat suaminya dengan segala cara. Tubuh wanita itu memang masih kencang, langsing dan sintal walau sudah memasuki usia empat puluhan. Sebagai pria muda yang tertarik kepada lawan jenis, Orion tentu saja ingin mencoba untuk membuktikan diri. Mungkin lebih seperti tantangan, sebuah pemenuhan kebutuhan fisik belaka. Seperti yang sering dilakukan pria manapun di seluruh dunia, dengan atau tanpa partner. Sangat alami, sangat masuk akal.Namun tanpa cinta, Orion merasa mustahil dirinya bisa bersama dengan siapapun. Ia seorang pemuda penurut dan pendiam yang tadinya menurut saja pada kemauan sang ibu. Ia baru saja kembali dari Everlondon, seorang pianis yang sukses dan mulai populer. Tetapi tiba-tiba saja ibunya memintanya kembali ke Chestertow
"Oh, itu semua hanya mimpi! Walaupun sedikit kesal harus berakhir, syukurlah, bukan kenyataan!" Dini hari menjelang pagi, Maharani mendadak terjaga. Ia sadar jika ia seharusnya tak menginap di sini, harus kembali ke paviliun secepatnya. Semalam ia tak seharusnya berada di main mansion ini, apalagi hanya atas izin Orion. Sang nyonya rumah yang galak tentu akan curiga. Maka gadis itu secepatnya mengenakan pakaian semalam dan diam-diam berlalu dari sana menuju paviliunnya sendiri. Udara pagi buta pegunungan Chestertown masih dingin menusuk tulang walaupun hujan semalam sudah lama berhenti. Maharani berusaha menahannya dengan syal panjang yang ketat membalut leher. Bagaimanapun ia harus membiasakan diri. Ia hanya sempat mandi pagi sejenak dengan air hangat dan berganti busana sebelum kembali ke main mansion untuk memulai tugas di hari pertamanya. Dipastikannya penampilannya sebagai guru privat cukup prima, walau memikirkan akan bertemu dengan Orion lagi sedikit banyak cukup menggelisahka
"Oh, ten-ten-tentu saja!" Cara Orion 'mengajak'-nya sedikit membuat Rani gugup. Pemuda itu memandangnya dalam-dalam seperti ingin sekali mengatakan hal lain, namun sadar jika mereka masih berada di tempat terbuka. Sewaktu-waktu ada pegawai lewat dengan kereta kuda pembawa barang yang masih lazim digunakan di sini. "Terima kasih dan percayalah kepadaku. Jangan khawatir, aku bukan pemuda yang tak sopan! Meskipun aku ingin sekali sesekali bisa memutar ulang waktu agar aku tak berada di sini saat ini." Orion kembali berjalan menuju ke main mansion, seolah masih berusaha menutup-nutupi apa yang ia ingin utarakan. Rani diam-diam mengikutinya dari belakang. Diam-diam ia menikmati, mengagumi tubuh tinggi, ketegapan serta rambut lebat hitam kecokelatan berpotongan gondrong sebahu, ciri khas seorang Orion Delucas. Sosoknya begitu agung dan maskulin, lagi-lagi selalu membuatnya memikirkan adegan intim semalam. 'Oh, why do I want you so bad, as bad as your look last night!' Rani menggeleng sea
"A-a-apa?" Rani tak tahu harus menjawab apa, begitu terkejut dengan permintaan Orion yang mendadak dan begitu absurd itu. "Kau pasti hanya bercanda. Kumohon, jangan berpikiran buruk seperti itu, Orion. Maafkan aku, tapi aku sungguh-sungguh tak bisa membantumu, terutama apa yang tak layak kulakukan sebagai seorang guru dan tamu di kediaman Delucas ini!" "Sebenarnya kau memang tak bisa, atau memang tak ingin membantuku? Apakah kau punya jalan keluar lain atas masalahku? Kau belum tahu jika masalah ini membuatku hampir gila! Jika kau tak bisa menolongku, lalu siapa lagi? Masa depanku, karierku, keinginanku untuk merasakan cinta sejati, semua sirna bersama pernikahan palsu ini!" Sedikit berteriak, Orion baru sadar jika ia terlalu terbawa emosi, mencoba mengatur napas yang mulai terengah-engah. Mata Rani menyipit. "Palsu? Apa maksudmu?" Orion berbisik perlahan sekali di telinga Rani, napasnya hangat membelai tengkuk gadis itu. "Hampir sama seperti di negerimu, Eve