"Hah? Bagaimana mungkin? Papa Orion dan Nona Rani? Sungguh keterlaluan! Kali ini kau terlalu mengada-ngada dan berlebihan!" Grace hampir saja tertawa lepas mendengar opini liar yang dilontarkan kakak lelakinya itu. "Bisa saja. Mereka cantik dan tampan. Kelihatannya mereka cocok dan juga punya 'chemistry', suka atau tidak, kuakui aku merasakannya!" "Mama kita sudah menikahi Papa Orion dan mereka tentunya sudah terikat! Papa Orion tentunya pria muda yang setia, jika tidak, mama kita takkan memilihnya menjadi pengganti papa kandung kita..." "Jangan terlalu naif, Dik! Kita belum mengenal Papa Orion dengan baik, begitu pula mereka berdua. Terus terang, kurasa belum ada cinta tumbuh di antara mama kita dan Papa Orion!" Leon menambahkan. Bagaimanapun ia merasa jauh lebih lega setelah mengeluarkan satu uneg-uneg. Meskipun satu lagi ia takkan pernah ungkapkan, mengenai 'crush'-nya dengan Rani! "Uh, seolah-olah kau ini iri juga. Mungkin sudah saatnya kau cari pacar baru, Kak!" Grace belum me
"Astaga. Rani, mari kita coba untuk tetap tenang, oke? Jangan bersuara dan jangan bergerak." Orion berusaha tetap mengamati semua yang terjadi di luar sana walaupun pencahayaan sangat minim.Bagaikan parade atau karnaval, dalam remang cahaya rembulan beberapa sosok besar kecil terhuyung-huyung melintas sendiri-sendiri di jalan raya dan trotoar SOHO. Rombongan survivor, atau mungkin sekali 'mereka yang pernah menjadi manusia' alias korban reanimasi! Zombie! Baik Orion maupun Rani sudah beberapa kali bertemu langsung walau kali ini sangat berbeda. Lebih banyak, belasan, dua puluhan, entah dari mana menuju ke mana!Ada yang sangat lambat berjalan karena sudah terluka, sebaliknya banyak yang masih sangat gesit. Mereka tak sepenuhnya asal berkeliaran seperti dalam adegan film-film horor zaman dahulu. Beberapa sepertinya masih 'setengah sadar' dan sibuk mencari-cari sesuatu."Oh, mungkin itu sebabnya tong-tong sampah terguling dan banyak barang di jalan raya berserakan... Mereka pasti mengai
Orion tahu Rani sangat cemas, segera ia berusaha menenangkan, "Hanya ada satu masalah, ada seorang anak tanggung seusia Grace. Tenang saja, tak usah takut. Mari kita coba keluar tanpa keributan! Senjata ini takkan kugunakan, kurasa aku akan menyimpannya saja, oke?" bisik Orion setelah berjongkok lagi, tak ingin membuat Rani panik. Ia tahu setiap langkah dan keputusan yang diambil akan sangat menentukan nasibnya dan Rani. Siapa tahu apa yang akan diperbuat sosok remaja itu, apakah ia berbahaya atau sebaliknya? "Baiklah. Aku setuju! Tetapi jangan simpan dulu bet itu, pegang saja hingga yakin aman." Rani merasa jika pendapat Orion benar. Berbuat ceroboh apalagi menimbulkan suara berlebihan hanya akan memanggil kawanan zombie tadi datang kembali. "Baiklah, maybe we'll need it just in case. Sekarang kita bergerak. Anak itu sedang asyik makan, semoga saja ia tak mendengar atau melihat kita. Keluar sendiri-sendiri, segera berlari menuju sepeda motor. Kau masih ingat di mana kita parkir? I m
'Astaga. Ini dia momen yang kutunggu-tunggu! Secepatnya aku akan masuk ke kompleks dan bersembunyi di manapun hingga aku berhasil... menyampaikan... ini... Orion Brighton, semoga Tuhan mengampuniku karena kurang mengasihi dan gagal menjaga nyawaku sendiri. Akan tetapi demi dirimu dan Maharani, aku rela...'Mendekat untuk melihat, kini sosok terinfeksi itu bisa mendengar dari jarak tak seberapa jauh, tepatnya dari kamp Edward Bennet, para tamu 'pencari suaka' mengeluhkan padamnya lampu. Terpaksa kembali menyalakan senter, lampu minyak dan lentera berbaterai isi ulang yang entah akan bertahan sampai kapan."Astaga, baru saja berhasil keluar dari kota mati, sekarang di sini gelap lagi!""Semoga aman! Rev. Edward Bennet telah menjamin kita bahwa kompleks Delucas memiliki segalanya!""Berharap saja tak ada zombie di dalam sini..."Sosok misterius terinfeksi itu hanya bisa mendengarkan semua percakapan itu dalam diam, 'Sayangnya, kalian salah besar! Aku sewaktu-waktu akan berubah dan bisa sa
Lady Magdalene dan kedua remaja Delucas yang berada dalam mansion Brighton belum mengetahui semua yang terjadi di luar sana. Meski sempat tertidur sesaat; Leon dan Grace di sofa, Mag sendiri di kamarnya, hanya sekitar satu hingga dua jam saja ketiganya bisa terlelap saking lelah.Entah rasa penasaran atau mimpi buruk apa yang kemudian menyentakkan mereka satu persatu kembali ke alam nyata. Grace tak terbiasa tidur di tempat selain kamar sendiri, ia yang pertama terjaga, nyaris seperti tersentak dibangunkan kekuatan tak terlihat."Pukul berapa ini? Sudah menjelang fajar? Kelihatannya Nona Rani dan Papa Orion belum juga kembali! Astaga, mereka sudah pergi lama sekali. Apa sebenarnya yang mereka lakukan di kota?" Ia mencoba menelepon ponsel Rani dan Orion. Sayangnya, tak ada sinyal. Kemungkinan besar memang operator selular di Chestertown juga sudah tak berfungsi."Leon, bangun! Papa Orion dan Nona Rani tak bisa dihubungi dan mereka juga belum kembali dari Chestertown!"Leon sebenarnya en
Orion dan Maharani tak memerlukan senter untuk melihat target-target dengan jelas. Perlahan mendekat dan bersembunyi di balik pepohonan dan sesemakan taman utama main mansion Brighton, keduanya menghitung. Ada sepuluh hingga dua belasan sosok di sekitar pintu utama. Jaraknya mungkin hanya beberapa belas meter, tak terlalu dekat namun juga tak jauh. Langit tak lagi biru kehitaman, cahaya oranye lemah merekah semakin terang di ufuk Timur. Fajar yang sepi tak berangin itu sebentar lagi akan terkoyak oleh beberapa suara... Orion tak ingin menunda lebih lama. Diarahkannya shotgun pada target dan membidik untuk mencontohkan."Aku pernah berangkat berburu hewan hutan. Anggap saja kita sedang begitu, Sayang! This is a hunting season. We're on a hunt." bisiknya seakan menghibur Rani sekaligus meningkatkan rasa percaya diri, "Ingat, kita bidik pada kepalanya, sasaran satu-satunya, headshot!" Semua seperti adegan slow motion saja bagi Rani. Satu timah panas lurus meluncur. Nyaris tanpa suara k
"Tolong aku! Lapar... Haus... Sesak..."Leon dan Grace sebenarnya tahu lebih baik segera menyelamatkan diri sekarang juga daripada sok jadi jagoan. Tetap saja kekerasan hati sang anak sulung membuat kakinya teguh bertahan. Ia tak ingin jadi pengecut yang pergi begitu saja tanpa perlawanan!"Kami tak punya apa-apa yang kau inginkan, Sir! Pergi dari sini, atau kau kami tusuk! Kami takkan berbaik hati..." Di luar dugaan, Leon merogoh saku jaket adiknya dan menyambar pisau lipat Grace. Diacungkannya di depan dada seolah-olah mencoba mengancam sosok korban reanimasi, pria tua malang yang segera mencapai mereka dalam jarak beberapa meter lagi."Leon, ayo kita lari saja! This is not gonna work...we will die..." Grace menatap adegan di hadapannya dengan rasa ngeri."Diam saja kau, Dik! I know, at least I have to try... I don't want to run like a chicken!"Zombie lansia itu semakin mendekat. Kelihatannya masih 'sadar' dan masih sangat mirip dengan manusia hidup kecuali bagian kulit wajah nan te
'Astaga! Tempat ini ternyata juga tak aman!' sosok misterius itu terburu-buru bersembunyi di balik bayang-bayang beberapa mobil terparkir. Dari kolong kendaraan-kendaraan dilihatnya seberkas cahaya matahari memancar masuk. Ruangan besar itu sejenak terang benderang, lalu pintu-pintu ditutup dan kembali gelap.Dalam kesakitannya, sosok misterius itu berusaha mendengarkan dengan baik semua percakapan beberapa orang yang baru datang."Akhirnya kita tiba kembali di rumah dengan selamat, Papa Orion, Nona Rani! Terima kasih!""Sama-sama, Leon, Grace!" ucap Orion lega dan gembira.'Hah, Orion Brighton? Dia ada di sini!' sosok misterius terkesiap."Sekarang bagaimana aku bisa menumpang di sini tanpa sepengetahuan Rose bahwa kalian yang menjemputku?" suara Lady Magdalene Brighton ikut memecah kesunyian."Kurasa kau harus mengarang sesuatu, Orion. Jadi Lady Mag tidak muncul tiba-tiba dalam kompleks dan mengejutkannya!" usul Rani."Ya, kira-kira, apa yang dapat kita lakukan?" Orion berpikir sejen