"Halo, ada siapa di sana?"Mengumpulkan segenap keberanian, Maharani membuka perlahan daun pintu tempat yang dituju sosok misterius dari dalam tanah. Ia tahu tindakannya ini sangat riskan, apalagi ia tak membawa apa-apa yang bisa digunakan sebagai senjata. Namun ia tak mungkin mundur lagi, semuanya terlanjur terjadi.Tak ada jawaban. Wanita muda penasaran itu terus menelusuri jejak, walau tempat itu sangat gelap, masih ada cahaya matahari masuk dari deretan jendela tinggi kecil-kecil di dekat plafon.'Astaga! Itu... Nona Maharani Cempaka, istri Orion Brighton!' sosok misterius di kolong sebuah mobil terperanjat, 'Barangkali ini memang sudah jalan dan takdir Tuhan, mengantarkan dia untuk menemuiku! Tetapi, aku...' sosok itu senang sekali sekaligus ragu, 'Jika ia menemuiku dalam keadaan seperti ini, tidakkah aku akan membuatnya repot sekaligus khawatir? Lalu aku akan ketahuan oleh semua penghuni kompleks Delucas, dan hanya akan membuat kegaduhan... Apa yang harus kulakukan?'Ia memutuska
Rani sungguh berharap saat ini Orion yang entah di mana datang, lalu bisa melaporkan langsung semua ini kepadanya. Ponselnya masih berisi cukup energi baterai, namun ketiadaan jaringan komunikasi menyebabkan tak ada lagi yang bisa chat atau menelepon langsung. Jadi, percuma saja. 'Haruskah aku nekat pergi mencari Orion, apapun kelak konsekwensinya?' Tetiba pintu paviliun diketuk! "Si-si-siapa di sana?" Rani sungguh berharap itu Orion. Meskipun begitu, kewaspadaannya tetap tinggi. Diselipkannya benda yang baru ia dapatkan di antara bantal-bantal sofa. "Selamat siang, Nona Rani. Ini saya, Henry Westwood!" "Oh, Anda... sebentar, Tuan Henry!" Rani segera membukakan pintu. Ia sungguh ingin bisa menyampaikan pesan kepada Orion lewat sang kepala pelayan ini, namun bagaimana caranya? 'Apakah Henry cukup aman dan bisa dipercaya?' Henry tak ingin masuk, ia hanya berdiri di depan pintu, bersikap formal seperti biasa. "Maaf mengganggu waktu Anda sebentar, Nona. Saya hanya ingin menyampaikan
"Memangnya ada apa di dalamnya? Aku sendiri belum berani membuka amplop itu..." Rani tak berani bicara keras-keras, khawatir ada yang akan mendengar.Orion menatapnya tajam dan berbisik, "Dari mana kau bisa mendapatkan ini, dan di mana pemberinya sekarang berada?"Rani baru hendak bicara ketika tetiba pintu pantry terbuka lebar-lebar."Hai, semuanya! Kabar heboh! Nanti malam akan ada kesempatan lagi untuk kita jalan-jalan, turun ke kota!" Leon menyerbu masuk seperti angin ribut. Syukurlah Orion masih keburu menjauh dan menyembunyikan amplopnya di dalam saku celana."Memangnya kau akan diizinkan Rose untuk pergi? That won't be an easy journey. Kemarin malam dan tadi pagi kau sudah alami sendiri betapa menakutkannya pandemi virus Octagon itu." Orion buru-buru bicara sambil duduk di sebuah kursi yang agak jauh dari Rani agar Leon tak terus memandang mereka dengan wajah curiga."Uh, melalui undian, bisa saja kuselipkan namaku di situ. Aku yakin pasti jika tidak dapat giliran malam ini, bes
Orion tahu jika tindakannya akan sangat mencurigakan apabila dilakukan diam-diam tanpa izin, maka ia sempatkan melapor kepada Henry Westwood sebagai kepala pelayan."Tuan Henry Westwood, apakah Anda sudah melakukan penyisiran dan pelacakan jejak di semua bangunan?""Ya. Sayang, belum ditemukan tanda-tanda keberadaan orang yang melarikan diri. Herannya, dari semua pengungsi yang terdata tim dokter Vanderfield, tak berkurang satu orangpun dari kamp Bennet. Jadi, siapa sebenarnya penggali lorong di tanah itu?""Kurasa aku perlu mencoba sesuatu. Karena tak ingin istriku Rose tahu, bisakah Anda membantuku merahasiakan ini?" Orion menambahkan sambil berbisik, "Hanya Anda yang bisa kupercaya di tempat ini.""Oh, aku merasa tersanjung dengan kepercayaan Anda, terima kasih banyak. Meski saya tak begitu mengerti, saya akan coba.""Baiklah. Akulah yang harus berterima kasih atas kerjasama Anda."Melengkapi diri masing-masing dengan senjata dan alat pelindung diri, kedua pria itu lalu bersama-sama
Orion tahu pasti bahwa apa yang sedang ia saksikan dalam keremangan garasi pengap ini sama sekali bukan keajaiban!Melainkan sebuah kutukan yang sebelumnya telah dialami Russell!'Saatnya untuk bertindak! Tetapi...' pemuda itu berusaha keras untuk membidik sejitu mungkin. Ia sudah mengarahkan moncong shotgun sedekat mungkin dengan pelipis Rev. James. Takkan menyakitkan. Sebutir timah panas saja sudah cukup untuk membuat jiwanya tenang. Namun Orion tak punya keberanian dan juga ketegaan.'Astaga, bagaimana ini? Aku tak bisa, jari-jariku gemetaran! Aku juga tak dapat membidik dengan tepat! Tapi sekarang juga aku harus mengambil keputusan, jika tidak...'Sungguh, Orion merasa belum siap. Padahal di depannya tubuh tak bernyawa Rev. James mulai mendapatkan kekuatan entah dari mana untuk 'bangkit' bagaikan 'Lazarus' yang sudah terbaring tanpa nyawa selama tiga hari namun berhasil dibangkitkan dengan mujizat!"Orion... tolong," bibirnya yang menghitam terbuka sementara ia duduk menegakkan dir
"Saya masih tak percaya ini sungguh-sungguh jasad pendeta utama kota kecil kita yang sudah beberapa waktu tak muncul ke hadapan publik!" Henry Westwood lama kemudian baru dapat bicara. Sebagai pria yang cukup matang, ia hampir tak pernah menangis. Namun pada siang hari menjelang sore nan muram itu, sang kepala pelayan dan Orion sama-sama menunduk sejenak, menahan tangis, menitikkan air mata."Sungguh, Tuan Orion, seumur hidup baru kali ini saya merasa sesedih ini, meski tindakan ini sangat dibenarkan dan legal sekalipun. Saya sering menembak hewan buruan, tak pernah melukai yang masih hidup, namun sekarang, aku baru saja..." "Rev. James sudah meninggal dunia secara alami dan sekarang sudah tenang. Sebaliknya, beliau akan sangat berterima kasih kepadamu, Tuan Henry. You just did the most humane, honorable thing. Aku juga harus melakukannya sesegera mungkin kepada seseorang di Lab Barn." Henry hendak bertanya lebih banyak, namun ia urungkan semua rasa penasaran itu. "Seseorang? Uh. Ya,
"Orion!" Rani bergegas membukakan pintu paviliun. Pemuda itu berdiri di hadapannya. Tak seperti biasanya, tubuh tinggi pemuda itu tampak sedikit membungkuk dan lemah, wajahnya sayu. Beberapa bercak cokelat dan hitam berbau tanah dan sesuatu yang tak sedap melekat di masker dan jaketnya. "Ada apa? Mengapa kau jadi begini?" Rani berusaha keras agar Orion tak menangkap ekspresi ketakutannya bahwa 'telah terjadi sesuatu' yang tidak ia harapkan.Orion melepaskan sepatu dan jaketnya di luar, menggantungkannya di sandaran kursi beranda. "Biarkan aku masuk dan mandi di sini sebentar, nanti akan kuceritakan!" Rani bisa merasakan sedih dan duka mendalam yang ada dalam setiap nada dan ekspresi mata Orion yang biasanya ceria. Tanpa banyak bicara ia mempersilakan suami rahasianya masuk. "Silakan ke kamar mandi, akan kuambilkan handuk baru yang bersih, nanti kau bisa mengganti maskermu!" Rani tak ingin banyak bertanya dulu. Sementara Orion mandi, Rani tak bisa menahan rasa penasaran. Ia ingin me
"Jadi, apa sekarang rencana kita, Sayang?" Rani dan Orion masih berada di atas ranjang yang sama, kepala mereka berdekatan di atas bantal yang sama. Tampaknya mereka tak ingin cepat-cepat bangkit dan bersiap-siap pergi meski dunia menunggu-nunggu keberadaan mereka.Rambut panjang hitam berkilau Rani tergerai menutupi sarung bantal, sementara dagu hingga pipinya menempel di leher Orion yang jenjang, bahunya yang lapang. Ia tergila-gila pada jakun pemuda itu, milik maskulin pria yang menjadikan suara rendahnya begitu dalam, merdu, sedap didengar. "Pertama-tama, aku ingin memberimu dua atau tiga buah hadiah!" pemuda itu cepat menyahut sambil membelai rambut halus Rani yang selalu memikat tangannya. "Hadiah apa itu?" "Tunggu!" Orion lembut menyingkirkan Rani yang masih bermanja di tubuhnya, meski istrinya yang masih betah di sana sedikit merutuk. "Uh, menunggu apa lagi?" "Benda yang diwariskan Rev. James untuk kita berdua. Mungkin ini harus tetap menjadi rahasia hingga waktunya tiba.