Share

FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)
FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)
Author: Bintu Ikhwani

1. Surga yang Dicuri

Setelah menunggu hampir dua jam, waktu menunjukkan pukul tujuh malam saat akhirnya Nadya mendengar deru mesin mobil berhenti di halaman rumahnya.

Meski begitu ingin keluar lalu mengomel; atas sikap menyebalkan seseorang sore tadi. Juga atas keterlambatan yang seolah disengaja, Nadya memilih menahan diri sampai orang yang ditunggu masuk.

Namun, semenit ... dua menit ... tiga menit ... sampai entah pada menit ke berapa, tak juga terlihat tanda-tanda seseorang akan muncul.

Gusar, wanita itu bangkit. Dia melangkah cepat menembus pintu utama rumahnya, dan berhenti tepat di teras.

Pandangannya tertuju pada mobil yang terparkir di halaman. Seseorang di dalamnya masih duduk di jok kemudi dengan tubuh mencondong kiri. Pria itu menegak tak lama kemudian. Dua jarinya memijat kedua mata yang terpejam. Dadanya bergerak naik turun dengan cepat.

Laki-laki itu membuka mata. Dan segera terpaku tepat ketika menyadari keberadaan perempuan yang berdiri di teras dengan kedua tangan terlipat di dada.

Pandangan mereka beradu. Seperti tengah tenggelam dalam lautan hati masing-masing, mereka menatap tajam satu sama lain. Nadya dengan kemarahan yang bergumul di dadanya. Dan Ali dengan kerinduannya yang mendalam. Seolah jaraknya mampu menenggelamkan siapa pun yang menyelam ke dalamnya.

Wanita di teras membuang muka. Dengan langkah panjang, Nadya berjalan mendekati mobil. Membuka kasar pintunya, lalu mengulurkan tangan, bermaksud meraih Tasya di jok kiri.

“Biar aku.” Belum sampai Nadya menarik putrinya, Ali lebih dulu mencekal lengannya. Pandangan mereka kembali beradu. Kali ini disertai sorot tak suka dari perempuan itu.

Nadya mencoba mengurainya. “Tidak!”

“Nadya!”

Tak mau kalah, Ali mencengkeram wanita itu lebih kuat. Lagi ... laki-laki itu menatap tajam. Tatapan yang hanya dalam beberapa detik saja dengan mudah menembus ke jantung perempuan itu dan membuatnya membeku seketika.

“Biar aku,” bisik Ali di antara geraham beradu. Perlahan dilepasnya lengan wanita itu.

Nadya tertawa skeptis. Tak ada pilihan kecuali menuruti laki-laki itu dengan mundur perlahan.

Dengan gerakan terlatih, Ali membopong bocah yang terlelap itu dan membawanya masuk dalam rumah mendahului Nadya.

Sementara Nadya memilih berbelok ke dapur.

Dengan napas memburu, diraihnya sebuah gelas. Serampangan menuang air dan menenggaknya hingga tandas. Hati yang awalnya diliputi kecemasan memikirkan ke mana putrinya, kini berganti kemarahan akibat sikap laki-laki itu.

Gigi gerahamnya bergemeletuk. Belum selesai Nadya mengatur napas, di belakangnya, Ali muncul tiba-tiba dan kembali mencekal kasar tangan kirinya. Pandangan mereka kembali menghunus satu sama lain. Nadya tahu, Ali sangat marah.

Ngilu, Nadya berusaha menarik lengannya. Namun, dia keliru jika mengira bisa lolos begitu saja. Cengkeraman Ali terlalu kuat hingga upaya melepaskan diri nyaris membuatnya terpelanting ke kiri.

Tak puas hanya dengan mencekal, kini Ali menarik wajah wanita itu demi mengunci kedua matanya. Dadanya naik turun dengan cepat. Rahangnya sekeras batu.

“Siapa yang mengizinkanmu melibatkan Annisa, ha?” geram Ali. “Apa pilihanku melajang, membuatmu rugi?” Pandangan mereka kembali mengunci.

Tak kuasa menerima tatapan itu, Nadya memejam. Namun, lagi-lagi dia keliru jika mengira Ali akan membiarkannya lolos lagi. Tangan kanannya terangkat, mencekal dagu Nadya lebih kuat hingga buku-buku jarinya memutih.

 Wanita itu kian tersudut. Dahinya mengernyit. Antara ketakutan dan kesakitan, keduanya terlihat jelas di wajah Nadya.

“Aku tak pernah memaksamu menerimanya, bukan? Tidak sekali pun!

Bahkan, ketika aku bisa saja membawa kau lari, aku memilih membiarkanmu menikah dengan Pram. Apa masalahmu, ha?” Ali terus maju.

Sebaliknya, Nadya semakin surut ke belakang. Kedua tangannya kembali berupaya mendorong laki-laki itu, namun sia-sia.

Ali baru berhenti ketika Nadya terimpit dan bersandar pada kabinet dapur. Butir-butir air mata yang menggantung di pelupuk matanya.

Tak lagi tajam, pandangan Ali Nadya meredup, saat menyadari titik-titik bening di kedua mata Nadya mulai menitik.

Ali mengurai cekalannya. Tak lagi dengan cengkeraman, kali ini dia menarik dagu Nadya dengan telunjuknya.

Dari jarak begitu dekat, dipandanginya setiap inci wajah ayu Nadya. Cahaya membias dari kedua mata yang mengembun. Kedua pipi merah yang menggambarkan paduan antara malu dan haru. Dan bibir basahnya yang entah bagaimana, membuatnya ingin mengecap lalu terhanyut ke dalam surga itu.

‘Astaga.’ Ali menjatuhkan kepalanya di pundak Nadya. Kedua tangannya bertumpu di kabin—mengapit Nadya di antaranya. Dalam-dalam laki-laki itu menarik napasnya, hingga aroma khas Nadya terhidu. Melenakan. Ali menikmatinya.

“Jangan paksa aku, Nadya ....” Ali berucap setelah beberapa menit berlalu dalam hening, “mencintaimu saja sudah cukup menguras energiku. Jangan melibatkan orang lain dan memaksa aku memelihara perasaannya juga.”

Ali menghela napas sekali lagi. Dalam waktu begitu singkat, harum tubuh perempuan itu menjelma bagai candu. Mendorong Ali untuk menghela lebih dalam, demi menghirup lebih banyak. Hingga wangi itu merasuk dalam ingatan dan terpatri kuat di sana.

Tubuh Nadya berguncang. Butir-butir bening kian deras luruh dari kedua matanya.

Nadya menggeleng lemah di antara isak tertahan. “Aku cuma punya satu tempat, Mas ....

Abaikan seberapa besar cintaku untuk dia. Faktanya tak ada tempat untuk laki-laki lain—sebagaimana laki-laki bisa menempatkan bahkan empat sekaligus,” kalimat Nadya terjeda isak.

“Mendapat cinta darimu, memang tak ada ruginya, tapi itu beban bagiku. Kamu melukai perasaanku yang selama ini berusaha kuat mengabaikan rasa ini—setelah semuanya kandas.

Kamu tahu?

Andai ada aku yang lain, aku pun tidak rela menyerahkan kamu pada yang lain.” Nadya kembali menggeleng tak berdaya.

“Jadi menurutmu aku harus bagaimana? Aku cuma mau kamu bangkit. Melupakan masa lalu kita dan menikah dengan wanita lebih baik ....

Lalu bahagia ....

Tak lebih.”

Nadya terisak-isak. Napasnya tersengal seakan beban berat baru saja ditimpakan ke atas dadanya. Membuatnya kepayahan membawa diri hingga terjerembap pada luka lama yang belum terobati.

Guncangan dari tubuh perempuan itu, memaksa Ali mengangkat wajahnya. Sungguh, tak ada manusia yang ingin melukai orang yang dikasihi untuk ke sekian kali, begitu pun Ali.

Laki-laki itu meraih helai rambut Nadya yang terlepas dari ikatan, lalu menyelipkannya di belakang telinga.

“Kalau begitu, tinggalkan Pramono, pergilah bersamaku!” ucap Ali lirih di antara wajah sayu yang kini hanya menyisakan jarak beberapa senti saja.

“Apa?” Nadya menatap nanar pria itu. Jelas itu pikiran yang gila. Bagaimana mungkin dia mengatakan itu sekarang, setelah selama ini? Nadya menggeleng putus asa. Lalu kembali menunduk dengan isak kian menyedihkan.

“Aku tak keberatan menerima Tasya, bahkan biaya hidupnya ....”

“Mas!” Nadya berseru lirih, “Bukan aku. Tapi Annisa. Dia perempuan yang baik.”

 Ali mengabaikannya. Embusan napasnya terasa hangat menyentuh kulit wajah Nadya.

“Dia bukan Nadya.

Tak ada yang sama seperti Nadya.

Aku mau ... Nadya.” Ali meraih tangan kiri perempuan itu, mengecupnya lembut.

Oh ... lihat betapa mudahnya hati rapuh. Pertahanan Nadya pecah kembali. Dia tergugu di hadapan Ali untuk ke dua kalinya setelah enam tahun berlalu.

“Tega kamu, Mas. Tega sekali Mas mempermainkan perasaanku sampai sedalam ini!” ucapnya di sela tangis. Kedua tangannya terangkat menutupi wajah yang kacau. Lalu melingkar di pundak laki-laki itu ketika merasakan hangat pelukan merengkuh tubuhnya.

Ya, dialah.

Dialah wanita itu. Dialah raga yang selama ini ingin didekapnya dengan penuh cinta. Dengan penuh kasih.

Lembut, lancang Ali mengecup dahinya.

Kedua pipinya ....

Dan ... debar jantungnya kian memburu ketika pandangannya tertuju pada bibir basah itu. Jarak yang semula tersisa beberapa senti, kini hilang sepenuhnya. Ya, di sana. Ali menyesap penuh kerinduan. Begitu hangat. Begitu lembut. Begitu mesra.

Nadya bersandar lemah. Air matanya kembali berjejalan saat menyadari memang masih sedalam itu cintanya untuk Ali. Cinta lama yang kini dia biarkan masuk dan menjamah apa yang menjadi milik suaminya. Sesuatu yang seharusnya terjaga dengan baik, dia serahkan begitu saja pada laki-laki lain, atas nama cinta.

Cinta? Cinta seperti apa yang berani melanggar batasan?

To be continue ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status