Share

2. Bukan Mantan, Bukan Musuh Bag. 1

Beberapa hari sebelumnya.

“Kita mau ke kondangan ya, Ma?” tanya Tasya pada sang ibu yang tengah mengikat rambutnya.

“Iya, betul. Ke rumah Eyang, Asya mau ikut?”

“Ikut-ikut-ikut. Sama papa?”

“Hm ... papa cuma antar. Nanti nyusul. Soalnya ada yang harus diurus.” Nadya meletakkan sisir di meja.

Dipandangnya seraut wajah cantik bocah di hadapannya. Lalu dengan girang, bocah itu berlari keluar.

Senyum di bibir Nadya memudar. ‘Lihat bocah itu. Dia hanya tahu senang tanpa tahu tempat itu masih sangat ingin kuhindari bahkan setelah sekian tahun berlalu.’ Nadya menghela napas dalam.

Pandangannya beralih pada lipstik di atas meja. Diraihnya satu dan meletakkannya kembali setelah mengoleskan sebagai sentuhan terakhir riasan naturalnya pagi ini. Lalu menatap sekali lagi pantulan wajah wanita berusia dua puluh sembilan di cermin.

Cantik. Nadya tahu itu.

Detik berikutnya, terdengar suara ketukan disusul pintu terbuka.

“Sudah?” tanya seseorang seiring langkah mendekat.

“Sudah, Mas.” Nadya bergegas bangkit. Diraihnya tas di meja. Dan bersiap melangkah.

Namun, alih-alih membawa istrinya keluar, Pramono justru meraih pinggangnya. Kedua tangan dia lingkarkan di pundak.

Senyumnya mengembang. Dipandangnya wajah ayu Nadya lekat sebelum mendaratkan sebuah kecupan di dahi.

Nadya bisa melihat kedua bola mata laki-laki itu bergerak ke kanan dan kiri, memandangi kedua matanya bergantian.

“Masya Allah, cantik sekali istriku.” Kali ini sebuah kecupan mendarat di bibir. Pramono melumatnya rakus.

Tak ingin riasannya berantakan, Nadya menarik wajah ke belakang. “Stop! Nanti riasannya berantakan.”

Pramono terkekeh sebelum menenggelamkan wajahnya ke ceruk leher Nadya.

“Bisakah kita tetap tinggal, rasanya nggak mau pergi,” keluhnya, “kamu godaan berat, Nadya.”

Nadya mendelik lalu mencebik. “Bukan godaan, tapi, investasi. Nanti, deh, ya. Kita pulang cepat. Nggak enak ditunggu saudara, ‘kan? Katanya mau ada tamu?”

Pramono mengangguk. Alih-alih menjawab, dia justru menatap lekat istrinya dengan sorot sendu. “Terus ini gimana?” tanyanya.

Nadya memicingkan mata. “Ini apa?”

“Ini!”

“Apa?” Nadya benar-benar kebingungan.

Pramono meraih tangan kiri istrinya dan ...

Satu cubitan gemas dia terima di pinggang. Pramono mengaduh dan tergelak.

***

Hanya butuh sepuluh menit untuk sampai di rumah Minarti. Suasana masih lengang karena besan baru akan tiba jam sepuluh nanti.

“Pram mau ada tamu, Bu, nggak bisa nunggu dari awal. Tapi Pram janji akan langsung ke sini begitu acara selesai,” ucap Pramono pada mertuanya.

“Tapi kenapa pas sekali waktunya?”

“Acaranya dadakan. Dia sudah di Boyolali waktu bilang mau bertemu.”

“Ya sudah. Jangan lupa besan datang jam 10 ya?”

Pramono mengangguk. Dengan langkah panjang dia kembali meninggalkan aula diikuti Nadya di belakangnya.

“Mas janji nggak lama,” Pramono berucap seiring langkah kembali menuju mobilnya. Di belakangnya, Nadya mengangguk samar.

Tepat sebelum memasuki mobil, Pramono mendaratkan sebuah kecupan di dahi istrinya. “Jangan terlalu cemas. Ada ibu. Mas janji akan cepat kembali.”

Nadya kembali mengangguk. Dia baru berbalik setelah memastikan mobil suaminya menghilang di balik tikungan.

Masalahnya jelas bukan itu. Nadya memang tak terlalu suka menghadiri acara formal tanpa suaminya. Ini, lebih dari itu.

Setiba di halaman rumah Minarti, Nadya menyusul duduk tak jauh dari ibunya. Belum banyak tamu yang datang, membuat Nadya leluasa mengedar pandang, memperhatikan sekitar.

Tempat itu telah banyak berbuah sejak kali terakhir Narti mengadakan acara, dua belas tahun lalu. Bahkan rumah seseorang yang sempat mereka lewati tadi pun sudah jauh berubah. Terlihat mewah dengan lantai yang tersusun dan sebuah mobil terparkir di halaman.

Nadya mengulum senyum ketika menyadari Ali telah menjadi laki-laki sukses. Apakah dia sudah menikah? Siapa dan seperti apa istrinya?

Dengan apa yang dimiliki, istrinya pastilah bukan orang biasa.

Seperti antena yang menemukan gelombangnya, pandangan Nadya tertuju pada sesosok laki-laki berkemeja batik di ujung aula. Duduk dengan kedua siku bertumpu pada kedua kaki. Sebuah gelas menggantung di tangan kanan. Pandangannya kosong pada lantai di antara kakinya.

Detik berikutnya, seperti memikirkan hal yang sama, laki-laki itu mengangkat wajah. Pandangan mereka bertemu.

Nadya gelagapan. Buru-buru dialihkannya pandang hanya demi menghindari tatapan lelaki itu. Meski dia yakin, telah tertangkap basah.

Sungguh, jika ada kebetulan yang menyakitkan, itu adalah pertemuan dengan cinta lama. Membuka kembali luka dan memunculkan aroma anyir kesedihan masa lalu dalam relung dada.

Nadya kembali menoleh. Sama seperti sebelumnya pandangan mereka kembali beradu. Lalu mengunci bagai sihir yang menarik keinginan terus menyelam dalam lautan hati yang dalam. Nadya memalingkan muka saat menyadari tatapan mereka terpaut terlalu lama.

Dua belas tahun sejak kali pertama mereka bertemu, Nadya melihat laki-laki itu banyak berubah—terutama ukuran tubuhnya. Ali yang dulu begitu kurus, kini berubah menjadi pria dewasa yang gagah dan matang. Tubuhnya berisi. Otot-otot tubuhnya terbentuk sempurna bahkan dalam balutan kemeja batik. Nadya hafal bagaimana wujudnya dalam perwujudan Pramono.

Tapi ... dari semua yang berubah, wajah itu, senyum dan pandangan mata itu tetap sama bagi Nadya.

Tampan dan bersih.

‘Astaga, aku mikir apa?’

“Lihat apa, Nad?” Dinar tiba-tiba putrinya tergagap.

“Bukan apa-apa, Bu,” ucap Nadya keluar begitu saja. Membuatnya sontak menggigit bibir karena telah berbohong.

Nadya melirik laki-laki itu sekali lagi. Dan sekali lagi pula pandangan mereka beradu. Bahkan kali ini selarik senyum samar, begitu samar, Ali sunggingkan.

Seperti ditenggelamkan berkali-kali, Nadya terbengap. Enam tahun, cukup lama untuk bisa mengembalikan apa yang seharusnya terhapus bersih. Baik dia dan Ali, dulu, sama sekali tak ada apa pun.

Nadya menghirup napas dalam. Mengusir sesak yang tiba-tiba menyerang. Ingatan lama itu menyeruak kembali, berkelebat bagai kilasan film lama yang berputar dalam layar besar kepalanya.

Dulu, Nadya kerap datang ke tempat itu untuk sekedar main. Itu niat kedua, karena tujuan utamanya adalah berjumpa dengan Ali, demi diam-diam memperhatikannya membantu orang tua memasah kayu untuk dijadikan mebel. Diam-diam mengagumi sosok pemuda yang berbakti kepada orang tuanya, saat yang lain sibuk dengan urusannya sendiri.

Ali memiliki kepribadian santun dan jauh dari predikat sok ganteng seperti pemuda lain yang mendekati Nadya kala itu.

Ya, tak sedikit. Sayangnya, tak satu pun dari mereka adalah Ali. Hingga pada satu sore. Untuk janji yang telah disepakati. Ali datang bersama Juna, sahabatnya. Di tepi jembatan yang airnya mengalir tak terlalu deras, Nadya harus kecewa jika mengira Alilah yang akan menyatakan perasaan padanya. Di luar dugaan, laki-laki yang disukai justru mengantar sahabatnya menemui Nadya.

Bukan Juna, tapi kamu. Begitu ingin dia katakan, namun berakhir bungkam akibat gumpalan besar di tenggorokan.

“Maaf, Juna. Tapi aku suka orang lain,” ucap Nadya kala itu.

Dahi Juna mengerut begitu saja. Pun Ali yang memandangnya dari balik punggung sahabatnya.

“Siapa?” Ragu-ragu Juna bertanya.

Nadya membuang pandang. “Orang sini juga,” jawabnya, lalu melempar pandang pada laki-laki di belakang Arjuna.

“Aku kenal dia?”

Nadya tertawa tipis. “Mustahil nggak kenal.”

Lagi ... pandangan Nadya tertuju pada Ali yang masih memandang ke arahnya. Lalu menunduk. “Maaf, ya,” ucapnya sebelum melangkah pergi.

Meski tak mengatakannya, Nadya tahu Ali paham perasaannya. Namun sifat pemalu yang dipelihara itu pula yang akhirnya mengantarkan Nadya pada keputusasaan. Bahkan setelah sekian tahun berlalu, Ali tak kunjung menyatakan apa-apa.

Tahun berganti.

Usia Nadya menginjak dua puluh empat dan cukup untuk menikah. Pramono datang dan menyatakan niat baiknya di hadapan orang tua Nadya untuk memperistri.

Dengan pertimbangan tak baik menolak laki-laki baik yang datang melamar, Nadya menerima lamaran Pramono.

Sayang, malang tak dapat ditolak. Beberapa hari setelahnya, Ali datang membawa serta lamarannya.

‘Terlambat sudah, Ali. Itu salahmu! Salahmu! Salahmu!’ Nadya memejam.  Sebutir bening berhasil lolos begitu saja, dan segera diusapnya.

Wanita itu selalu meyakinkan diri bahwa semua telah berlalu. Namun dia tak mengira, bahwa hanya dengan satu pandangan, dan selarik senyum samar, gelombang dalam dirinya, kembali membuktikan seberapa berarti dia di masa lalu.

Jantung Nadya berdengap. Ekor matanya menyadari seseorang mendekat lalu berhenti tak jauh darinya.

“Apa kabar, Nad?”

Ali.

To be continue ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status