Share

3. Bukan Mantan, Bukan Musuh Bag. 2

“Apa kabar, Nad?”

Jantung Nadya seketika memanas saat mendengar lagi suara itu. Meski telah begitu lama, dia sangat tahu siapa pemiliknya.

Ali.

Nadya membuang muka. Sebuah usapan di pipi dia lakukan buru-buru demi memastikan tak ada sisa air mata yang tersisa.

Sedetik kemudian dia melirik pada Ali. Genggaman pada dompet di pangkuan menguat. Mati-matian, Nadya berupaya mempersiapkan diri menghadapi laki-laki itu. Lebih tepatnya, perasaannya sendiri.

“Baik, Mas. Alhamdulillaah,” jawab Nadya lirih sebelum menunduk.

Dia tahu, tidak seharusnya. Tapi memandang Ali lagi setelah sekian lama, nyatanya membuat dia kacau dalam sekejap. Susah payah dia berusaha menyembunyikan kekacauan itu, dan sialnya, justru membuatnya malah terlihat seperti orang bodoh.

“Boleh duduk?” tanya laki-laki itu lagi.

Nadya mengangguk samar. Derit kursi. Dan aroma maskulin parfum terhidu begitu saja yang entah bagaimana Nadya menyukai itu.

Setelahnya, detik berlalu dalam hening. Bagi seorang teman, tak bertemu setelah sekian lama akan memunculkan banyak kalimat yang terucap.

Tapi tidak bagi Nadya. Tenggelamnya dia dalam keheningan adalah bukti bahwa perasaannya masih sama setelah sekian lama.

‘Astaga.’ Nadya menghela napas dalam.

Tak ada obrolan apa pun melainkan pandangan yang sesekali Ali curi dari wajah perempuan di sampingnya. Bahkan setelah memiliki satu anak, perempuan itu tetap ayu seperti dulu.

Nadya menoleh.

Ali mengulum senyum sebelum akhirnya melempar pandang ke tengah aula, di mana bocah bergaun putih dengan rambut terikat, tengah berada. Sayap kupu-kupu di atas ikatan rambutnya mengepak setiap kali bocah itu aktif bergerak.

Ali menarik bibir samar menyadari menemukan sosok Nadya dalam diri anak itu. Lalu apakah kelak dia akan cantik seperti ibunya? Apakah kelak dia juga akan membuat banyak pria patah hati?

“Anakmu cantik, Nad,” ucapnya masih melihat ke arah Tasya yang bermain dengan temannya di tengah sana.

Nadya mengikuti arah pandang laki-laki itu lalu tersenyum tanda setuju. Bocah itu mewarisi genetik sang ayah yang bersih. Bahkan bibir tipis itu pun khas Pramono. Jika ada yang Nadya wariskan pada Tasya itu hanya sifat keras kepala yang sering kali membuatnya seperti memandang diri sendiri.

“Makasih, Mas,” ucap Nadya akhirnya.

“Seperti ibunya,” lanjutnya lalu menoleh pada wanita itu. Menatapnya lekat. Lalu berpaling kembali.

Nadya mendesah dalam hati. Lalu mengedar pandang. Beruntung orang-orang terlihat tengah sibuk pada urusannya masing-masing, hingga tak terpikir untuk menangkap basah seseorang yang tengah kacau hatinya di tengah sana.

Pandangannya lalu berhenti pada dompet di pangkuan. Dari ujung mata Nadya melihat Ali menatap lekat ke arahnya. Lalu seakan sengaja melakukannya, Ali kembali tersenyum saat Nadya kembali menoleh.

“Apakah untuk yang ini ... aku juga harus bilang makasih?” Nadya bertanya dengan sorot serius.

Ali membalasnya. “Karena tidak mungkin lebih dari itu, bukan?”

Nadya membuang muka, dan menghela napas dalam, lagi. Berat tiba-tiba terasa di dada. Membuatnya ingin lari saat itu juga.

“Mas apa kabar?”

Ali mengedikkan bahu. “Tak terlalu baik.”

Nadya ingin bertanya kenapa, tapi memilih mengurungkan karena tak ingin menampakkan sikap perhatian pada laki-laki itu.

Nadya mengedar pandang. Lebih pada wanita-wanita muda seumurnya yang mengenakan seragam batik serupa. Istri Ali, pasti  salah satu di antara mereka bukan?

“Di mana istrimu?” tanyanya lagi. Laki-laki seusia Ali, seharusnya memiliki paling tidak dua anak. Sayangnya topik itu terlalu kentara. Nadya jelas-jelas hanya mencari bahan bicara.

Alih-alih menjawab, Ali justru tersenyum sebagaimana dua belas tahun lalu. Kedua mata itu kini memandang lekat ke arah perempuan di sampingnya. Membuat Nadya mati-matian menahan diri, agar tak sampai terjebak kembali akibat candunya senyum di bibir itu.

Samar terdengar helaan napas. “Satu-satunya perempuan yang ingin kunikahi, menjadi milik laki-laki lain. Aku tak tahu apakah masih ada yang seperti dia,” jawabnya sambil berpaling ke tengah ruangan.

Sontak Nadya tercengang. Bagai dipukul batu besar, mendadak dadanya terasa nyeri.

Dia tak berharap mendengar itu. Jawaban yang menyeret lagi gumpalan hitam di dadanya dan mendadak terasa kian membesar. Menyumbat aliran udara ke paru-paru. Menyesakkan.

Nadya memalingkan muka. “Mustahil tidak ada yang lebih baik,” sahutnya.

“Banyak yang lebih baik. Tapi tak ada yang sama.”

“Tak masalah tidak sama, asal lebih baik!” tegasnya.

Pandangan mereka menghunus satu sama lain. Bibir mereka terkunci. Hingga beberapa saat, Nadya menyadari dia telah terlalu lama menatap laki-laki itu.

Nadya kembali membuang muka. “Menikahlah. Dengan yang lebih baik,” ucapnya serupa bisikan.

Nadya jujur saat mengatakan dia ingin Ali menikah. Itulah harapannya untuk laki-laki itu, agar dia bahagia bersama wanita. Siapa pun dia.

“Jadi itukah alasan kamu menerima dia? Bukan kau, orang tuamu.”

“Apa?” Nadya kembali menatap tajam laki-laki itu.

Belum sampai dia menanggapi, dari tengah aula, Tasya mendekat dan berhenti tepat di depan sang ibu.

“Ma, Mama, Papa masih lama ya?” tanya bocah itu, memaksa Nadya berpaling dari Ali.

“Sebentar kok, Sayang,” jawabnya.

“Tasya mau beli mainan sama Papa,” adunya sebelum menoleh ke arah bocah di tengah sana.

Satu di antara mereka membawa mainan berbentuk tabung bening dengan cairan kebiruan di tangan kiri dan stik berbentuk rantai di tangan kanan yang jika diayunkan akan muncul banyak gelembung. Nadya tahu, putrinya ingin membeli mainan itu.

“Ya udah, sama mama aja, yuk?”

Tasya menggeleng. Nadya mendesah, karena tahu akan mendapat jawaban itu.

Reaksi berlawanan justru diperlihatkan Ali. Dia terkekeh pelan ketika menyadari tebakannya yang mengatakan Tasya persis ibunya, adalah benar.

Sesaat Nadya mendelik kesal pada laki-laki itu, lalu kembali memandang putrinya.

Detik berikutnya, seakan menyadari sesuatu, Ali menelan tawanya kembali, berganti senyum tipis, lalu perlahan memudar sepenuhnya.

Obrolan ibu dan anak itu masih berlanjut. Tasya dengan rengekannya. Sang ibu dengan alasannya.

Lalu ide gila muncul begitu saja dalam benak Ali. “Sama Uncle, mau?” dia berucap.

Bocah yang semula menunduk, mengangkat wajah dan memindai sosok asing di sebelah ibunya. Bocah itu kemudian berpaling pada sang ibu yang kini mendelik ke arah laki-laki itu disertai gelengan samar.

Namun, Nadya harus kecewa, jika itu berarti permintaan agar Ali menuruti keinginannya. Meski paham arti isyarat itu, Ali mengabaikannya dan justru merendahkan posisi duduknya, sejajar bocah itu.

“Om baik kok, teman mama juga.”Ali menoleh pada wanita itu, “ya, ‘kan Ma?”

Nadya kembali mendelik. Lalu mendengkus. Mati-matian dia menahan diri untuk tidak mengomel di hadapan Tasya.

Namun, entah setan dari mana yang menggoda bocah itu. Alih-alih merasa takut, Tasya justru bertanya, “Boleh, Ma?”

‘Astaga.’ Nadya menghela napas.

Itulah yang Nadya takutkan. Tasya mudah dekat dengan orang baru. Dan, memangnya siapa yang tidak akan terpikat dengan laki-laki itu? Bahkan bocah sekecil Tasya pun tahu, Ali adalah pria baik.

Nadya membuang muka. Nggak boleh! Dia ingin mengatakan itu. Namun melihat kedua mata polos putrinya, yang itu berarti kesempatan untuk tidak melihatnya tantrum di tempat itu, dia tak bisa menolak.

Nadya menarik paksa bibirnya perlahan, dan mengangguk. “Boleh, Sayang.”

Ali tersenyum menang. Dia bangkit. “Aku tak akan lama,” ucapnya sembari meraih Tasya ke dalam dekapan.

“Percayalah,” lanjutnya sebelum berbalik dan menjauh dengan langkah panjang.

Pandangan Nadya mengikuti langkah Ali. Tampak laki-laki itu bicara pada putrinya, dan Tasya asyik menyimak. Punggung lebarnya semakin gagah dengan adanya seorang anak dalam dekapan. Sekilas, dia tampak seperti ayah yang tengah menggendong putrinya.

Nadya menghela napas. ‘Lancang kamu, Ali. Kamu masih sama seperti dulu. Selalu perhatian. Tanpa peduli sikapmu telah mempermainkan perasaan orang.’

Nadya baru berpaling saat punggung laki-laki itu menghilang di balik kerumunan.

To be continue ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status